Senin, 05 Desember 2016

Kang Komar: Ahok dan Pendidikan Politik



Ahok dan Pendidikan Politik
Oleh: Komaruddin Hidayat

SEJAK tiga bulan terakhir nama Ahok menjadi sangat populer di seantero Nusantara. Agenda pilkada yang paling banyak diberitakan hanyalah Jakarta. Seakan membuat tenggelam 101 pilkada di daerah lain.

Bahkan pemilihan gubernur Banten, hanya satu jam dari Jakarta, terasa senyap, tidak jadi berita nasional. Persoalan yang melilit Ahok membuat orang yang tadinya tidak pernah bicara politik, sekarang ikut-ikutan bicara politik agar tidak ketinggalan informasi.

Ada semacam dorongan dan kebutuhan, khususnya orang Jakarta dan sekitarnya, untuk mengikuti berita Pilkada DKI Jakarta. Dalam konteks ini Ahok seakan jadi figur dan topik sentral yang sangat magnetik, baik yang pro maupun kontra.

Saya tidak akan membahas posisi Ahok dari sisi hukum maupun agama, namun hanya ingin memberi komentar dampaknya terhadap pendidikan politik bagi masyarakat.

Kasus Ahok pasti menarik dijadikan topik tesis master atau disertasi doktor bagi mahasiswa jurusan politik atau komunikasi. Demonstrasi 4 November dan doa bersama di lapangan Monas 2 Desember 2016 tak bisa dilepaskan dari sosok Ahok.

Masyarakat dibuatnya ingin tahu apa isi surat Almaidah 51 dan kepemimpinan umat yang dipolulerkan oleh Ahok. Setelah dia jadi tersangka, rakyat diajak berpikir tentang fungsi dan posisi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Bahwa dalam kehidupan bernegara berlaku hukum positif, di atas hukum agama. Di hadapan negara, kapasitas seseorang adalah sebagai warga negara apapun agama yang dianutnya. Dalam sebuah negara republik, institusi kepolisian, kejaksaan dan pengadilan adalah lembaga yang berwenang memproses dan mengadilinya.   

Mungkin saja di antara kita menempatkan kitab suci di atas segala hukum duniawi. Tetapi dalam bernegara ternyata tidak begitu. Hukum positif memiliki posisi lebih tinggi.

Aspirasi hukum  agama harus diperjuangkan lebih dulu agar masuk menjadi bagian dari UU dan hukum positif jika ingin berlaku, sebab Indonesia bukan negara teokrasi. Para pejuang kemerdekaan dan pendiri bangsa sadar betul  bahwa sejak awal yang hendak dibangun adalah negara berbentuk republik, bukan  negara agama. 

Jadi, memperjuangkan negara agama (teokrasi) di Indonesia hanya akan membuang-buang energi dan menciptakan musuh dengan sesama umat Islam.

Mencermati cagub-cawagub DKI juga mengingatkan para parpol agar melakukan kaderisasi yang baik. Ini agenda serius dan mendesak agar ke depan tidak mengalami defisit calon gubernur seperti yang terjadi saat ini. Jago-jago yang populer bukanlah hasil kaderisasi parpol.

Mencermati proses sosial politik yang berlangsung, semua ini merupakan proses pendewasaan dan metamorfosis dalam memperkokoh kohesi sosial dan kebhinekaan. Rakyat sadar akan hak politiknya untuk melakukan demonstrasi dan mengawal proses hukum yang dijatuhkan terhadap Ahok.

Pemerintah pun mesti menghargai dan melindungi hak rakyatnya. Maka yang muncul adalah dialog dan kompromi. Itulah politik. Itulah demokrasi. Itulah musyawarah yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan.

Sungguh mengesankan, semula demo yang dilakukan 2 Desember dengan  mengambil tempat di Jalan MH Thamrin, lalu disepakati pindah ke Lapangan Monas, dengan nama doa bersama untuk bangsa. Bahkan dimunculkan juga  istilah demo superdamai. 

Diisi dengan dzikir, taushiyah dan salat Jumat. Bahkan umat beragama lain dipersilakan bergabung, diberi ruang khusus. Pemerintah pun menyediakan WC umum dan ambulans serta layanan kesehatan. Direncanakan jajaran polisi juga ikut bergabung berdoa bersama.

Melihat proses sosial politik yang terjadi, inilah salah satu keunggulan masyarakat Indonesia, di mana dunia lain mesti belajar. Kalaupun terjadi kerusuhan dan keributan, pasti datang dari pihak pengacau.

Indonesia tidak memerlukan demo dan perubahan politik model Arab Spring yang berdarah-darah dan korbannya terlalu banyak. Sungguh suatu rahmat ilahi, Indonesia yang sedemikian besar penduduk dan wilayahnya namun justru bersatu dalam rumah Indonesia.

Sekian banyak kesultanan rela bergabung dan bernaung di dalamnya. Indonesia memiliki sejarah dan jalan hidup sendiri. Beda dari negara-negara Arab meskipun sama-sama muslim. Mari kita jaga warisan dan amanat para pejuang bangsa.     

Bagaimana posisi dan cerita Ahok? Kita kawal saja proses hukum yang tengah berlaku. []

KORAN SINDO, 2 Desember 2016  
Komaruddin Hidayat | Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar