Al-Islam: Din Wa Ni’mah Wa Rahmah (1)
Oleh: Ahmad Syafii Maarif
Adalah DR Hamim Ilyas dari PP Muhammadiyah Majelis Tarjih dalam
karya barunya, Fikih Akbar, Prinsip-Prinsip Teologis Islam Rahmatan Lil 'Alamin
(Ciputat, Tangerang Selatan: Pustaka Alvabet, 2018, hlm 245-267) yang
mendefinisikan Islam sebagai agama dan anugerah (din wa ni'mah). Definisi ini
sekaligus sebagai koreksi terhadap pemikiran yang berkembang di kalangan
al-Ikhwan al-Muslimun (Mesir), Jamaat Islamy (India-Pakistan), kemudian
menyebar ke seluruh Dunia Muslim dalam format: al- Islam: din wa daulah (Islam
itu adalah agama dan sistem kekuasaan negara atau ringkasnya Islam itu adalah
agama dan negara).
Hamim mendasarkan definisinya itu kepada ayat 3 Surah al-Maidah
(Madaniyah) yang artinya: Pada hari ini Kusempurnakan untuk kamu agamamu, telah
Kugenapkan bagimu anugerah-Ku, dan telah Kuridai Islam jadi agama bagimu. (hlm
246). Hamim dengan panjang lebar menjelaskan alasan Islam itu bermakna agama
dan anugerah". Saya yang pernah melakukan penelitian tentang masalah ini
untuk keperluan disertasi di Universitas Chicago tahun 1980-an di bawah
bimbingan (alm) Prof Fazlur Rahman, agak sedikit paham tentang perdebatan
mengenai definisi Islam ini. (Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila sebagai
Dasar Negara, Jakarta-Bandung: Maarif Institute- Mizan, 2017, hlm 13-25).
Belakangan karena desakan krisis politik yang parah di Dunia Arab
dan sampai batas tertentu di Pakistan yang sering memperalat agama untuk
kekuasaan maka untuk memperkaya definisi Hamim, saya mengusulkan bahwa
al-Islam: din wa rahmah (Islam itu adalah agama dan rahmat), berdasarkan ayat
107 Surah al-Anbiya' (Makiyah) yang bermakna: Dan tidaklah Kami mengutus Engkau
(Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi alam semesta. Dengan definisi ini, maka
untuk menentukan parameter tafsiran Islam mana yang mendekati cita-rasa
Alquran, kita akan lebih mudah dan insya Allah benar. Coba renungkan Surah al-
Anbiya' itu turun di akhir periode Makkah; Alquran sudah menegaskan missi utama
Muhammad adalah untuk menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Pada periode ini
nabi belum punya kuasa apa-apa, bahkan kemudian harus hijrah ke Madinah untuk
menghindari kezaliman oligarki elite Makkah.
Dalam disertasi di atas, saya sudah membantah definisi Islam
sebagai agama dan negara", sebuah definisi yang masih saja digandrungi
oleh partai- partai Islamis di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia,
sekalipun tertatih-tatih di mana-mana. Bahkan sebagian negara itu telah menjadi
atau mendekati negara gagal. Gagal atas nama Tuhan. Sangat ironis, tetapi tetap
saja tidak mau belajar dari segala kegagalan yang datang bertubi-tubi. Susah
sekali, jika orang tidak paham sejarah, sementara nafsu kekuasaannya demikian
kuat dan berapi-api, Tuhan pun diseret sebagai alasan pembenar, termasuk mereka
yang mengusung bendera khilafah yang sepenuhnya utopis itu.
Definisi Islam sebagai agama dan negara bukan muncul di ruang
hampa. Itu adalah fenomena abad ke-20 sebagai reaksi terhadap kolonialisme
Eropa yang menjajah hampir seluruh bangsa Muslim karena kepandiran mereka
sendiri, persis seperti apa yang dikatakan Malik Bin Nabi bahwa umat Muslim itu
dijajah karena memang punya mentalitas yang pantas dijajah (colonizable
mentality). Maka dengan formula Islam adalah agama dan negara itu diimpikanlah
bahwa Dunia Muslim akan bangkit tidak saja melepaskan diri dari cengkeraman
penjajahan, tetapi di atas puing penjajahan itu akan dibangun sebuah agama yang
menyatu dengan sistem kekuasaan.
Sebagai sebuah konstruksi pemikiran reaktif terhadap sistem
penjajahan yang zalim adalah sah belaka untuk merumuskan formula yang ambisius
itu, dengan syarat ditegakkan di atas landasan yang kokoh, baik secara agama
mau pun berdasarkan pemikiran ilmiah. Maka dalam bacaan saya, landasan inilah
yang tidak difikirkan secara matang, sehingga berujung dengan kegagalan di
sana-sini.
Terakhir, upaya Ikhwan di bawah Presiden Mohammad Mursi di Mesir
yang membuahkan malapetaka bagi gerakan warisan Hassan al-Banna ini.Bahwa faksi
militer Mesir itu kejam, saya setuju sepenuhnya, tetapi landasan politik
kenegaraan Ikhwan yang rapuh mesti dipertimbangkan secara jernih, jujur, dan
dengan iman yang tulus. Jika tidak demikian, gerakan-gerakan yang diilhami
Ikhwan dan Jamaat Islamy ini malah akan membawa malapetaka berkepanjangan bagi
umat Muslim dan dunia sekitar. []
REPUBLIKA, 11 Desember 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar