Citra DPR dan Politik Tercela
Oleh: Azyumardi Azra
Citra DPR tampaknya kian terpuruk di mata masyarakat. Setelah
lebih dari setahun DPR hasil Pemilihan Umum Legislatif 2014 bekerja, publik
belum melihat tanda-tanda perbaikan kinerja yang boleh jadi bisa meningkatkan
citranya. Tampak ”penyakit lama” bertahan di lingkungan DPR. Kinerja lembaga
legislatif ini masih jauh daripada memuaskan masyarakat.
Lihatlah, misalnya, dalam legislasi. Setelah setahun di Senayan,
anggota DPR menghasilkan hanya tiga undang-undang (UU), yakni UU Nomor 17 Tahun
2014 yang juga dikenal sebagai UU MD3, UU No 1/2015 tentang Penetapan Perppu No
1/2014 mengenai Penetapan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (Kepala
Daerah); dan UU No 2/2015 tentang Penetapan atas Perppu No 2/2014 tentang
Pemerintahan Daerah. Pencapaian ini jelas di bawah target. Sebelumnya, DPR
menargetkan 39 rancangan undang-undang menjadi undang-undang.
Perbaikan citra tidak tertolong dengan tingkat kehadiran anggota
DPR yang rendah dalam berbagai rapat resmi. Selain itu, komisi-komisi DPR lebih
sibuk dengan fungsi pengawasannya terhadap eksekutif sehingga banyak waktu
habis untuk pertemuan dengan para menteri dan kepala lembaga serta pihak lain.
Citra DPR jelas tidak kian membaik dengan dua kasus belakangan ini. Meskipun
kedua kasus ini semula bersifat personal anggota atau kelompok anggota DPR,
yang kemudian muncul dalam persepsi publik adalah DPR secara keseluruhan.
Kasus pertama menyangkut Ketua DPR Setya Novanto yang dilaporkan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan
Dewan karena mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden untuk mendapatkan saham
PT Freeport Indonesia.
Kasus kedua adalah keengganan atau penolakan Komisi III
melanjutkan proses seleksi calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
melalui uji kelayakan dan kepatutan. Sebenarnya isyarat penolakan itu sudah
terlihat sejak DPR menerima nama delapan calon pimpinan. Ada kalangan anggota
DPR mempersoalkan tiadanya calon berlatar belakang jaksa dan bergelar sarjana
hukum.
Kedua kasus ini tidak hanya menjadi perdebatan pro dan kontra di
kalangan anggota DPR, tetapi juga di masyarakat. Sedikitnya ada dua persepsi di
masyarakat, mulai dari lingkungan akademis sampai ke sopir taksi. Pertama,
bertahannya praktik percaloan memanfaatkan keanggotaan dan posisi di DPR.
Persepsi kedua ialah masih ada anggota dan fraksi di DPR yang ingin, dengan
berbagai cara, melemahkan KPK.
Dengan persepsi ini, masyarakat melihat banyak anggota DPR yang
tidak peduli pada perbaikan negara-bangsa Indonesia. Kedua kasus itu
memperlihatkan ketiadaan niat tulus menciptakan negara Indonesia yang bebas
korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kedua kasus itu juga memperlihatkan banyak
anggota dan fraksi lebih peduli kepentingan diri dan kelompok daripada
kepentingan publik.
Meski anggota DPR mewakili konstituen masing-masing, dalam
praktiknya banyak di antara mereka sama sekali tidak mempertimbangkan dan malu
kepada pemilih.
Keadaan politik seperti ini disebut Rittel dan Webber (1984)
sebagai wicked problems (masalah tercela) yang secara ekstensi mencakup wicked
politics (politik tercela). Kedua kasus di atas dapat disebut wicked problems
karena memperlihatkan tindakan yang secara prinsip moral bersifat buruk dan
tidak etis. Bahkan, jika dilihat dari sudut agama, kasus-kasus itu menjadi
masalah tercela karena mengandung niat dan tindakan yang bertentangan dengan
ketentuan Tuhan.
Masalah tercela yang diciptakan kalangan pemangku jabatan publik,
dengan meminjam kerangka Rittel dan Webber, memunculkan apa yang saya sebut
sebagai politik tercela. Keduanya terbukti menjadi sumber dari banyak masalah
di lembaga publik, yang pada gilirannya mengakibatkan kegagalan politik.
Masalah tercela eksis juga di negara lain, termasuk yang mapan
berdemokrasi, seperti Amerika Serikat, Australia, Jepang, dan Korea Selatan.
Perbedaan paling mencolok adalah, ketika masalah tercela terbongkar, di negara
lain pelakunya biasanya mengundurkan diri. Bahkan, ada yang bunuh diri.
Sebaliknya, di Indonesia, pelaku tetap bertahan tanpa rasa malu dan bersalah.
Apa yang dimaksud dengan politik tercela adalah merajalelanya tindakan
politik tercela (wicked) yang sulit diselesaikan karena seolah sudah menjadi
”tradisi”. Politik tercela seakan tidak bisa diakhiri karena kuatnya resistansi
pelaku dan kelompoknya yang memiliki kekuasaan dan hak istimewa sebagai
pemangku jabatan publik.
Berlanjutnya masalah tercela dan politik tercela di Tanah Air
tidak hanya merugikan citra DPR, tetapi juga politik Indonesia secara
keseluruhan. Berbagai studi akademik tentang kedua masalah ini di sejumlah
negara menyimpulkan, keduanya menjadi salah satu sumber pokok meluasnya
apatisme politik warga. Juga disimpulkan, masalah tercela dan politik tercela
menjadi sumber kegagalan politik (political failures) untuk memperbaiki keadaan
negara dan warga secara keseluruhan. []
KOMPAS, 1 Desember 2015
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar