Siapa KH Syam’un,
Tokoh Santri yang Dianugerahi Pahlawan Nasional?
Enam tokoh dari
sejumlah daerah dinaugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo.
Pemberian penghargaan dilakukan, Kamis (8/11) di Istana Negara Jakarta pukul
13.00 WIB.
Enam tokoh Indonesia
dimaksud ialah Abdurrahman Baswedan tokoh dari Provinsi DI Yogyakarta, Ir H
Pangeran Mohammad Noor tokoh dari Kalimantan Selatan, Agung Hajjah Andi Depu
tokoh dari Sulawesi Barat, Depati Amir tokoh dari Bangka Belitung, Kasman
Singodimedjo tokoh dari Jawa Tengah, Brigjen KH Syam'un tokoh dari Banten.
Sebelumnya, nama-nama
yang masuk digodok oleh Tim Peneliti Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP) di Kementerian
Sosial. Setelah itu, diajukan ke Presiden, hingga dipilih enam nama pada 2018.
Dari keenam nama
tersebut, seorang tokoh santri kembali terpilih menjadi Pahlawan Nasional dalam
penganugerahan tahun 2018 ini yakni Brigjen KH Syam’un. Selain sebagai seorang
ulama dari kalangan pesantren, ia juga seorang militer, dan pernah menjabat
sebagai Bupati Kabupaten Serang pertama setelah Indonesia meraih kemerdekaan.
Brigjen Syam'un
merupakan cucu dari Kiai Wasid yang merupakan pemimpin perjuangan Geger Cilegon
pada 1888 melawan Belanda. Lahir pada tahun 1883 KH Syam'un menjadi pelopor
pengajaran Islam tradisional melalui Pesantren Al-Khairiyah di Banten yang
kemudian tersebar di Jawa sampai Sumatera.
Dalam perjuangannya,
kiai lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir ini pernah bergabung dengan
Pembela Tanah Air atau Peta pada 1943-1945 dan terlibat untuk pembentukan
pemerintah daerah dan diangkat menjadi Bupati Serang.
Berdasar catatan
sejarah dari biografi KH Syam'un seperti dikutip NU Online dari detikcom, yang disusun oleh Mufti Ali dan kawan-kawan yang
merupakan adaptasi dari naskah akademik usulan Pemprov Banten untuk gelar
pahlawan nasional, ia juga pernah menjadi komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR)
dan berada di garis depan pengusiran tentara Jepang pada 1945.
Pada Oktober 1945
sampai Janauari 1946, ia turut berupaya menumpas Gerakan Dewan Rakyat.
Kemudian, diangkat menjadi panglima TKR Divisi 1000/I dan kemudian diangkat
menjadi komandan Brigade I/Tirtayasa periode 1946-1947. Brigade I/Tirtayasa
merupakan cikal bakal Korem Maulana Yusuf Serang.
Syam'un muda menempuh
pendidikan di Mekah dan Mesir. Saat kepulangannya ke Banten pada 1915, ia
mendirikan pesantren di kampung halamannya di Citangkil, Cilegon. Beberapa
tahun kemudian, pesantren ini bertransformasi menjadi madrasah Al-Khairiyah
yang tidak hanya mengajarkan ilmu agama tapi juga pengetahuan umum. Madrasah
ini kemudian menjadi pelopor pembaharu pendidikan Islam di daerah Banten dan
masih tetap ada sampai sekarang.
Dari gerakan
pesantren dan madrasah, KH Syam'un bertransformasi menjadi tokoh militer dan
ikut andil dalam sejarah kemerdekaan Indonesia khususnya di Banten. Status
sosialnya sebagai ulama di Banten menjadikan Syam'un diangkat menjadi komandan
batalyon (daidancho) Peta bersama KH Achmad Chatib oleh Jepang.
Setelah Jepang kalah
oleh pasukan sekutu, KH Syam'un kemudian diangkat menjadi ketua Badan Keamanan
Rakyat (BKR) untuk Keresidenan Banten dan Serang pada 1945. Badan ini kemudian
yang mengusir tentara Jepang di markas Kenpetai melalui baku tempak di kampung
Benggala.
Pada Oktober 1945
begitu dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Komandemen 1/Jawa Barat
membentuk Divisi 1 TKR dengan nama Divisi 1000/1 dengan panglima divisi KH
Syam'un dengan pangkat kolonel. Di bawah pimpinanya, Divisi 1 TKR menumpas
Gerakan Dewan Rakyat yang menangkap tokoh-tokoh penting pemerintahan di Banten.
Bahkan karena gerakan
ini, ada desas-desus Banten akan melepaskan diri dari Indonesia, hal ini
kemudian mendorong Sukarno dan Hatta harus turun ke Banten dan meyakinkan
rakyatnya.
Pada 1946, terjadi
penggantian jabatan di Banten dan pilihnya jatuh ke KH Syam'un menjadi Bupati
Serang. Naiknya ulama di lingkungan pemerintahan diharapkan menjaga kedaulatan
RI dari ancaman termasuk tentara Belanda yang datang setelah Jepang kalah dari
sekutu.
Saat Tentara Keamanan
Rakyat mengalamai perubahan dan restrukturisasi menjadi Tentara Republik
Indonesia (TRI) pada 1946, Komandemen 1/Jawa Barat berubah menjadi Divisi
I/Siliwangi dan dipimpin oleh Panglima Jenderal Mayor A.H Nasution.
Divisi ini kemudian
membawahi lima brigade salah satunya Brigade I/Tirtayasa di Banten dengan
komandan Kolonel KH Syamun. Dalam perkembangannya, karena merangkap menjadi
bupati, ia kemudian diganti oleh Letnan Kolonnel Soekanda Bratamenggala.
Saat terjadi agresi
militer Belanda pada 1948-1949, terjadi perang gerilya di berbagai daerah
termasuk di Banten. KH Syam'un yang waktu itu bupati Serang ikut bergerilya ke
Gunung Cacaban di Anyer. Saat itu, terjadi peperangan sengit antara tentara dan
pasukan agresi militer Belanda di sana.
Dua bulan kemudian,
KH Syam'un meninggal saat bergerilnya di usia ke 66 karena penyakit yang
dideritanya.
"Dalam
perjuangan gerilyanya di hutan dan di gunung, ia rela meninggalkan jabatannya
sebagai seorang bupati untuk bersusah payah di hutan dan sakit. Sampai akhir
hayatnya ia tetap berusaha untuk membela negara dan menjaga kehormatan bangsa
dari ancaman bangsa lain," tulis buku tersebut. []
(Fathoni)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar