Kamis, 31 Desember 2015

Yudi Latif: Natal Politik Cinta



Natal Politik Cinta
Oleh: Yudi Latif

Kemunculan pemerintahan Joko Widodo dan M Jusuf Kalla ditandai oleh kegairahan musim semi kesukarelaan yang membangkitkan harapan. Setelah sekian lama jagat politik Indonesia mengalami lesu darah, kemunculan pemimpin yang saat pemilihan dipandang relatif otentik mengembalikan darah segar ke jantung politik. Kehadiran darah segar ini lantas dipompakan ke seluruh tubuh kebangsaan oleh dorongan semangat perubahan, yang digerakkan simpul-simpul relawan yang tersebar di seluruh negeri. Tanpa menunggu komando dan janji imbalan, simpul-simpul relawan ini bergerak serempak, mengatasi keterbatasan logistik dan jaringan institusi kepartaian. Sontak saja, Indonesia disapu gelombang partisipasi politik rakyat yang masif, energetik, dan kreatif.

Fenomena tersebut menunjukkan sumber utama pesimisme dan apatisme publik terhadap politik di negeri ini tidaklah terletak pada "sisi permintaan" (demand-side) seperti sering didalihkan para politisi: rendahnya tingkat pendidikan rakyat, pragmatisme pemilih, serta kurangnya kesadaran politik. Sebaliknya terletak pada kelemahan "sisi penawaran" (supply-side), dari ketidakmampuan aktor-aktor politik untuk membangkitkan kepercayaan rakyat. Sekali ada aktor politik yang dapat dipercaya, kegairahan warga untuk terlibat secara politik kembali menguat.

Sayang sekali, bulan madu musim semi pengharapan itu cepat berlalu. "Pembajakan" kekuasaan oleh kekuatan oportunistik dan investor politik serta pertikaian berkepanjangan antarkubu politik, yang menyeret konflik internal dalam lingkaran dalam kekuasaan, meniupkan udara panas ke jantung politik. Mendapati petinggi politik dengan jiwa kenegarawanan yang kering, udara panas itu pun cepat membakar ranting jiwa kering, menimbulkan kebakaran di berbagai lini dengan menyisakan asap tebal di langit kekuasaan.

Ketika pusat kuasa diliputi kekeringan dan asap tebal yang sulit dipadamkan, sandaran terakhir yang kita nantikan adalah kedatangan musim hujan penyegaran. Perayaan Hari Natal bersamaan kembalinya musim hujan semoga bisa membawa hadiah keberkatan bagi bangsa ini. "Natal tidaklah menjadi Natal tanpa sesuatu hadiah," tulis novelis Louisa May Alcott. Dan tiada hadiah lebih berharga daripada cinta. Ia obat bagi yang sakit, lilin bagi kegelapan, harapan bagi kebuntuan.

Kebanyakan penyakit ditimbulkan oleh kalbu yang kusut. Kekusutan jiwa dihantarkan ke dalam tubuh, menimbulkan ketegangan antara hati yang sakit serta tubuh yang sehat, berujung pada kerontokan. Obat yang paling mujarab untuk sakit mental, menurut Sigmund Freud, adalah cinta. Sedemikian kuatnya daya kuratif cinta sehingga Freud memandang "psikoanalisis pada hakikatnya merupakan pengobatan lewat cinta".

Cinta menimbulkan banyak perbedaan. Orang yang bangkit dari keterpurukan kerap menuding kasih orangtua atau gurulah yang memotivasi untuk berubah positif. Secara historis, Christian compassion yang mendorong "Politik Etis" di masa kolonial menghadirkan jalan cinta sebagai koreksi terhadap ketamakan rezim liberalisme. Jalan cinta inilah yang membuka jalan pembebasan Indonesia.

Cinta jualah yang menjadi dasar mengada dan menumbuhkan negara-bangsa Indonesia. Bung Hatta mengingatkan, "Indonesia luas tanahnya, besar daerahnya, dan tersebar letaknya." Pemerintahan negara semacam itu hanya dapat diselenggarakan mereka yang mempunyai tanggung jawab yang sebesar-besarnya dan mempunyai pandangan amat luas. Rasa tanggung jawab itu akan hidup dalam dada jika kita sanggup hidup dengan memikirkan lebih dahulu kepentingan masyarakat, keselamatan nusa, dan kehormatan bangsa.

Atas dasar itu, Bung Karno pernah menyesalkan pudarnya jiwa cinta kerakyatan para pemimpin kita. "Berapa orangkah dari alam pemimpin Indonesia sekarang ini yang masih benar-benar 'rakyati' seperti dulu, masih benar-benar 'volks' seperti dulu?" Padahal, menurut Bung Karno, "Dulu itu kita semua adalah 'rakyati', dulu itu kita semua adalah 'volks'. Api pergerakan kita dulu itu kita ambil dari dapur apinya rakyat. Segala pikiran dan angan-angan kita dulu itu kita tujukan kepada kepentingan rakyat. Tujuan pergerakan kita dulu itu ialah satu masyarakat adil dan makmur bagi rakyat. Segala apa-saja sebagai hasil penggabungan tenaga rakyat dulu kita pakai sebagai alat perjoangan. Segenap kekuatan perjoangan kita dulu itu adalah kekuatan rakyat."

Beruntunglah, di tengah kemarau cinta di aras kekuasaan politik, kita masih menyaksikan ketahanan daya cinta di masyarakat. Di tengah cengkeraman korupsi, kekerasan, dan mafioso, negeri ini masih menyimpan banyak pejuang cinta tanpa pamrih, yang dengan kekuatan cintanya mampu menyirami bumi yang kering, merenda kembali dunia yang terkoyak. Bahkan Indonesia dinilai sebagai negara yang paling kreatif dalam menggunakan media sosial untuk gerakan sosial.

Cinta memperoleh pemenuhannya bukan pada apa yang bisa ia dapatkan, melainkan pada apa yang bisa ia berikan. Mencintai sesuatu berarti menginginkannya hidup. "Apa yang kuharap dari anakku, sudahkah kuberikan teladan baginya. Apa yang kuharap dari rakyatku, sudahkah kupenuhi harapan mereka," ujar Lao Tzu.

Ujian cinta dibuktikan oleh pengorbanan, seperti Yesus yang siap mengorbankan diri demi keselamatan warga bumi. Setiap Natal, saatnya mengisi kembali baterai cinta, dengan menghidupkan jiwa pengorbanan, demi kebaikan dan kesuburan negeri tercinta. "Cintailah satu sama lain," ujar Yesus dalam Perjanjian Baru (John 13: 34). Nabi Muhammad menggemakan anjuran ini dengan sabda, "Engkau akan melihat orang beriman dalam perangai belas kasih, saling mencintai serta berbagi kebaikan satu sama lain." []

KOMPAS, 29 Desember 2015
Yudi Latif | Direktur Eksekutif Pusat Studi Pancasila Universitas Pancasila

Tidak ada komentar:

Posting Komentar