Kamis, 01 Maret 2012

(Ngaji of the Day) Keberagamaan Muslim Tionghoa


Keberagamaan Muslim Tionghoa

Oleh: Roudlotul Firdaus


Membincangkan eksistensi muslim tionghoa, salah satunya dapat dilihat dari peran aktif mereka dalam interaksi keberagamaannya. Selain terkonsentrasi terhadap dakwah di kalangan Tionghoa secara intern, muslim Tionghoa juga terus menjaga keharmonisan interaksi keagamaan dengan warga pribumi tanpa memandang unsur suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).


Hal ini dapat dibuktikan begitu eratnya interaksi keagamaan dalam setiap moment kebersamaan yang memiliki kesamaan ibadah simbolik. Seperti terlihat pada komplek kelenteng Sam Poo Kong yang terletak di daerah Semarang. Di dalam kelenteng ini, terdapat sebuah bangunan makam Juru Mudi Dampo Awang yang memiliki sebuah pintu model pengimaman masjid. Pada sisi kanan makam ruangan itu, kadang-kadang digunakan oleh pengunjung yang beragama Islam untuk menunaikan shalat, tafakkur (semedi) dan slametan oleh penganut aliran kejawen yang ada di kota Semarang dan sekitarnya. Ritual-ritual mistik tersebut (terutama semedi) biasanya dilakukan pada malam 15 bulan Hijriah, malam Selasa Kliwon, dan malam Jum’at Kliwon.


Beberapa perayaan seperti tahun baru Imlek (tanggal 1 Chia Gwee) atau Cap Go Meh (15 hari setelah perayaan Imlek) juga kerap dirayakan dengan mengelaborasikan tradisi Cina dengan tradisi lokal masyarakat setempat dimana mereka menetap seperti acara muludan dan rejeban, karena warga muslim Tionghoa lebih terbuka menerima segala keyakinan dan tradisi masyarakat sekitar.


Pada kondisi seperti inilah terlihat sangat nyata nuansa keberagamaan tentang ajaran Islam yang santun dan humanis. Motivasi yang melatarbelakangi perilaku tersebut tidak lain karena motivasi untuk mencapai spiritual achievement (kesuksesan ruhani) yang didambakan semua umat manusia tanpa memandang identitas dari agama manapun yang diyakini.


Kekuatan Tradisi Penanggalan Cina


Kaitannya dengan penanggalan Cina, menarik untuk dicermati bahwa kalangan muslim Tionghoa memfungsikan penanggalan Cina sebagai acuan dasar untuk melakukan ritual yang erat kaitannya dengan momentum penting. Regulasi konsep-konsep penanggalan Cina tetap terejawentahkan dalam rutinitas kehidupan mereka. Muslim Tionghoa begitu memegang teguh prinsip-prinsip astrologi Cina, seperti pernikahan, kematian, pindah rumah, membuka usaha, nama, umur, dan lain sebagainya yang lebih dikenal dengan Fengshui. Sedangkan dalam melakukan rutinitas tugas pekerjaan, mereka tetap mengacu pada penanggalan Masehi dan penanggalan Hijriah sebagai pedoman pelaksanaan ibadah.


Dalam pada itu, kalangan muslim Tionghoa juga turut meramaikan beberapa momentum perayaan dalam penanggalan Cina. Tercatat dari 14 momentum perayaan yang terkait ritual ibadah kepercayaan masyarakat Cina, kebanyakan komunitas muslim Tionghoa hanya menjalankan lima peringatan utama yang hingga kini rutin mereka laksanakan. Perayaan-perayaan tersebut yaitu: Tahun baru Imlek setiap tanggal 1 Chia Gwee, Cap Go Meh (perayaan 15 hari setelah Imlek), Qingming (ziarah makam leluhur) setiap 5 April, sembahyang Tiong Gwan (arwah leluhur) setiap 15 Jit Gwee, dan sembahyang Tong Cu Pia (pertengahan musim gugur) setiap 15 Pe Gwee.


Hari Imlek yang menandai hari pertama tahun penanggalan Im Yang Lik, komunitas muslim Tionghoa Semarang merayakannya secara internal dengan seluruh sanak keluarga dan kerabat yang turut merayakan Imlek. Mereka berkumpul bersama pada hari itu dan saling berkunjung ke rumah keluarga dan kerabat. Sementara ritual Cap Go Meh disebut juga hari raya Siang Gwan merupakan puncak sekaligus akhir perayaan Imlek yang diisi dengan pembacaan do’a-do’a dan dimanfaatkan sebagai ajang berkumpul bersama keluarga.


Selanjutnya acara Qingming sekitar tanggal 5 April dan sembahyang Tiong Gwan (persembahan terhadap arwah leluhur) yang dilakukan setiap tanggal 15 Jit Gwee. Tradisi Qingming dan Tiong Gwan yang hingga kini tetap dilakukan yaitu mereka mengunjungi kuburan nenek moyang berdo’a dan membersihkan makam.


Resepsi terakhir yang masih setia dilakukan komunitas muslim Tionghoa yaitu sembahyang Tong Cu Pia. Acara ini merupakan perayaan pertengahan musim gugur pada tanggal 15 Pe Gwee dalam penanggalan Cina. Pada perayaan ini mereka berkumpul bersama sebagai lambang persatuan dan keharmonisan keluarga serta ungkapan syukur masyarakat Tionghoa setelah melewati tahun yang baik.


Muslim Tionghoa meyakini hal-hal praksis yang terkait persoalan primordial diatas karena merupakan komitmen sosial kepatuhan mereka sebagai warga keturunan Tionghoa untuk tetap menggunakan produk lokal Cina. Menarik, karena rupanya mereka memandang bahwa penanggalan Cina tidak lain merupakan tradisi lokal masyarakat Cina, bukan sebagai produk agama Konghucu yang banyak dituduhkan oleh sebagian kalangan.


Patut diakui bahwa perbedaan kultur diantara komunitas muslim Tionghoa dengan masyarakat lokal merupakan persoalaan klasik yang tidak bisa dinafikan. Jika komunitas Tionghoa terlihat sebagai orang lain di tanah Indonesia ini disebabkan kurang adanya pengakuan terhadap peran yang telah mereka mainkan dalam konstruksi sosial nusantara (khususnya Jawa). Padahal diakui atau tidak Tionghoa mempunyai peranan cukup signifikan di tanah Jawa. Disamping itu yang tidak bisa ditampik adalah masih adanya jurang pemisah antara Pribumi–Tionghoa yang tetap dilestarikan sejak kolonial Belanda. Namun adanya perbedaan kultur tersebut tidak lantas membuat muslim tionghoa menjadi golongan ekstravagan dan cenderung ekslusif dengan local wisdom masyarakat setempat.


Komunitas muslim Tionghoa merupakan salah satu komponen bangsa yang memiliki keunikan warna tersendiri yang dapat berperan sebagai alat integrasi sosial penghubung antar suku dan komunitas serta menjadi perekat keragamaan beragama dalam menghiasi bingkai persatuan dan kesatuan Indonesia yang majemuk.


* Peneliti Sistem Penanggalan Cina, Mahasiswa Penerima Beasiswa Berprestasi Kemenag RI (CSS MoRA) pada IAIN Walisongo Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar