Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III
DPR RI
KALAU Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) membatalkan kebijakan ilegal tentang pengetatan remisi bagi
terpidana korupsi, tidak berarti PTUN membela koruptor. Ada dua pesan dari
keputusan PTUN itu. Pertama, pejabat tinggi negara jangan amatiran. Kedua,
jangan juga aji mumpung.
Wakil Menkumham Denny
Indrayana dan kawan-kawannya menebar tuduhan. Siapa pun yang menentang kebijkan
pengetatan remisi bagi terpidana korupsi dituduhnya sebagai pembela koruptor.
Secara tak langsung, Mantan Menkum-HAM Yusril Ihza Mahendra pun dituduh
demikian. "Saya ucapkan selamat kepada Bapak Yusril Ihza Mahendra yang
telah membebaskan koruptor" kata Yusril mengutip pernyataan Denny. Yusril
hanya membantu tujuh narapidana yang merasa dizolimi oleh Kebijakan Pengetatan
Remisi bagi terpidana korupsi yang diterbitkan Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia Amir Syamsuddin dan Wakilnya Denny Indrayana.
Kalau seperti itu
logika berpikir seorang pejabat tinggi negara, Denny pun mestinya melayangkan
tuduhan kepada PTUN sebagai pembela koruptor. Sebab kebijakannya dibatalkan
demi hukum oleh PTUN. Namun, sejak awal berbagai kalangan enggan menanggapi
tuduhan itu. Alasan utamanya adalah tuduhan itu keluar dari konteks masalah.
Konteks persoalannya adalah pelanggaran terhadap tata perundang-undangan.
Kebijakan itu ditentang karena menabrak peraturan perundang-undangan. Bukan
kebijakan pengetatan remisinya yang ditentang.
Dengan melancarkan
tuduhan seperti itu, Denny tampak mencari cara instan untuk mengatasi persoalan
yang sedang dihadapinya. Bahkan sangat kekanak-kanakan serta cenderung
menghalalkan segala cara. Misalnya, ketika menanggapi kemungkinan tuntutan dari
pihak-pihak yang dizolimi oleh kebijakan pengetatan remisi itu, Denny dengan
lantang mengaku siap mati. “Apa pun yang dilakukan; dipidana sekalipun untuk
kebijakan ini, saya siap. Kalau karena pembebesan bersyarat dan pengetatan
remisi ini saya masuk penjara, mati pun saya siap," katanya.
Sekadar mengingatkan,
kebijakan pengetatan remisi bagi terpidana korupsi sudah cacat sejak awal.
Semula, judul kebijakannya ‘Moratorium Remisi’. Karena dihujani kecaman dari
masyarakat, beberapa jam kemudian judul kebijakan itu berubah menjadi
‘Pengetatan Remisi’. Tetap saja kebijakan ini illegal karena melanggar Undang
Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dan melanggar Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 mengenai Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan hak
Warga Binaan Pemasyarakatan, termasuk pemberian remisi.
Selain itu, mekanisme
penetapan kebijakan ini pun sangat amatiran. Kebijakan ini ditetapkan melalui
telepon oleh Denny pada 30 Oktober 2011. Keesokan harinya, 31 Oktober 2011,
perintah lisan itu langsung dijadikan surat edaran Plt Dirjen Pemasyarakatan.
Tampak serba buru-buru, karena surat edaran itu bertujuan segera membatalkan
pelaksanaan surat keputusan (SK) Remisi Menkum HAM yang diterbitkan Menkum-Ham
sebelumnya. SK Remisi Menkum-HAM itu akan diberlakukan bagi 102 terpidana
koruptor dan narkotika, untuk periode 28 - 30 Oktober 2011. Agar pembatalan itu
sah, diterbitkanlah surat Keputusan Menkum- HAM yang membatalkan SK remisi para
terpidana itu. Tetapi tanggal penerbitan SK pembatalan itu dua minggu kemudian,
tepatnya 16 November 2011. Tetap saja tampak konyol. Kepmen pembatalan itu
merujuk ke PP No. 32/1999, tetapi PP ini sudah usang, sebab telah diganti
dengan PP No. 28/2006.
Akibat penetapan
kebijakan yang demikian amatiran itu, 102 narapidana merasa dizolimi oleh
Menkum-Ham dan wakilnya. Fakta tentang penzoliman pun telah diperkuat oleh
PTUN. Setidaknya, kebijakan pengetatan remisi itu sudah diuji oleh pengadilan.
Kebijakan itu nyata-nyata bertentangan dengan undang-undang yang berlaku
Wajarlah jika sistem hukum juga memberi ruang kepada 102 narapidana yang dizolimi
itu untuk mengajukan tuntutan pidana kepada pihak yang melakukan penzoliman.
Terjadi keanehan di
Kementerian Hukum dan HAM. Jika Menkum-HAM dapat menerima keputusan PTUN itu,
Denny sebagai Wakil justru akan mengajukan banding. Keinginan banding itu rupanya
sebuah keterpaksaan yang harus dilakoni. Denny merasa telah dipermalukan oleh
keputusan PTUN itu. Selain itu, dengan mengajukan banding, Denny bisa
menghindar, setidaknya mengulur waktu, dari kemungkinan gugatan para narapidana
yang merasa dizolimi. Memang, mereka bisa mempidanakan Menkum-HAM dan wakilnya
dengan pasal 333 KUHP dengan ancaman maksimal 8 tahun penjara.
Keputusan PTUN itu
merupakan pesan kepada penyelenggara pemerintahan untuk jangan sekali-kali
bertindak semena-mena. Termasuk semena-mena terhadap para narapidana. Keputusan
PTUN itu juga mengajarkan kepada semua pejabat tinggi negara agar selalu
menaati struktur perundang-undangan di negara ini. Menjadi pejabat tinggi
negara tidak berarti boleh melanggar undang-undang. Jangan aji mumpung.
Kalau masih konsisten
untuk memberlakukan pengetatan remisi bagi terpidana koruptor, kebijakannya
harus dirumuskan dengan benar seturut peraturan perundang-undangan. Sudah
ditegaskan sebelumnya bahwa jangankan pengetatan, penghapusan remisi bagi
koruptor pun pasti disetujui rakyat. Yakinlah bahwa seluruh komponen rakyat,
termasuk DPR, pasti mendukung pengetatan remisi bagi terpidana koruptor. Sebab,
hakikatnya, tak ada yang ingin membela koruptor.
Akhir-akhir ini,
publik masih menggunjingkan wacana tentang memiskinkan koruptor. Seharusnya,
Kemenkumham merespons wacana ini. Apalagi, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono
memberi isyarat setuju dengan ide memiskinkan koruptor. Dengan demikian, selain
merumuskan lagi kebijakan pengetatan remisi, Kemenkumham sudah ditantang untuk
merumuskan kebijakan yang memberi hak kepada negara untuk memiskinkan para
koruptor.
Artinya, pekerjaan
yang harus diselesaikan Amir dan Denny masih banyak, dan bukan hanya persoalan
remisi. Belum lama ini, terjadi kerusuhan di penjara Kerobokan, Denpasar, Bali.
Mudah-mudahan, Amir dan Denny tahu bahwa latar belakang kerusuhan di Kerobokan
adalah masalah lama yang sengaja tidak diselesaikan karena perilaku korup oknum
sipir penjara atau lembaga pemasyarakatan (Lapas).
Menteri Hukum dan HAM
serta wakilnya harus segera membenahi pengelolaan Lapas, dan memperbaiki
perlakuan terhadap para narapidana. Kalau tidak segera dibenahi, kerusuhan
serupa bisa meledak di lapas lain. Sebab, aspirasi narapidana Kerobokan adalah
aspirasi narapidana di semua Lapas lainnya. Artinya, kerusuhan Kerobokan bisa
menjadi preseden. Narapidana mempersoalkan kelebihan kapasitas, diskriminasi
perlakuan dan pungutan liar di Lapas. Semua itu adalah penyimpangan manajemen
Lapas yang sudah menjadi rahasia umum.
Pengetatan remisi,
memiskinkan koruptor hingga pembenahan manajemen Lapas adalah pekerjaan besar
yang menuntut kosentrasi penuh. Pekerjaan besar ini tidak boleh diganggu atau
direduksi oleh kepentingan politik sesaat. Pengetatan remisi bagi terpidana
korupsi adalah kebijakan yang cukup strategis dalam konteks pemberatasan
korupsi. Dari pengetatan remisi, diharapkan tumbuh efek jera.
Sayang, kebijakan
pengetatan remisi yang dirancang Menkum-HAM dan wakilnya itu illegal karena
dibebani kepentingan politik yang sempit. []
Sent from my
BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar