Beberapa Karya dan
Penghargaan KH Idham Chalid
KH Idham Chalid
dikenal bukan sebagai seorang penulis yang banyak melahirkan banyak karya
tulis. Namun demikian, ada beberapa karya dan tulisan yang pernah ia tulis.
Biasanya, ia menulis di Duta Masyarakat, sebuah koran yang berafiliasi dengan
NU. Ada satu artikelnya yang cukup penting yang membahas tentang aktivitas dan
pemikirannya pada masa demokrasi terpimpin. Artikel tersebut berjudul Haluan
Politik dan diterbitkan majalah Api Islam pada tahun 1965.
Kiai Idham juga
menulis sebuah naskah dengan judul Bertamasya ke Cakrawala. Naskah ini ditulis
saat ia dipenjarakan Belanda tahun 1949. Atas kerjasama dengan pimpinan redaksi
Indonesia Berjuang, Haspan Hadna, naskah ini akhirnya diterbitkan.
Saat menjadi DPRS
mewakili Kalimantan, Kiai Idham juga menulis sebuah buku tentang parlemen.
Dalam buku ini, ia menguraikan peran dan fungsi parlemen dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara yang menganut demokrasi liberal seperti saat itu. Di
buku ini, ia tidak hanya membicarakan hal-hal yang bersifat teknis, tetapi juga
menjelaskan tinjauan sejarah dan praktik negara-negara lain dalam
mengimplementasikan demokrasi. Tulisan tersebut diberi judul Parlemen,
Organisasi, dan Tjara Bekerdjanja dan berhasil diterbitkan tahun 1951.
Kiai Idham juga
sempat menulis sebuah booklet soal demokrasi terpimpin dalam perspektif agama.
Booklet tersebut ditulis sebagai bahan kuliah yang ia sampaikan di Perguruan
Tinggi Islam Nahdlatul Ulama Surakarta. Booklet berjudul Islam dan Demokrasi
Terpimpin itu diterbitkan tahun 1965.
Beberapa naskah
pidato Kiai Idham dalam acara-acara resmi NU juga dikumpukan menjadi sebuah
buku. Buku yang diberi judul Mendajung dalam Taufan itu diterbitkan tahun 1966.
Buku ini juga menjadi 'sikap resmi' NU dalam menyikapi demokrasi terpimpin yang
menggejala pada waktu itu.
Penghargaan
Atas kiprah dan
perannya -baik sebagai seorang politisi, aktivis kemerdekaan, pemimpin ormas
Islam, dan pejabat negara, Kiai Idham mendapatkan banyak penghargaan.
Dia mendapatkan Empat
bintang kehormatan, baik dari pemerintah Indonesia atau pun dari pemerintah
negara lain. Pada 1956, Presiden Soekarno menganugerahinya Bintang Gerilja atas
perjuangannya melawan penjajah saat bersama para gerilyawan di Kalimantan. Ia juga
mendapatkan Bintang Vendera Yugoslavia dari Presiden Tito pada tahun 1958.
Sementara penghargaan Bintang R.P.A el-Gumhuriyjah Tingkat I diterimanya pada
1959. Dan lagi-lagi, Presiden Soekarno kembali memberikannya Bintang Mahaputra
pada tahun 1960.
Pemerintah Kalimantan
Selatan juga sangat menghormati Kiai Idham. Nama Idham Chalid diabadikan
menjadi nama Gedung Sekretariat serta Gedung Serba Guna di Perkantoran
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan pada 14 Agustus 2011.
Sedangkan di bidang
akademik, Kiai Idham mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas
Al-Azhar Mesir dalam bidang pengetahuan Islam dan perjuangan Islam pada
1959.
Pada tahun 1983, Kiai
Idham pernah ditawari untuk menjadi Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI),
namun ia menolaknya. Dia juga menolak ketika akan dianugerahi Ramon Magsaysay
Award oleh pemerintah Filipina. Alasannya, Presiden Marcos kala itu tak berlaku
demokratis dan menekan kaum muslim Moro.
Tidak hanya itu,
ketika Kiai Idham sudah wafat pun berbagai macam penghormatan dan penghargaan
diberikan kepadanya. Satu tahun setelah wafat, Pemerintah Indonesia melalui
Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011 menetapkan KH Idham
Chalid sebagai Pahlawan Nasional. Pun, berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor
31 Tahun 2016, saat ini gambar Kiai Idham menghiasi mata uang rupiah pecahan
lima ribu. []
(A Muchlishon
Rochmat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar