Alhamdulillah dan Hakikat
Pujian kepada Manusia
Setiap Muslim mengetahui dan pernah membaca
kalimat "alhamdulillah [الحمد لله] ". Di dunia pesantren kalimat ini
bermakna segala pujian itu dimiliki oleh Allah, atau yang berhak dipuji hanya
Allah atau segala pujian itu khusus bagi-Nya.
Dilihat dari perspektif bahasa Arab, asal
kalimat "alhamdulillah [الحمد لله] " adalah " حمدت حمدا لله (hamidtu
hamdan lillahi [Aku telah memuji dengan suatu pujian untuk Allah])".
Selanjutnya dicukupkan hanya dengan menyebut
kata benda dasar ( المصدر ) tanpa menyebutkan kata kerjanya ( الفعل
). Kata kerja tersebut yakni حمدت dibuang, kemudian ditempatkanlah kata benda
dasar menjadi "hamdan lillahi حمدا لله" dan selanjutnya dimasukkan huruf
alif dan lam ( أل ) padanya sehingga kalimat tersebut tersusun menjadi
"alhamdulillah [الحمد لله]" untuk menunjukkan makna keberlangsungan selamanya ( الدوام ).
Dari hal tersebut dapat diketahui bahwa
keberlangsungan ( الدوام ) dan kontinuitas ( الإستمرار ) pujian itu diperoleh dari peralihan
al-jumlah al-fi'liyyah kepada al-jumlah al-ismiyyah, karena pernyataan " زيد قائم (Zaid
itu orang yang berdiri)" tidaklah menunjukkan kecuali "ثبوت القيام لزيد [penetapan
berdiri bagi Zaid] ", sedangkan keberlangsungan dan kontinuitasnya dapat
diketahui hanya dari aspek peralihan dari al-jumlah al-fi'liyyah kepada
al-jumlah al-ismiyyah.
Pujian itu khusus bagi Allah ta'ala
sebagaimana diperoleh dari susunan kalimatnya yang sempurna, baik menjadikan
huruf "lam al-ta'rif [لام التعريف]" dalam kata "al-hamdu [الحمد]"
yang berfungsi lil-istighraq [للإستغراق] sebagaimana pendapat Jumhur al-'ulama,
dan ini cukup jelas, atau berfungsi li al-jinsi [للجنس] sebagaimana dikemukakan oleh
al-Zamakhsyari karena huruf lam [لام] pada kata lillahi [لله] berfungsi li
al-ikhtishash [للإختصاص ], karena memang senyatanya bahwa keseluruhan pujian itu khusus
bagi Allah saja dan karena tiada suatu kebaikan pun kecuali Dia sajalah
penguasanya.
Oleh karena itu, hendaklah lidah dan sikap
kita senantiasa memuji Allah dengan sepenuh rasa mengagungkan Dia Sang Pemberi
Nikmat tak terhingga banyaknya, baik kepada yang orang yang memberikan pujian
kepada-Nya atau tidak. Karena segala pujian itu pada hakikatnya adalah khusus
bagi-Nya dan hanya menjadi milik-Nya semata, maka saat kita mendapatkan pujian
hendaklah pujian itu dikembalikan kepada pemilik pujian yang sesungguhnya,
yaitu Allah ta'ala, dengan mengucapkan alhamdulillah.
Bila kita mampu memahami hakikat tersebut dan
tidak enggan mengucapkan alhamdulillah niscaya kita tidak selalu mengharap atau
tergila-gila pada pujian, tidak menjadi besar kepala dan lupa diri karena
pujian dan kita akan menunaikan dan menuntaskan tugas pekerjaan yang menjadi
tanggung jawab kita dengan penuh kesadaran diri, bukan bekerja sekedarnya demi
berharap pujian makhluk-Nya.
Namun demikian, janganlah kita enggan dan
berat untuk memuji segala ide, ucapan dan perbuatan terpuji yang dilakukan oleh
siapa saja, karena barangkali si penerima pujian itu menyadari sepenuh hatinya
bahwa semua itu terjadi atas izin-Nya lalu ia mengucapkan alhamdulillah yang
juga menjadi sebab mengalirnya pahala baginya dan bagi kita.
Sungguh mengherankan, betapa kini kita tidak
lagi saling memuji dan tiada merasa enggan melontarkan caci maki. []
KH Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriyah PBNU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar