Nasionalisme Kaum
Sarungan
Judul
: Nasionalisme Kaum Sarungan
Penulis
: A. Helmy Faishal Zaini
Tebal
: 236 Halaman
Penerbit
: Penerbit Buku Kompas
Tahun
Terbit : 2018
Peresensi
: Didik Suyuthi
Buku ini tak ada
kaitan langsung dengan peristiwa teror bom Surabaya. Namun kehadirannya menjadi
aktual untuk menjelaskan problem-problem kesesatan pikir yang melatarbelakangi
aksi teror menyedihkan itu. Ditulis dalam tiga bagian, buku Nasionalisme Kaum
Sarungan karya A. Helmy Faishal Zaini sangat direkomendasikan sebagai
pegangan bagi para aktivis Kerohanian Islam.
Sebagian besar
kelompok-kelompok ekstrem (termasuk pelaku teror bom Surabaya) hampir bisa
dipastikan mempelajari agama dari sumber yang sangat terbatas. Dalam lieratur
pendidikan, cara belajar mereka disebut tekstualis. Memahami segala sesuatu
hanya dari sumber teks-teks klasik otoritatif tanpa diimbangi dengan
upaya-upaya ijtihadiyah berbasis manhajul fikr yang kritis dan kontekstual.
Inilah yang membuat
pemahaman agama mereka cenderung dangkal. Ekspresi keberagamaannya kaku.
Menganggap apapun masalah aktual yang tidak ada dalam teks suci sebagai
melenceng dan bid’ah. Menghukumi para pelakunya sebagai kafir. Dan seterusnya.
Sebuah konstruksi beragama yang normatif, yang dangkal ke dalam, sehingga kaku
ke luar. Produk-produk hukum agama dipahami ‘all given’ sebagaimana tertuang
dalam teks-teks resmi agama saja.
Di sinilah penulis
menjelaskan bahwa prinsip pengambilan hukum agama bukan hanya bersumber dari
teks. Sebab tidak semua problematika manusia dijelaskan problem solving-nya
oleh agama secara eksplisit. Ada hal-hal yang hanya disinggung secara implisit.
Bahkan makin banyak masalah-masalah kontemporer yang membutuhkan istinbat hukum
sebagai mekanisme ijtihad hukum ‘pasca’ teks.
“Idza wujida nash
fatsamma maslahah. Idza wujidal maslahah fasyar’ullah." Demikian
penulis mengutip sebuah kaidah fiqih. Yang artinya, “Jika ditemukan teks
(sumber hukum) maka di sana ada kebaikan. Jika ditemukan kebaikan (meskipun tak
ada sumber hukum) maka di sana adalah hukum Allah.
Sesuatu yang baik dan
tidak menyimpang dari agama, tidak perlu diributkan dasar hukumnya. Apapaun
amalan atau perbuatan, kalau menurut muslim baik, membawa maslahah, maka insya
Allah menurut Allah juga baik.
Buku 236 halaman ini
mengingatkan, penyakit akibat memahami agama secara tekstual, terbatas, dan
dangkal, suatu kelompok cenderung merasa menjadi yang paling benar. Dengan
memonopoli kebenaran itu, mereka lalu menyesatkan yang lain. Dari sinilah benih
radikalisme berkembang.
Pesan penulis, agama
jangan jadi sumber kekerasan. Agama jangan jadi sumber permusuhan. Agama harus
selalu memberi ruang untuk membicarakan perbedaan-perbedaan. Berupaya
mengikatkan persamaan-persamaan. Membangun sikap respek dan toleran terhadap
hal-hal yang berseberangan. Sebab agamaku, agamamu, agama kita adalah agama
kasih sayang. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar