Panggilan-panggilan
Hormat untuk KH Hasyim Asy’ari
Saat ini, warga NU
kerap menyebut KH Hasyim Asy’ari dengan diawali Hadratussyekh. Ternyata hal itu
terjadi pada masa-masa Kiai Hasyim masih hidup. Bahkan beragam pernghormatan
dan sebutan disematkan warga NU untuknya.
Ya, Kiai Hasyim
memiliki tempat tersendiri yang tidak pernah tergantikan posisinya oleh kiai
mana pun. Hanya dia yang mendapat tempat sebagai Rais Akbar NU. Setelahnya
hanya menggunakan Rais ‘Aam.
Warga NU
mengekspresikan penghormatan kepada KH Hasyim bisa dilihat di majalah-majalah
NU. Ekspresi itu muncul pada rubrik semacam opini, liputan pemberitaan, atau
ungkapan pada selamat hari raya.
Hadratusysekh memang
gelar yang paling popuer. Namun, ada juga yang menyebutnya sebagai Pemimpin
Luhur Nahdlatul Ulama, Pemimpin Agung Nahdlatul Ulama (sumber: Berita
Nahdlatoel Oelama, tt dan edisi, hanya diketahui tahun ke-10, hal. 8/466),
ungkapan lain ada yang memanggilnya sebagai Yang Mulia, dan lain-lain.
Pengurus Cabang
Purworejo misalnya menyebut KH Hasyim Asy’ari dengan Hadrat Maulana al-A’dham
Syekh (lihat Berita Nahdlatoel Oelama, tidak diketahui tanggal dan tahun edisi,
hanya ditemukan tahun ke-10 pada extra pagina khusus ucapan Lebaran, hal
16/496).
Ungkapan lainnya
adalah Pemimpin Agung NU Paduka KH Hasyima Asy’ari (lihat: Berita Nahdlatoel
Oelama, No. 6 edisi 19 Januari 1941, tahun ke-10, hal 4/83).
Yang Mulia Raisul
Akbar Hadratul Kiram Syekh (Berita Nahdlatoel Oelama, No 7 edisi 1 Februari,
1941, tahun ke-10, hal 5)
Sebutan-sebutan itu
berlangsung ketika yang dimaksud hidup. Padahal biasanya gelar-gelar kehormatan
berkembang setelah meninggal. Sementara KH Hasyim sendiri menyebut dirinya
sebagai al-Faqir Ilallahi Ta’ala (Swara Nahdlatul Oelama, Jumadil Awwal 1348,
h84). Hal ini menunjukkan kebesaran dan pujian untuknya tidak membuatnya
sombong, termasuk kepada santri dan kiai lain.
***
Pada masa muda, Kiai
Hasyim adalah santri kelana. Ia belajar dari satu pesantren ke pesantren lain
di Jawa dan Madura. Untuk memperdalam ilmu lebih lanjut, kemudian ia belajar di
Tanah suci Makkah. Dengan demikian, ia memiliki jaringan pertemanan yang luas.
Tidak hanya di pulau Jawa, melainkan Nusantara.
Ketika ia pulang ke
Tanah Air, kemudian mendirikan pesantren Tebuireng. Pesantren tersebut
berkembang dan kemudian dikenal luas ke seantero Nusantara. Tentu karena
keharuman dari kedalaman ilmu yang dimilikinya yang jarang ditemukan saat itu
pada kiai lain. Sehingga dia mampu menyedot ribuan santri.
Menurut Choirul Anam,
santri Kiai Hasyim mulanya hanya 28 orang pada tahun 1899. Kemudian menjadi 200
orang pada 1910. Pada sepuluh tahun berikutnya, santri berlipat lagi menjadi
2000 orang. Masih menurut Choirul Anam yang mengutip pendapat Jepang, pada
tahun 1942, murid KH Hasyim Asy’ari diperkirakan 25 ribu orang.
Tentang pesantren
Tebuireng dan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari, KH Saifuddin Zuhri menyebutkan
bahwa:
Pesantren Tebuireng
pada tahun 1939-1940 tetap berada di bawah langit yang cerah dalam masa
keemasannya. Tebuireng menjadi mercusuar pondok-pondok pesantren di seluruh
Indonesia. Tebuireng menjadi trade mark dan identitas kaum santri. []
(Abdullah Alawi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar