Nestapa Uighur (1)
Oleh: Azyumardi Azra
Dalam pekan-pekan menjelang akhir 2018, penderitaan dan
kenestapaan suku atau etnis Uighur kembali menjadi pembicaraan dalam
media massa internasional dan nasional Indonesia. Berita-berita itu terutama
terkait meningkatnya pelanggaran HAM secara massif yang dilakukan pemerintah
Republik Rakyat Tiongkok (RRC) terhadap kaum Muslim Uighur.
Berita tentang suku Uighur jarang muncul ke publik internasional
karena sulitnya bagi awak media mendapatkan akses dari pemerintah RRC untuk
datang dan meliput kawasan di mana suku Uighurs hidup. Baik awak media maupun
pelancung hampir tidak mungkin mendapat izin memasuki wilayah Muslim Uighur.
Para pelancung, khususnya Muslim—khususnya dari Indonesia—biasanya
mengunjungi komunitas Muslim yang hidup terpencar-pencar di berbagai kota
kawasan timur Tiongkok seperti di Beijing atau Xi’an. Kaum Muslim di kawasan
ini hidup dalam keadaan jauh lebih baik; berbeda dengan saudara seiman mereka
kaum Uighur. Oleh karena itu, pemberitaan yang datang dari komunitas Muslim
wilayah timur ini Tiongkok ini selalu baik-baik saja—termasuk khususnya tentang
kaum Muslim Uighur.
Di tengah kelangkaan berita tentang penderitaan tentang
kenestapaan yang diderita kaum Uighur, negara-negara Muslim umumnya diam seribu
bahasa. New Internationalist (14/9/18) menyebut sikap negara-negara Muslim tak
lain karena pengaruh ekonomi RRC kian kuat, yang membuat mereka rikuh
berhadapan dengan pemerintah Beijing.
Nasib kaum Uighur juga kembali menjadi isyu besar di tanahair.
Dalam suasana menjelang Pilpres 17 April 2019, berbagai kelompok Muslim selain
melakukan aksi demo di depan gedung Kedubes RRC di Jakarta, mereka juga
menuntut sikap tegas pemerintah Indonesia—misalnya mem-persona-non-grata-kan
Dubes RRC di Jakarta.
Memandang respons tidak memadai dari negara-negara Muslim dalam
kehebohan terakhir ini, hampir bisa dipastikan nasib kaum Uighur belum akan berubah.
Bahkan, boleh jadi sikap dan kebijakan pemerintah RRC terhadap mereka semakin
keras; membuat mereka kian menderita.
Suku Uighur sudah lama tertindas di bawah kekuasaan Tiongkok.
Meski terjadi banyak kemajuan ekonomi, sosial dan politik di Tiongkok dalam
beberapa dasawarsa terakhir, kelompok etnis ini tetap saja mengalami
ketertindasan dan kenestapaan. Kaum Muslim Uighur hampir tidak mendapat tetesan
(trickle down effect) dari kemajuan kemajuan ekonomi yang terjadi di Tiongkok.
Karena tertindas dan ketiadaan harapan perbaikan kesejahteraan,
orang Uighur semakin banyak meninggalkan negerinya—meski tidak dalam gelombang
massal pengungsi. Banyak juga di antara mereka mengasingkan diri secara
‘sukarela’ (self-exile) di berbagai negara Eropa, Amerika dan Asia. Menurut
berbagai estimasi, jumlah mereka yang hidup di pengasingan atau diaspora
sekitar 2 juta jiwa.
Dalam ketertindasan, respon etnis penganut Islam ini sejak waktu
sangat lama juga terus berkembang. Orang Uighur dalam dua dasawarsa terakhir
cenderung mengalami radikalisasi. Salah satu gejala adalah kian banyak di
antara mereka terlibat dalam jaringan radikalisme dan terorisme, termasuk di
Indonesia dengan jaringan Santoso di kawasan Poso.
Etnis Uighur adalah penduduk asli atau pribumi (indigenous) di
kawasan yang selama berabad-abad berada di bawah dominasi kekuasaan Dinasti
Tiongkok yang silih berganti. Berada lebih dari 1,400 kilometer dari pusat
kekuasaan di Beijing, wilayah kaum Muslim di Asia Tengah ini semula mendapat
semacam otonomi yang longgar dari penguasa Tiongkok.
Keadaannya memburuk sejak 1949, ketika pemerintah Beijing
menerapkan kontrol lebih ketat terhadap wilayah Asia Tengah; menghancurkan
lembaga-lembaga agama, menerapkan pembatasan kebebasan beragama, dan memasukan
suku Han secara massif dari kawasan timur Tiongkok. Kemudian pemerintah
Tiongkok secara resmi sejak 1 Oktober 1955 mengklasifikasi wilayah Muslim ini
sebagai Daerah Otonomi Khusus Xinjiang-Uighur.
Terletak di sebelah barat daya Beijing—di kawasan Asia
Tengah—Daerah Otonomi Khusus ini pernah menjadi perlintasan Jalur Sutra
dari Asia Timur menuju Eropa. Etnis Uighur secara agama dan budaya adalah
Turkish. Oleh karena itu itu, kawasan mereka ini juga disebut sebagai East
Turkistan. []
REPUBLIKA, 27 Desember 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar