Dunia
yang Terkoyak
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Ketika
saya menelusuri beberapa negara Eropa, baik Eropa Barat maupun Eropa Timur,
melalui jalan darat (2014 dan 2015), ingatan saya melayang saat jalan-jalan ke
Timur Tengah. Situasinya sangat berbeda. Kita cukup memiliki visa satu negara
Eropa yang tergabung dalam Schengen, kecuali Inggris, kalau mau jalan-jalan.
Bus dengan leluasa keluar-masuk tanpa pemeriksaan paspor. Ini sangat berbeda
dengan pengalaman saya ketika tahun 1986 ke Arab Saudi dengan bus berangkat
dari Turki.
Sedikitnya
ini saya lakukan tiga kali ketika saya kuliah di Turki (1985-1990), yaitu untuk
beribadah haji dan kerja musiman di KBRI. Begitu masuk wilayah Suriah, petugas
keamanan memeriksa paspor semua penumpang dengan gayanya yang sok wibawa. Namun
sopir sudah paham, ujung-ujungnya minta uang dan makanan khas Turki yang sudah
disiapkan sopir.
Begitu
pun ketika kendaraan masuk perbatasan Yordania dan Arab Saudi, peristiwa serupa
terjadi. Kesimpulannya, mereka tidak punya tradisi melayani tamu yang datang
agar tamu memiliki kenangan indah dan simpatik. Di sepanjang jalan pun kita
sulit menemukan WC yang bersih. Apakah simpulan saya ini bersifat subjektif dan
tidak fair, silakan bandingkan dengan pengalaman Anda sendiri ketika berurusan
dengan petugas imigrasi negaranegara Timur Tengah, misalnya sewaktu ibadah
umrah atau haji.
Kini
situasinya semakin buruk. Ketika berkunjung ke Yerusalem, situasinya berbeda
lagi. Di sana-sini terlihat tentara Israel bersenjata lengkap layaknya mau
perang. Padahal sejak kecil saya diceramahi bahwa kota itu merupakan home base
penyebaran agama Yahudi yang dibawa Nabi Musa dan agama Nasrani yang dibawa
Nabi Isa, juga tempat Nabi Muhammad melakukan isra’ dan mi’raj.
Tapi yang
kita tahu wilayah ini justru menjadi medan konflik dan perang yang dampak
negatifnya dirasakan seluruh penduduk bumi. Bagi mereka yang menelusuri wilayah
Arab dengan jalan darat, dibutuhkan bekal kesabaran tinggi.
Di
daratan Afrika juga mirip kondisinya. Batas antarnegara yang merupakan gurun
pasir tidak jelas dan tidak permanen memisahkan antarnegara sehingga potensial
memancing konflik. Belum lagi konflik politik dan ideologi antarmereka.
Sudan, Nigeria, Aljazair, Libya, dan beberapa negara lain tak sepi dari
konflik.
Meski
perjalanan ke negara- negara Eropa cukup lancar dan menyenangkan, semua pemandu
wisata Indonesia selalu mengingatkan, hati-hati dengan copet yang beroperasi
dengan sangat canggih. Penampilan perlente, sangat di luar dugaan bagi turis
Indonesia yang mudah tertarik pada penampilan luar. Turis Asia saat ini
jadi sasaran empuk bagi copet karena lebih senang membawa uang tunai dalam
jumlah besar, bukannya mengandalkan kartu kredit. Jumlah turis China bisa
mencapai 100 juta dalam setahun. Turis Indonesia pun ikut naik citranya di Eropa.
Dianggap negara kaya. Sasaran empuk bagi copet dan penipuan.
Meminjam
istilah JJ Rousseau, sejak manusia mengenal ungkapan ceci est a moi, ini
milikku, this is mine, sumber kekayaan alam lalu jadi objek perebutan. Maka
bumi pun dikaveling-kaveling. Pada awalnya mungkin saja kepemilikan itu
berdasarkan hubungan darah dan warna kulit yang telah lama mendiami sebuah
wilayah.
Tapi
lama-lama perebutan dan pengavelingan itu atas nama bangsa dan negara yang
ditopang senjata dengan motif akumulasi materi dan kekuasaan politik. Tidak
hanya bumi, lautan dan udara pun dikaveling-kaveling. Dalam drama perkelahian
antara Kabil dan Habil, nafsu kepemilikan ini dibumbui kedengkian dan
kecemburuan seperti dalam kisah Alquran.
Akhir-akhir
ini bahkan ditambah lagi dengan klaim atas nama Tuhan oleh sekelompok gerakan
keagamaan yang mengusung nama tentara dan wakil Tuhan di muka bumi. Tak ada
kepemilikan sejati kecuali semua ini milik Tuhan. Jadi merekalah yang punya
hak, di luar mereka adalah kafir, perampok yang halal darahnya. Memang benar
dikatakan bahwa damai itu merupakan dambaan fitri setiap manusia.
Namun
kenyataannya sejarah manusia tak pernah sepi dari bahasa kebencian yang
mengarah pada konflik dan perang. Langit canopy senantiasa terkoyak oleh perang
simbolik, sementara perang fisik juga terjadi di mana-mana. Pakistan pisah dari
India dengan kemarahan.
Menyusul
kemudian Bangladesh memisahkan diri dari Pakistan. Ketegangan antara Pemerintah
Korea Utara dan Korea Selatan masih berlangsung sekalipun warganya rindu untuk
rekonsiliasi. Sisa-sisa kemarahan pecahnya Uni Soviet dan Yugoslavia juga masih
jauh dari redam. Kadang kala apa yang disebut negara memang tak ubahnya
penjara. Biangnya para elite penguasanya. []
KORAN
SINDO, 27 November 2015
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar