Rabu, 30 Desember 2015

Kang Sobary: Nasib di Tangan Jokowi



Nasib di Tangan Jokowi
Oleh: Mohamad Sobary

Bulan demi bulan yang sudah berlalu dengan penuh ketegangan politik dan ketidakpastian hukum selama 2015 memang jelas sudah lewat. Tapi, bukan tanpa duka, bukan tanpa kepedihan.

Pengalaman hidup yang sudah berlalu tidak sama dengan kalender yang kedaluwarsa. Ketegangan politik dan ketidakpastian hukum itu menggores jiwa kita dengan guratan-guratan berdarah, pedih, dan melukai kepercayaan kita pada hukum, penegak hukum, dan para pejabat lain yang tak selayaknya tinggal membisu. Tindakan polisi, yang diberi pembenaran bahwa segalanya sudah sesuai prosedur, haruskah ditelan begitu saja tanpa dikunyah sebagai kebenaran?

Lalu, pejabat KPK yang hidupnya teruji dengan baik, yang disergap seperti layaknya menyergap copet, harus dibiar-kan begitu saja tanpa kegelisahan terhadap watak adigang-adigungadiguna para polisi? Bagaimana kebenaran dan kemanusiaan serta keadilan dikorbankan begitu saja di jalanan demi menjaga ego lembaga penegak hukum dan manusia-manusia di dalamnya? Bagaimana kemanusiaan, kebenaran, dan keadilan yang begitu agung bisa dikorbankan untuk melindungi kedengkian dan watak iri yang tak pada tempatnya?

Solidaritas pada kolega mengalahkan loyalitas pada negara, pada kebenaran, dan keadilan hukum? Sejak awal, ketika perkara ini muncul di kepolisian, wibawa, kredibilitas, dan keseriusan Presiden dipertaruhkan. Sorotan tajam dan kritik penuh kemarahan ditujukan pada Presiden yang dianggap merestui apa yang terjadi.

Di dalam politik, dunia yang penuh kebohongan dan kedengkian itu, fitnah dan bukan fitnah, seperti sama saja. Keduanya hanya tampak samarsamar sehingga tukang fitnah dan para pendengki leluasa memainkan kartu andalannya.

***

Pengalaman yang lewat membawa kepedihan. Mungkin kepedihan hanya berhenti pada kepedihan jika kita tak punya cara atau strategi yang andal untuk mengakhiri watak iri dengki yang dicoba dilembagakan itu. Untuk mengakhiri selembar kalender yang sudah lewat cukup disobek, dibuang, atau dilupakan. Kekerasan lain, yang juga mengancam kemanusiaan, tetap muncul di sana-sini.

Para “hakim” agama, bahkan tak jarang tampil “wakil” Tuhan, yang merasa memperoleh mandat untuk menilai keimanan orang lain, mengambil tindakan moral dan keagamaan. Hanya mereka yang benar murni dan mutlak. Sementara pihak lain sering diancam dan ditindak dengan segenap tindak kekerasan yang melampaui batas kewenangan mereka. Mengapa dalam situasi seperti aparat penegak hukum, diam, membisu, dan membiarkan semuanya berlalu dengan meninggalkan trauma yang dalam bagi para korban kekerasan tersebut?

Di manakah penegak hukum berada? Keuntungan apa yang mereka peroleh dengan membiarkan semuanya tanpa sedikit pun peringatan bahwa mereka tak berhak dan karena salah bila tindakan itu diteruskan? Apa sebabnya penegak hukum tak mau menjalankan tugas utamanya yaitu menegakkan hukum bagi kemanusiaan dan keadilan? Aparat negara, yang disumpah untuk bekerja demi keamanan seluruh warga negara, lumpuh total dalam kasus-kasus seperti itu?

Fitnah dalam lakon “Papa Minta Saham” bukan jenis kejahatan politik baru. Sejak dulu sudah begitu. Ini menggambarkan— pertama— betapa jarak kumis dan jenggot sebagai simbol keagamaan, suatu jenis simbol suci, dengan tindakan kotor di dunia politik yang tak terhubung satu dengan yang lain. Simbol keagamaan itu satu hal, dan bertahta di dunia keluhuran, tindakan politik itu hal lain, yang bermain di comberan kefanaan, tetapi mereka merasa berada di dunia keabadian.

Tokoh politik kita, tak terkecuali yang bermain simbol agama, memang naif dan agak mentah dalam cara mereka memainkan keluhuran agama untuk membentuk suatu komunitas politik yang agak bersih dan agak serius menjaga simbol yang mereka gotong ke sana-mari. Kemunafikan tokoh-tokoh di balik lakon “Papa Minta Saham” tetap kemunafikan yang tak bisa diterima. Tapi, kemunafikan yang dilakukan dengan simbol-simbol suci keagamaan, dengan apa kita menilai status halal-haramnya? Orang bilang, ini bagian dari cara para musuh politik menjatuhkan kredibilitas dan “harga” politik Presiden Jokowi.

Dengan kata lain, ini semua merupakan perang babak kedua sesudah masa kampanye yang pedih, penuh fitnah, dan penghinaan dulu itu. Kalau fitnah dulu itu ditelusuri, niscaya beberapa tokoh politik tertangkap dan kejahatan mereka terungkap di mata publik. Tapi, Presiden Jokowi membiarkannya. Dan, yang dibiarkan makin dengki, makin dendam. Lalu, berbagai skenario politik yang berbau fitnah pun disusun.

“Papa Minta Saham” pun lalu menjadi lakon memalukan. Ada yang mundur. Tapi, apakah kemundurannya menyucikan segenap kekotoran politik yang penuh fitnah itu? Mundur tidak mundur, kekalahan tetap kekalahan yang merupakan pil pahit yang harus ditenggak bersama di antara mereka dan para tokoh yang bersembunyi jauh dari tasbih “Papa Minta Saham” tadi.

Politik memungkinkan dua orang, atau orang-orang, yang setiap hari hidup dalam satu kantor, saturuang satu atap, untuk saling mencari kelemahan dan dengan sikap diamdiam menusukkan jarum beracun untuk melumpuhkan saingannya. Ini politik yang semata mengejar kekuasaan demi kekuasaan itu sendiri.

***

Hanya seminggu sebelum 2015 berakhir, Presiden Jokowi mengundang para budayawan —suatu konsep yang tak jelas apa maksudnya— untuk diajak ngobrol santai sebelum dan sesudah makan siang di Istana. Dan, memang dengan santai beliau membuka acara, dan meminta para undangan menyampaikan pemikirannya tentang kebudayaan, yang penting untuk memberi warna kelembutan dalam kebijakan pemerintah.

Kebijakan janganlah terasa kering dan jauh dari sentuhan kemanusiaan. Tapi, Presiden, sesantai-santainya, tetap mencatat dengan baik apa yang disampaikan para budayawan tadi. Beberapa pokok pembicaraan, dan terbatas hanya pada apa yang saya ingat, dimulai dari pemikiran Romo Magnis, yang menjelaskan bahwa sebaiknya di masyarakat kita tidak ada orang yang merasa takut. Rakyat tidak takut mengamalkan ajaran agamanya. Rakyat tidak takut karena seharusnya tidak perlu ada orang yang membuat mereka takut.

Rakyat hendaknya merasa tenteram karena ada perlindungan pemerintah atau aparat penegak hukum yang memberi mereka pengayoman yang mereka perlukan. Intinya, menghadapi kenyataan bahwa rakyat takut dan dibuat takut oleh sementara kalangan, hendaknya pemerintah bertindak. Dalam situasi serbatakut seperti ini pemerintah tak boleh tinggal diam. Pemerintah harus mengambil suatu tindakan, untuk membuat rakyat merasa tenteram. Ada yang kemudian menyampaikan betapa merananya kehidupan kebudayaan.

Pemerintah tak pernah menaruh perhatian sedikit pun di dalam bidang ini. Contoh dunia film yang rentan, yang mudah digusur film asing, tak pernah menjadi perhatian aparat pemerintah yang mengurus perkara kebudayaan. Kita selalu menjadi tuan rumah yang baik, yang memuliakan film-film asing, dan memberi tempat leluasa film-film tersebut tanpa pernah memperhatikan perlunya film kita sendiri untuk diberi tempat selayaknya. Ada penerbit buku yang berbisnis dengan idealisme yang tak pernah dilakukan pihak lain.

Selain menerbitkan bukubuku yang mungkin laku di pasaran, penerbit ini menerbitkan pula buku-buku serius yang tak ada pasarannya. Tindakan ini dilakukan dengan penuh kesadaran bahwa penerbit tak selayaknya hanya menyajikan buku-buku sampah yang tak memberi arti pendidikan bagi masyarakat. Pemerintah seharusnya memiliki perhatian terhadap perkara ini. Yang lain menyatakan, terutama di bidang agama, seharusnya tidak ada pihak yang menilai sikap dan cara pihak lain beragama.

Orang tak bisa dan tak berhak menilai orang lain. Urusan agama tak usah dinilai dengan cara yang begitu menakutkan, seperti disinggung Romo Magnis tadi. Biarkan Tuhan sendiri yang menilai ketulusan kita beragama. Lalu, Revolusi Mental. Ini jelas urusan kebudayaan.

Tapi, Presiden dimohon menjaga dengan baik, jangan sampai program ini diserahkan kepada pihak swasta, sebagaimana dilakukan menpan, yang memfasilitasi kerja sama antara pihak swasta dengan lembaga-lembaga dan kementerian dalam pemerintahan. Ini bahayanyatakarenastrategiyang ditempuh persis penataran P4 yang menghasilkan omong kosong besar di zaman penataran itu dilaksanakan. Bagaimana selanjutnya? Nasib terserah sepenuhnya di tangan Presiden.

Sejak renungan politik di awal ini disusul kasus-kasus berikutnya, pada akhirnya harus dijawab Presiden. Dalam diskusi itu beliau belum menyatakan apa pun. Tapi, catatan beliau akan menjadi landasan kebijakan lebih lanjut. Kita tunggu bagaimana jawab Presiden. []

KORAN SINDO, 28 Desember 2015
Mohamad Sobary | Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi. Penggemar Sirih dan Cengkih, buat Kesehatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar