Wakil
Rakyat
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Berasal
dari bahasa Arab, wakil artinya pribadi tepercaya tempat bersandar sehingga
salah satu asma Allah adalah al-wakil.
Ketika
seorang beriman telah berjuang keras untuk meraih cita-citanya atau mengatasi
problem hidupnya, dia disarankan untuk tawakal kepada Allah. Artinya, bersandar
dan memercayakan semua usahanya kepada Allah sebagai pribadi terakhir yang
tepercaya untuk menolong hidupnya.
Ketika
kata wakil dilekatkan pada rakyat, lalu menjadi wakil rakyat, yaitu mereka yang
duduk di DPR, diharapkan mereka merupakan jajaran sosok pribadi yang andal,
tepercaya, tempat rakyat bersandar dan memercayakan problemnya untuk dibantu
dicarikan solusinya. Jadi, anggota DPR adalah pejuang dan penolong rakyat dari
berbagai problem yang mereka hadapi.
Dengan
demikian, mereka yang duduk sebagai anggota DPR mesti memiliki pengetahuan luas
dan dalam tentang problem kenegaraan dan kemasyarakatan. Mereka mesti memiliki
integritas, kepedulian, dan kesiapan mental untuk berkorban demi memenuhi
harapan rakyat yang telah memilihnya serta menjaga martabat lembaga DPR.
Kembali
pada pengertian dasar serta fungsi wakil, mestinya yang duduk jadi anggota DPR
adalah sosok-sosok yang terbaik budi pekertinya dan luas ilmunya, serta
bertanggung jawab atas amanat yang diembannya. Sangat disayangkan banyak
anggota DPR yang tidak memenuhi kriteria dasar itu. Banyak kalangan intelektual
dan profesional sama sekali tidak merasa terwakili, sebaliknya memandang rendah
bahkan risi kepada mereka.
Tentu ini
lelucon politik yang tragis dan berakibat fatal dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Jika dicari siapa yang paling bertanggung jawab atas kekonyolan ini,
pertama-tama tentu partai politik karena parpollah yang menjaring dan
mengajukan anggota DPR. Mereka digaji dari uang rakyat dan negara, tetapi
sebagian justru membuat rakyat susah dan kekayaan negara dicuri dan digerogoti.
Jabatan
anggota DPR itu sarat muatan moral dan intelektual, bukan seperti pekerja
industri yang mengandalkan keahlian teknis yang produk akhirnya dilempar ke
pasar. Tugas utama DPR adalah bersama pemerintah berjuang bagaimana
mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat serta membangun kehidupan berbangsa yang
beradab. Tugas menyusun UU, anggaran, dan mengawasi jalannya pemerintahan,
semua harus bermuara pada peningkatan harkat hidup rakyat yang telah memberikan
mandat dan harapan kepada mereka.
Jadi,
sesungguhnya posisi anggota DPR sangat mulia karena itu mereka layak dipanggil
"Yang Mulia Wakil Rakyat". Rakyat adalah majikan dari pemerintah
karena sesungguhnya pemerintah bekerja memenuhi dan melayani kebutuhan untuk
rakyat. Adapun lembaga DPR adalah institusi jelmaan aspirasi dan kedaulatan rakyat.
Untuk bisa duduk di kursi terhormat dan tepercaya itu sungguh tidak mudah.
Mesti melalui proses seleksi panjang dan mahal mengingat tidak sembarang orang
pantas dan memenuhi kualifikasi moral-intelektual memikul keterwakilan
kedaulatan rakyat.
Pengkhianat
kepada rakyat
Pertanyaannya,
apakah kualitas dan perilaku DPR sesuai dengan harapan rakyat yang telah
memercayakan dan melimpahkan kedaulatan mereka kepada anggota DPR yang mulia
itu? Mengikuti pemberitaan selama ini, justru banyak dijumpai pengkhianat kepada
rakyat.
Dulu,
pada awal kemerdekaan, banyak wakil rakyat dari daerah yang pergi ke Jakarta
dibekali uang oleh konstituennya. Rakyat percaya dan menitipkan problem agar
diperjuangkan melalui lembaga DPR sehingga mereka dengan sukarela mengumpulkan
uang untuk bekal para wakilnya. Anggota DPR kala itu dilihat sebagai pejuang
rakyat.
Namun,
seiring jalannya waktu, alih-alih demokrasi tambah matang dan dewasa, yang
terjadi justru calon wakil rakyat dengan berbagai cara yang tak terhormat
membeli suara rakyat. Rakyat dibodohi dengan iming-iming uang, bukan dengan
keunggulan moralitas dan intelektualitas.
Jadi,
kalaupun setelah duduk di kursi DPR banyak yang terlibat korupsi, itu hanya
kelanjutan saja karena sejak hulu banyak anggota DPR yang lolos semata karena
mengandalkan uang. Modus paling mutakhir adalah membeli saksi-saksi di tingkat
perhitungan suara. Soal memengaruhi saksi dengan mengucuri uang memang sebagian
anggota DPR sudah cukup pintar. Terlebih anggota DPR yang sudah berulang kali
lolos. Dia bisa jadi mentor bagi temannya bagaimana mengakali hukum dan
peraturan.
Nurani
dan akal sehat? Saya khawatir pertanyaan itu tidak populer. Itu hanya retorika
pemanis wacana. Profil anggota DPR sekarang banyak yang sebelumnya pengusaha.
Tentu ini sesuatu yang logis karena untuk membeli suara rakyat hanya pengusaha
yang lincah mencari uang. Sosok aktivis-intelektual umumnya hanya kaya gagasan,
tetapi miskin uang. Akankah proses seleksi dan perekrutan anggota DPR yang
hasilnya sangat mengecewakan ini akan diteruskan? Tentu kembali kepada anggota
DPR yang mulia itu, sebab mereka yang punya kewenangan mengubah dan menyusun UU
Pemilu dan kepartaian.
Namun,
jika mereka berpikir praktik yang telah berjalan selama ini mereka pandang
sudah bagus, maka pilihan rakyat ada dua: cabut mandat yang telah mereka
berikan, atau rakyat tak akan peduli pada pemilu dan pilkada dengan segala
konsekuensinya bagi kehidupan berbangsa. Rakyat tak akan percaya lagi pada
partai politik yang tak ubahnya hanya sarana berebut kekuasaan dan uang negara.
[]
KOMPAS, 9
Desember 2015
Komaruddin
Hidayat | Mantan Ketua Panwaslu 2004; Guru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar