Perbedaan Hak Perawan dan
Janda soal Akad Nikah
Agama Islam merupakan agama yang sangat
meninggikan posisi perempuan. Sejarah mencatat bahwa sebelum Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam hadir menyampaikan syariat Islam, masyarakat
jahiliyah di Mekkah sangat tidak adil dalam memperlakukan perempuan. Kaum hawa
tidak mendapatkan hak bersuara dalam hal apa pun, tidak mendapatkan hak waris,
tidak bisa menuntut nafkah yang layak, dan lainnya. Setelah Nabi Muhammad
datang, mulailah perempuan mendapatkan tempat di masyarakat. Islam membuat
mereka bisa mendapatkan hak waris, bisa menuntut nafkah yang layak bagi
dirinya, dan bisa menyampaikan hak bersuara khususnya dalam bab nikah.
Di sisi yang lain, Islam juga tidak sampai
kebablasan dalam memberikan kebebasan bagi perempuan, seperti perlakuan yang
berbeda bagi perawan dan janda dalam bab nikah.
Dikutip dari Imam Abu Ishak Ibrahim bin Ali
bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi dalam al-Muhadzdzab fi Fiqh al-Imam
al-Syafi’i (Damaskus: Dar al-Qalam, 1992), juz II, hal. 429-430, disebutkan
bahwa:
ويجوز
للأب والجد تزويج البكر من غير رضاها صغيرة كانت أو كبيرة لما روى ابن عباس رضي
الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "الثيب أحق بنفسها من وليها
والبكر يستأمرها أبوها في نفسها " فدل على أن الولي أحق بالبكر وإن كانت
بالغة فالمستحب أن يستأذنها للخبر وإذنها صماتها لما روى ابن عباس رضي الله عنه أن
النبي صلى الله عليه وسلم قال: "الأيم أحق بنفسها من وليها والبكر تستأذن في
نفسها وإذنها صماتها"
“Diperbolehkan bagi ayah atau kakek
menikahkan anak perawan tanpa kerelaannya, baik kanak-kanak maupun dewasa
sebagaimana hadits riwayat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anh, bahwa Nabi bersabda:
‘Janda berhak atas dirinya ketimbang walinya, dan ayah seorang perawan boleh
memerintah untuk dirinya’. Hadits ini menunjukkan bahwa wali lebih berhak atas
diri seorang perawan. Jika si perawan tersebut sudah dewasa, maka disunnahkan
untuk meminta izin padanya, dan izinnya berupa diam, sebagaimana hadits riwayat
ibnu Abbas bahwa Nabi bersabda: ‘Janda lebih berhak bagi dirinya ketimbang
walinya, dan perawan memberikan izin untuk dirinya, dengan cara diam’.”
Keterangan di atas menunjukkan bahwa ketika
seorang perempuan statusnya adalah janda, maka dia harus bersuara untuk dirinya
sendiri dalam akad nikah. Ia harus menyampaikan pendapatnya apakah dia bersedia
menikah dengan seseorang yang dicalonkan bagi dirinya ataupun tidak. Dalam hal
ini, suaranya lah yang paling menentukan kelangsungan akad nikah. Ia
diposisikan sebagai pihak yang bisa menentukan nasibnya sendiri.
Berbeda halnya dengan perawan. Wali bisa
memaksanya untuk menikah dengan lelaki yang baik baginya selama tidak ada
bahaya. Muktamar ke-5 NU di Pekalongan pada tanggal 7 September 1930 yang
menyinggung soal ini berpendapat bahwa tindakan wali semacam itu adalah makruh
alias tidak dianjurkan. Ketika mudarat timbul akibat paksaan tersebut, hukumnya
bisa berubah menjadi haram. Tetap disunnahkan untuk menanyakan pendapat si anak
perawan tentang rencana pernikahannya, dan jika dia diam, maka hal tersebut
menunjukkan persetujuannya.
Alasan diamnya perawan dianggap sebagai
persetujuan, bisa kita simak pada kelanjutan penuturan Imam Abu Ishak Ibrahim
bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi:
ولأنها
تستحي أن تأذن لأبيها فجعل صماتها إذناً
“Karena dia (perawan) malu menunjukkan kata
izin pada ayahnya, maka dijadikanlah diamnya sebagai bentuk persetujuan.
Perlu diingat bahwa tidak semua wali berhak
memaksa, hanya ayah atau kakeknya saja. Jika seorang perawan tidak lagi
memiliki ayah atau kakek, dan walinya adalah selain mereka berdua atau wali
hakim, maka wali yang bukan ayah atau kakek ini tidak bisa memaksa si perawan
tersebut. Hal ini dinyatakan dalam kelanjutan penuturan Imam Abu Ishak Ibrahim
bin Ali bin Yusuf al-Fairuzzabadi al-Syairazi:
ولا
يجوز لغير الأب والجد تزويجها إلا أن تبلغ وتأذن لما روى نافع أن عبد الله بن عمر
رضي الله عنه تزوج بنت خاله عثمان بن مظعون فذهبت أمها إلى رسول الله صلى الله
عليه وسلم وقالت: إن ابنتي تكره ذلك فأمره رسول الله صلى الله عليه وسلم أن
يفارقها وقال: "لا تنكحوا اليتامى حتى تستأمروهن فإن سكتن فهو إذنهن"
فتزوجت بعد عبد الله بن المغيرة بن شعبة
“Tidak boleh bagi selain ayah atau kakek
menikahkan perawan hingga dia dewasa dan memberikan pernyataan izinnya”.
Semoga pemaparan di atas bisa memberikan
gambaran yang jelas tentang perbedaan perlakuan bagi perawan dan janda dalam
akad nikah. Sekian dari kami. Wallahu a’lam bi shawab.
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar