Jika Imam Batal, Bagaimana
Nasib Makmum?
Sudah maklum adanya bahwa shalat dapat
dikerjakan secara berjamaah dan sendirian (munfaridan). Shalat berjama’ah mainimal
terdiri dai dua orang. Satu berlaku sebagai imam yang berdiri die pan dan
satunya lagi sebagai makmum brdiri dibelakang. Tidak ada batasan maksimal bagi
makmum.ShaLat dianggap sah jika memenuhi sejumlah persyaratan (syuruthus
shihah), rukun, dan terhindar dari hal-hal yang membatalkan shalat, seperti
tiba-tiba terkena najis, atau menanggung hadats dan lain sebagainya.
Jika seseorang ditengah-tengah shalatnya
melakukan atau terkena beberapa hal yang membatalkan shalat, maka shalatnya
menjadi batal. Jika ia sholat sendirian ataupun jika menjadi makmum maka orang
tersebut harus mengulanginya lagi sedari awal. Masalahnya adalah bagaimanakah
jika kebetulan yang mengalami (batal) shalat tersebut adalah seorang imam?
Apakah hal itu menjadikan batal pula shalat makmum? Lantas apakah shalat
tersebut harus diteruskan tanpa Imam? Atau bagaimana?
Shalat makmum tidaklah menjadi batal karena
batalnya sholat sang imam. Oleh karena itu ketika hal itu terjadi, makmum tidak
boleh membatalkan sholatnya. Jika demikian maka makmum mempunyai dua langkah
pilihan. Pertama makmum dapat meneruskan shalatnya dengan niat mufaraqah dari
imam. Artinya makmum menerukan sholatnya secara sendirian (munfaridan) terpisah
dari imam yang telah batal shalatnya. Kedua,makmum menyempurnakan shalat sampai
selesai secara berjama’ah. Kalau mengambil alternatif terakhir kedua yang
dipilih, maka harus ada istikhlaf. Itulah yang diterangkan dalam Bughyatul
Mustarsyidin halaman 85.
Istikhlaf adalah penunjukkan pengganti imam
dengan imam lain, yang karna satu sebab imam pertama tidak bisa menyempurnakan
shalatnya. Istikhlaf pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw sebagaimana
diterangkan dalam kitab-kitab hadits.
Proses terjadinya istikhlaf mempunyai dua
kemungkinan: imam menunjuk pengganti atau para makmum menunjuk pengganti. Dapat
pula seseorang dengan inisiatif sendiri maju menjadi imam. Penunjukan khalifah
oleh makmum dilakukan dengan isyarat, tanpa menimbulkan perbuatan yang
membatalkan shalat. Dan harus dilakukan secepatnya, langsung setelah imam
batal.
Istikhlaf ini sebaiknya dilakukan dari pihak
makmum. Jika imam menunjuk pengganti dan makmum menunjuk pengganti yang lain,
maka pilihan makmum lebih diutamakan. Bukankah hak rakyat menentukan
pemimpinnya? Disinilah nilai demokrasi yang tertanam dalam fiqih. (mausu’atul
Islami: VI.148)
Istikhlaf selain shalat jum’at hukumnya
sunah, karena shalat berjama’ah lebih utama daripada sendirian. Dalam shalat
Jum’at istikhlaf menjadi wajib hukumnya karena shalat jum’at tidak sah jika
tidak dilakukan secara berjama’ah (Madzahibul Arba’ah: I, 447)
Sumber:
KH. M. A. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika
Umat, Penerbit Khalista Surabaya dan LTN PBNU, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar