Ilustrasi Produk Deposito dan
Reksadana Syariah dalam Kasus Keseharian
Ada tiga pelaku usaha patungan, sebut saja
Ahmad, Ridlo, dan Rizqi. Ahmad bergerak selaku pelaku usaha dan sekaligus
pemodal. Ridlo dan Rizqi keduanya hanya bergerak selaku pemodal. Beda
antara Ridlo dan Rizqi adalah bahwa modal Ridlo diperoleh dari hasil patungan
tiga orang saudaranya, sementara modal Rizqi murni dari modal pribadi.
Kesepakatan yang dibangun di antara ketiga pemodal
ini adalah bahwa Ahmad selaku pelaksana dan selaku pemodal, dia akan
mendapatkan gaji sebesar 5 juta per bulan. Sementara untuk Ridlo dan Rizqi akan
mendapat bagian dari keuntungan saja (deviden) karena ia hanya bergerak selaku
investor (pemodal). Modal dari ketiga orang ini jika diperinci akan tersusun
sebagai berikut:
• Ahmad mengeluarkan modal Rp100 juta
• Ridlo mengeluarkan modal Rp300 juta
• Rizqi mengeluarkan modal Rp100 juta.
Jadi, total modal yang terkumpul adalah sebesar
500 Juta
Dengan demikian, persentase kepemilikan saham
perusahaan dari ketiganya adalah sebagai berikut:
• Ahmad = (100 juta : 500 Juta) x 100% =
20%
• Ridlo = (300 juta : 500 Juta) x 100% =
60%
• Rizqi = (100 juta : 500 Juta) x 100% =
20%
Setelah dilakukan pengelolaan usaha, ternyata
di akhir tahun usaha tersebut menghasilkan keuntungan bersih sebesar 500 juta.
Dengan demikian, maka bagian dari masing-masing pemodal tersebut setelah
dipotong biaya operasional (gaji pengelola) adalah sebagai berikut:
• Keuntungan = 500 juta
• Gaji pengelola = 5 juta x 12 Bulan = 60
juta
• Sisa keuntungan = 440 juta
• Bagian Ahmad = 20% x 440 Juta
= 88 juta
• Bagian Ridlo = 60% x 440 Juta =
264 juta
• Bagian Rizqi = 20% x 440 Juta
= 88 juta
Jika sebelumnya Ridla mendapatkan modal dari
hasil patungan 3 orang saudaranya, maka jika masing-masing saudara tersebut
memberikan sumbangsih 100 juta, maka ketiganya akan menerima bagian sebesar 88
juta. Adapun, karena ketiga saudara Ridla tersebut mengambil “wakil usaha”
kepadanya, maka bila diawal kerjasama antara Ridla dan saudaranya terdapat
perjanjian bahwa Ridla akan mendapatkan nisbah 50% dari keuntungan modal yang
diamanahkan, maka Ridla berhak menerima bagiannya sebesar 132 juta. Sementara
ketiga saudaranya masing-masing menerima 44 juta per orang.
Antara Ridla dengan saudaranya di sini aqadnya
adalah musyarakah. Sementara Ridla dengan ketiga kawannya yang mengadakan usaha
patungan tersebut, aqadnya adalah mudlarabah.
Jika kasus di atas di bawa ke permasalahan
perbankan, maka saudara Ridla tersebut ibaratnya adalah nasabah selaku pemilik
modal yang asli. Sementara Ridla, adalah ibarat pihak bank yang berlaku sebagai
mudharib. Produk perbankan yang diambil antara relasi Ridla dan saudaranya
adalah ibarat penyalur Deposito. Sementara, Rizqi dengan ketiga pemodal lainnya
adalah ibarat mengambil produk Reksadana. Keuntungan mana yang lebih besar dari
masing-masing pihak, bisa dilihat sendiri dari ilustrasi tersebut.
Bilamana terjadi kerugian dalam usaha? Apakah
saudara Ridlo juga ikut menanggung akibatnya? Dalam hal ini para ulama berbeda
pendapat. Jika aqad yang dipakai Ridlo dengan saudaraanya adalah wadi’ah yadu
al-dlammanah, maka Ridlo wajib bertanggung jawab mengganti dana dari ketiga
saudaranya. Namun jika Ridla mengambil aqad yadu al-amanah, maka Ridla tidak
berhak menanggung kerugian, disebabkan karena dalam usaha ada kemungkinan
resiko untung dan rugi. Lebih jelasnya, adalah bila saudara Ridla tahu ke mana
uang akan diinvestasikan oleh Ridla sehingga ia mengetahui resiko untung rugi
dari sebuah usaha, maka Ridla boleh berlepas tangan terhadap uang saudaranya.
Namun, bila saudara Ridla tidak mengetahui ke mana uang tersebut
diinvestasikan, maka Ridla terkena beban kewajiban mengganti dana tersebut. Hal
ini bisa diketahui hukumnya dengan menangkap makna dhahir nash:
عن ابن
عباس رضي الله عنهما أنه قال : كان سيدنا العباس بن عبد المطلب إذا دفع المال
مضاربة، اشترط على صاحبه أن لا يسلك به بحرا ولا ينزل به واديا ، ولا يشتري به
دابة ذات كبد رطبة ، فإن فعل ذلك ضمن فبلغ شرطه رسول الله صلى الله عليه وسلم
فأجاز شرطه
“Abbas bin Abdul Muthallib ketika menyerahkan
harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya untuk tidak
mengarungi lautan, dan menuruni lembah, dan tidak membeli hewan. Jika
persyaratan itu dilanggar, maka ia harus manggung resikonya. Ketika persyaratan
itu didengar oleh Rasulullah SAW, beliau membolehkannya.” (Lihat: Abu Bakar
Mas’ud bin Ahmad al-Kasany, Badai’ul Shanai’, Penerbit: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah,
Juz 6, hlm. 79)
Dengan demikian, kerugian usaha yang mutlak
ditanggung oleh Ridlo adalah besaran kerugian sesuai dengan saham yang
dimilikinya dalam usaha berdasar prosentase yang dimilikinya. Hal yang sama
juga berlu untuk besaran yang harus ditanggung oleh Ahmad dan Rizqi.
Masing-masing yang beraqad menanggung kerugian menurut besaran saham
kepemilikannya.
Demikianlah sedikit perbedaan ilustrasi antara
relasi nasabah deposito, perbankan dan jalur usaha, dengan nasabah
reksadana–perbankan dan jalur usaha.
Semoga bermanfaat!
[]
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan
dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, JATIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar