Senin, 05 Desember 2016

(Hikmah of the Day) Pengakuan Mantan Pelajar Islam Garis Keras



Pengakuan Mantan Pelajar Islam Garis Keras

Seandainya pemuda ini berhenti belajar, yaitu dalam pengertian menerima begitu saja terhadap doktrin dan pemahaman Islam yang diajarkan para ustadznya di sebuah lembaga pendidikan Islam yang bercorak garis keras tempatnya dahulu menimba ilmu, dan tanpa mencari perbandingan pemahaman dari sumber yang lain, besar kemungkinan saat ini dia menjadi sosok ekstremis yang sinis pada dasar negara Pancasila dan bentuk NKRI serta tetap meyakini bahwa pengertian jihad dalam Al-Qur'an adalah melulu berarti perang fisik melawan non-Muslim.

Orang itu sebutlah Yanto (bukan nama sebenarnya). Lelaki asal Lamongan Jawa Timur ini pernah selama empat tahun dididik dan belajar di suatu lembaga pendidikan yang terletak di salah satu daerah di Salatiga, Jawa Tengah, yang berpaham tidak kompromis dengan tradisi lokal. Walau di lembaga pendidikan yang semula berbasis di Solo tersebut dia tempuh sampai lulus bahkan sempat menjalankan masa pengabdian selama kurang lebih satu tahun tapi kini pemikiran, sikap dan perilaku Yanto tidak ekstrem sebagaimana umumnya kelompok garis keras aliran Islam tertentu.

Padahal selama Yanto belajar di instansi pendidikan tersebut ia tidak lepas pula mendapatkan doktrin yang kontra dengan Pancasila bahkan Pancasila itu dianggap bagian dari taghut. Begitu pula pengertian tentang jihad yang ditekankan oleh guru-gurunya adalah berarti qitaal atau perang fisik, tanpa memberi alternatif tafsiran lain beserta konteks-konteks lapangan jihad yang lebar.

Tapi beruntung Yanto termasuk pelajar yang memiliki kebiasaan bertafakkur atau berefleksi pada waktu-waktu tertentu. Sehingga ada beberapa hal yang ia dapatkan di lembaga itu dirasanya janggal, terutama interpertasi makna jihad yang ekstrem. Dia pun coba membuka refrensi lain di luar yang diajarkan di lembaganya. Salah satunya ia membuka Tafsir Al-Azhar karangan Buya Hamka. Ternyata di kepustakaan yang ia telaah didapatinya bahwa arti jihad tidak sesempit yang diajarakan ustadznya. Ia memperoleh tafsiran jihad lebih luas.

Pada suatu hari sekitar tahun 2001 untuk lebih memantapkan keyakinannya, Yanto berinisiatif menemui kiai di luar madrasahnya yang sudah dikenal kealimannya. Akhirnya dia dengan mengajak salah satu temannya memutuskan sowan kepada KH. Maimun Zubair  Rembang untuk mengutarakan kebingungannya. Salah satu nasihat taktis yang sampai saat ini  tetap membekas di hati Yanto dari ucapan Mbah Maimun saat dia sowan adalah kalimat:     

"Islam dan kafir itu sama-sama Allah yang menciptakan. Kalau di dunia tidak ada yang kafir buat apa Allah menciptakan neraka segala, kok tidak cuma surga saja? Coba kenapa pula Allah menciptakan babi padahal babi diharamkan?"

Jawaban filosofis Mbah Maimun Zubair itu begitu mengena di benak Yanto dan makin menyadarkan akan kesalahan pemahaman term “jihad" yang selama ini ia peroleh dari ustadznya. Pun Yanto menjadi sadar jika ajarannya yang dahulu diserap tidak relevan diterapkan dalam kehidupam masyarakat yang plural seperti Indonesia ini.     

Usai sowan mencari perbandingan pemahaman jihad dari pada Mbah Maimun, Yanto tiap kali ada acara halaqoh atau diskusi kelompok di kelasnya sering berseberangan pendapat dengan kebanyakan kawan-kawannya yang umumnya tetap bersiskukuh pada anti Pancasila dan pro jihad perang. Meski Yanto tidak dikucilkan, tapi sejak dia sering berseberangan pendapat kemudian ia dianggap melakukan bughat.

Ketika Yanto  sudah dianggap bughat dalam komunitasnya, teman-temannya itu tidak menyerah untuk terus mempengaruhi Yanto agar kembali seideologi lagi sebagaimana semula. Bahkan kendati sudah pulang di rumah, lewat berbagai cara kawan-kawannya selalu berusaha mengajak supaya kembali berhalun "Islam ala Arab".

Pernah ia memutuskan kontak dengan teman-tema lamanya tersebut, ternyata ada saja orang baru dan nama asing yang mencoba menghubunginya, yang ujung-ujungnya mengajak berpaham Islam garis keras tersebut. Bahkan Ketika dia menikah dan ada salah satu kawan lamanya yang seangkatan dulu mengetahui dirinya akan menikah, ternyata temannya tersebut datang dan memberi kado. Isi kado itu tak lain adalah buku-buku dan majalah yang topik-topik isinya termasuk propaganda atau penyebaran semacam gerakan transnasional. Begitulah mereka memakai seribu satu modus demi menarik kembali anggota seideologinya yang sudah dicap melakukan bughat. []

Ditulis berdasarkan penuturan informan yang bertemu penulis beberapa bulan lalu saat Lebaran.

(M. Haromain)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar