Suami-Istri Berpisah Kubur demi Melestarikan
Tali Persaudaraan
Ketika Mbah Sakdullah masih hidup, beliau
sudah berwasiat agar kelak dimakamkan di desa kelahirannya di Kalioso Sragen.
Sedang istrinya, Mbah Ngismatun, tidak berwasiat apa pun terkait tempat
pemakamannya sehingga pihak keluarga memakamkan Mbah Ngismatun di Makam Pajang
Saripan Makamhaji Kartosuro Sukoharjo. Berpisahnya kubur pasutri tersebut tidak
perlu dipandang negatif sebab bertujuan mulia, yakni melestarikan tali
persaudaraan anak-anak keturunan mereka dengan saudara-saudara dari kedua jalur
– ayah dan ibu.
Mbah Sakdullah Solo (biasa dipanggil Mbah
Dullah) adalah keturunan ke-6 dari Mbak Kiai Abdul Jalal I Kalioso Sragen,
seorang tokoh yang mendapat tanah pardikan dari Raja Keraton Surakarta PB IV
pada tahun 1788 untuk menyebarkan dakwah Islam di daerah itu. Sedang Mbah
Ngsimatun (biasa dipanggil Mbah Ngis) adalah putri Mbah Kiai Abdul Mannan,
salah seorang pendiri Pondok Pesantren Al-Muayyad Mangkuyudan Surakarta,
didirikan tahun 1930-an. Mbah Dullah wafat pada tahun 2005, sedangkan Mbah Ngis
wafat 11 tahun sebelumnya, yakni pada tahun 1994.
Dua Jalur Nasab
Setiap anak manusia secara biologis memiliki
dua jalur keturunan atau nasab yang tak bisa dipungkiri yang berasal dari kedua
orang tuanya, yakni ibu dan ayah. Secara hukum agama, jalur nasab bisa berasal
dari salah satu saja, dari ibu atau ayah. Dalam Islam jalur keturunan
berdasarkan garis keturunan dari ayah. Sedangkan dalam Yahudi, jalur keturunan
ditentukan dari garis ibu. Itulah sebabnya Nabi Ismail diyakini sebagai
keturunan Arab dan Nabi Ishaq keturunan Yahudi disebabkan salah satunya karena
perbedaan ras antara Siti Hajar dan Siti Sarah.
Jika ketentuan hukum Islam tersebut
diterapkan secara ketat tanpa mempertimbangkan sudut pandang biologi, tentu
kita akan sulit menghubungkan silsilah Sayyidina Hasan bin Ali dan Sayyidina
Husain bin Ali secara vertikal dengan Nabi Muhammad ﷺ karena Sayyidina Ali
radliyallahu ‘anh yang menurunkan kedua cucu Rasulullah ﷺ tersebut adalah anak
laki-laki Abu Thalib. Ketersambungan silsilah Sayyidina Hasan dan Sayyidina
Husain dengan Nabi Muhammad ﷺ secara biologis
melalui ibu mereka, yakni Sayyidah Fathimah binti Muhammad ﷺ.
Sebuah hadits riwayat Thabrani menyatakan
bahwa garis keturunan anak-anak yang dilahirkan Sayyidah Fathimah bersambung
kepada Rasulullah ﷺ secara agama
merupakan kekhususan sebab dalam Islam memang jalur nasab mengikuti ayah.
Hadits tersebut selengkapnya berbunyi: “Semua bani Untsa (manusia) mempunyai
ikatan keturunan ke ayahnya, kecuali anak-anak Fathimah, maka kepadakulah
bersambung ikatan keturunan mereka dan akulah ayah-ayah mereka.”
Dalam konteks seperti itulah, wasiat Mbah
Dullah untuk dimakamkan di desa kelahirannya menemukan relevansinya bahwa
menjaga hubungan persaudaraan atau nasab yang berasal dari masing-masing dari
kedua orang tua harus dijaga. Beliau menyadari betul hubungan putra-putrinya
dengan saudara-saudaranya di Kalioso tidak cukup dekat karena secara geografis
letak Kalioso cukup jauh dari kota Solo - tempat Mbah Dullah dan keluarganya
tinggal setelah hijrah dari desa kelahirannya pada tahun 1950-an.
Melestarikan Tali Persaudaraan
Mbah Dullah mengkhawatirkan sepeninggal
beliau tali persaudaraan antara anak-anaknya dengan saudara-saudaranya di
Kalioso bisa putus di kemudian hari jika tidak ada usaha-usaha konkret untuk
melestarikannya. Kekhawatiran seperti itu tidak cukup kuat terhadap
saudara-saudara Mbah Ngis yang memang sebagian besar tinggal di Solo sehingga
sering bertemu.
Untuk itulah, Mbah Dullah berwasiat
dimakamkan di desanya, yakni di Makam Keluarga Putra- Wayah Kiai Abdul Jalal I
yang terletak persis di sebelah barat Masjid Jami’ Kalioso Sragen. Sedangkan
Mbah Ngis atas kesepakatan dalam musyawarah keluarga dimakamkan di Makam Pajang
Saripan Makamhaji Kartosuro Sukoharjo, di sebelah kiri ayahanda—Mbah Kiai Abdul
Mannan.
Dengan dimakamkannya Mbah Dullah di Kalioso
Sragen, maka setiap kali putra-putri Mbah Dullah menziarahi makam beliau,
kesempatan bertemu dan bersilaturrahim dengan paman, bibi, saudara-saudara
sepupu dan para keponakan dari jalur Mbah Dullah sangat besar terutama di
hari-hari Lebaran karena jarak antara makam dengan tempat tinggal mereka cukup
dekat. Sedangkan ziarah ke makan Mbah Ngis di Pajang Kartosuro Sukoharjo lebih
sering karena lokasinya dekat dengan tempat tinggal anak-anak Mbah Dullah dan
Mbah Ngis di Solo.
Wasiat Mbah Dullah untuk dimakamkan di desa
kelahirannya memang bertujuan melestarikan kesinambungan hubungan persaudaraan
dalam rangka menjaga garis keturunan atau nasab sebagaimana dianjurkan dalam
sebuah hadits Rasulullah ﷺ yang diriwayatkan
Bukhari, “Ketahuilah nasab-nasabmu sekalian agar tali persaudaraanmu terus
bersambung. Sesungguhnya jika hubungan keluarga senasab itu terputus maka
menjadi jauh. Sebaliknya hubungan keluarga senasab itu akan dekat bilamana kamu
terus menyambungnya sekalipun telah jauh hubungannya.”
Dengan demikian, wasiat Mbah Dullah agar
beliau dimakamkan di desa kelahirannya dan terpisah dari kubur atau makam Mbah
Ngis sejalan dengan hadits diatas sekaligus menunjukkan kecerdasan futuristik
Mbah Dullah. Wasiat tersebut hanyalah salah satu cara bagaimana hadits tersebut
dapat diamalkan dengan baik khususunya oleh anak-anak Mbah Dullah
sendiri. []
Muhammad Ishom, dosen Fakultas Agama Islam
Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar