Mabadi Khaira Ummah
Gerakan pengembangan
ekonomi di NU terus digiatkan mengingat hanya dengan upaya itu NU berkembang
secara mandiri. Apa yang saat itu dikenal dengan economischemobilisatie, adalah
upaya untuk mengembangkan ekonomi rakyat. Namun demikian usaha ini juga
mencakup bidang eksor impor dengan mendirikan importhandel dan exporthendel
yang mengatur seluruh perdagangan luar negeri. Demikian diputuskan dalam
Muktamar NU di Menes Banten 1938.
Untuk menindaklanjuti
hal itu maka pada Muktamar NU di Magelang1939 ditetapkanlah prinsip-prinsip
pengembangan sosial dan ekonomi yang tertuang dalam Mabadi Khaira Ummah, yaitu
pertama, ash-shidqu (benar) tidak berdusta; kedua, al-wafa bil ‘ahd (menepati
janji) dan ketiga at-ta’awun (tolong-menolong). Ini dikenal dengan ”mabadi
khaira ummah ats-Tsalasah” (Trisila Mabadi). Sebagai kelanjutan usaha itu pada
tahun 1940, Ketua HB NU KH Machfud Shiddiq penggagas mabadi ini berkunjung ke
Jepang untuk melakukan kerja sama ekonomi.
Sesuai dengan
perkembangan zaman dan kemajuan ekonomi, maka kemudian dalam Munas NU di
Lampung 1992 mabadi khaira ummah ats-tsalatsah itu dikembangkan lagi menjadi
mabadi khaira ummah al-khamsah (Pancasila Mabadi) dengan menambahkan prinsip
‘adalah (keadilan) dan istiqamah (konsistensi, keteguhan). Bahkan menurut KH
Ahmad Siddiq dalam negara yang berdasarkan Pancasila maka mabadi ini digunakan
sebagai sarana mengembangkan masyarakat Pancasila, yaitu masyarakat sosialis
religius yang dicita-citakan oleh NU dan oleh negara.
Prinsip pengembangan
sosial ekonomi yang dirumuskan para ulama ini kelihatannya sangat sederhana,
tetapi memiliki arti yang sangat besar dan sekaligus mendalam.
Sesuai dengan prinsip bisnis modern, maka as-shidqu (trust) memiliki
posisi sangat penting dalam pengembangan bisnis. Apalagi wafa bil
ahd (menepati janji) merupakan indikasi bonafide tidaknya sebuah
organisasi atau lembaga bisnis. Prinisip keadilan dan konsistensi sangat perlu
ditegaskan saat ini karena di tengah sistem kapitalis, keadilan menjadi
sangat langka, karena itu perlu ditegaskan kembali.
Bagaimanapun
seringkali masalah moral ekonomi diabaikan dalam kenyataan. Semua masyarakat
menghendaki adanya moral dalam ekonomi, justru karena semakin langka itu
kehadirannya semakin dibutuhkan, karena hal itu yang akan memungkinkan ekonomi
berjalan, ketika hukum masih bisa dipercayai, ketika transaksi masih bisa
dipegangi dan ketika kesepakatan masih bisa saling dihormati. Prinsip moral
yang melandasi keseluruhan relasi sosial terutama dalam bidang ekonomi itulah
yang dikehendaki oleh mabadi khaira ummah, untuk menciptakan kehidupan saling
percaya sehingga memungkinkan dilakukan kerja sama.
***
Mabadi Khaira Ummah
Perlu dicermati
perbedaan konteks zaman antara masa gerakan mabadi khaira ummah pertama kali
dicetuskan dan masa kini. Melihat besar dan mendasarnya perubahan
sosial yang terjadi dalam kurun sejarah tersebut, tentulah perbedaan konteks
itu membawa konsekuensi yang tidak kecil. Demikian pula halnya denangan
perkembangan kebutuhan interal NU sendiri. Oleh karena itu perlu dilakukan
beberapa penyesuaian dan pengembangan dari gerakan mabadi khaira ummah yang
pertama agar lebih jumbuh dalam konteks kekinian.
Jika semula mabadi
khaira ummah tiga butir, maka dua butir perlu ditambahkan untuk mengantisipasi
persoalan kontemporer, yaitu ’adalah dan istiqamah, yang dapat pula disebut
dengan al-Mabadi al-Khamsah dengaan kerincian berikut ini:
Ash-shidqu. Butir ini
mengandung arti kejujuran atau kebenaran, kesunguhann. Jujur dalam
arti satunya kata dengan perbuatan ucapan dengan pikiran. Apa yang diucapkan
sama dengan yang dibatin. Tidak memutarbalikkan fakta dan meberikan
informasi yang menyesatkan, jujur saat berpikir dan bertransaksi. Mau mengakui
dan menerima pendapat yang lebih baik.
Al-amanah wal wafa
bil ‘ahdi. Yaitu melaksanakan semua beban yang harus dilakukan terutama hal-hal
yang sudah dijanjikan. Karena itu kata tersebut juga diartikan sebagai dapat
dipercaya dan setia dan tepat pada janji, baik bersifat diniyah maupun
ijtimaiyah. Semua ini untuk menghindarkan berapa sikap buruk seperti manipulasi
dan berkhianat. Manah ini dilandasi kepatuhan dan ketaatan pada Allah.
Al’Adalah. Berarati
bersikap obyektif, proporsional dan taat asas, yang menuntut setiap orang
menempatkan segala sesuatu pada tempatnya, jauh dari pengaruh egoisme, emosi
pribadi dan kepentingan pribadi. Distorsi semacam itu bisa menjerumuskan orang
pada kesalahan dalam bertindak. Dengan sikap adil, proporsional dan obyektif
relasi sosial dan transaksi ekonomi akan berjalan lancar saling menguntungkan.
At–ta’awun.
Tolong-menolong merupakan sendi utama dalam tata kehidupan
masyarakat, manusia tidak dapat hidup sendiri tanpa bantuan pihak lain. Ta’awun
berarti bersikap setiakawan, gotongroyong dalam kebaikan dan dan taqwa.
Ta’awaun mempunyai arti timbal balik, yaitu memberi dan menerima. Oleh karena
itu sikap ta’awun mendorong orang untuk bersikap kreatif agar memiliki sesuatu
untuk disumbangkan pada yang lain untuk kepentingan bersama, yang ini juga
berarti langkah untuk mengkonsolidasi masyarakat.
Istiqamah, dalam
pengertian teguh, jejeg ajek dan konsisten. Tetap teguh dengan ketentuan Allah
dan Rasulnya dan tuntunan para salafus shalihin dan aturan main serta rencana
yang sudah disepakati bersama. Ini juga berarti kesinambungan dan keterkaitan
antara satu periode dengan periode berikutnya, sehingga kesemuanya
merupakan kesatuan yang saling menopang seperti sebuah bangunan. Ini juga
berarti bersikap berkelanjutan dalam sebuah proses maju yang tidak kenal henti
untuk mencapai tujuan.
Kebangkitan kembali
prinsip mabadi khaira ummah ini didorong oleh kebutuhan-kebutuhan dan tantangan
nyata yang dihadapi oleh NU khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Kemiskinan dan kelangkaan sumber daya manusia, kemerosotan budaya dan
mencairnya solidaritas sosial adalah keprihatinan yang dihadapi bangsa
Indonesia umumnya dan NU pada khususnya. Sebagai nilai-nilai universal
butir-butir mabadi khaira ummah dapat dijadikan sebagai jawaban langsung bagi
problem-problem sosial yang dihadapi masyarakat dan bangsa ini. []
*)
Diikhtisarkan dari Muktamar NU di Magelang 1939 dan Munas NU di Lampung 1992
Tidak ada komentar:
Posting Komentar