Instrumentasi Hukum untuk
Mengamankan Pancasila
Oleh: Dr. H. As’ad Said Ali*
Kedudukan Pancasila dalam sistem
ketatanegaraan adalah sebagai dasar negara dan ideologi negara sekaligus.
Sebagai dasar negara, Pancasila mengandung makna yuridis yang kuat sebagai
Norma Dasar (grundnorm). Oleh karena itu, Pancasila harus dijadikan sebagai
rechtsidee yang di dalamnya terdapat nilai dasar, kerangka berpikir, orientasi
dan cita-cita para penyelenggara negara dan masyarakat dalam berhukum.
Sedangkan sebagai ideologi negara, Pancasila merupakan tata nilai yang dianut
sekelompok orang yang di dalamnya terdapat cita-cita dasar dalam kehidupan
sosial, politik, hukum, ekonomi maupun budaya. Dalam makna inilah Pancasila
ditempatkan sebagai ‘weltanschauung’.
Dengan dituangkannya Pancasila di dalam Pembukaan UUD 1945, maka posisi dan kedudukan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara secara yuridis menjadi sangat kuat. Ini berarti bahwa eksistensi kesepakatan dasar atau konsensus-bangsa tersebut mutlak dipertahankan. Jika kesepakatan dasar itu dipungkiri, maka tak pelak lagi akan runtuh pula bangunan legitimasi yuridis dan sosio-politik yang menjadi fondasi ditegakkannya negara ini.
Fenomena “Ancaman” Ideologi Negara
Di tengah euforia kebebasan, masyarakat tiba-tiba dikejutkan oleh berbagai aksi terorisme. Selain itu muncul pula ormas-ormas yang hampir setiap saat melakukan demonstrasi dengan berbagai isu, dari isu korupsi hingga isu menegakkan negara “Kekhalifahan”. Gagasan pembentukan “Negara Islam Indonesia” pun kini mendapat lahan yang subur. Ormas-ormas dengan beragam bendera tersebut bergerak leluasa di tengah masyarakat. Mereka memanfaatkan dengan sebaik-baiknya semua instrumen kebebasan politik, mulai dari menyebarkan pamflet, majalah, buku, mimbar-mimbar keagamaan, hingga memanfaatkan teknologi informasi.
Selain ideologi yang berbasis agama, ideologi-ideologi sekuler pun, baik kanan maupun kiri, juga menemukan ruang yang lebar untuk mengembangbiakkan apa yang mereka yakini sebagai bentuk ideal negara. Modus operasi ideologi sekuler memang tidak kasat mata, tidak frontal berhadapan secara face to face dengan ideologi negara. Ideologi neoliberalisme umpamanya, sangat pintar menelusup dalam jaringan regulasi dan legislasi. Sementara itu, ideologi Kiri Baru, juga tetap mampu memberi inspirasi terhadap lahirnya gerakan-gerakan sosial-politik mutakhir.
Lalu, bagaimana negara harus bersikap? Kalau pada masa Orde Baru, persoalan ini mungkin mudah diselesaikan dengan pendekatan represif. Tapi sekarang, pada era reformasi, persoalannya menjadi dilematis; sebab kekuasaan represif negara tidak begitu saja mudah digunakan tanpa justifikasi yang bisa diterima berdasarkan prinsip-prinsip negara hukum. Oleh karena itu, kini diperlukan perumusan baru, tolok ukur yang lebih jelas agar tindakan pengamanan terhadap keamanan negara atau ideologi negara tidak bertabrakan dengan kebebasan politik warga negara. Di negara demokrasi manapun, apabila ternyata kebebasan itu dipandang membahayakan keamanan nasional, maka di situ negara absah menggunakan kekuasaan represinya sebagai tuntutan masyarakat demokratis (necessity in a democratic society).
Instrumentasi Hukum
Yang menjadi tantangan kita sekarang adalah membuat strategi dan mekanisme baru dalam usaha memelihara dan melindungi keamanan negara. Dalam usaha menjawab tantangan itu, perlu pengkajian mendalam atas berbagai instrumen hukum.
Ada beberapa catatan yang bisa diajukan: Pertama, Pancasila sebagai dasar dan Ideologi negara belum ditempatkan secara proporsional dalam sistem ketatanegaraan. Hingga sekarang belum ada ketentuan bagaimana ideologi negara harus dioperasionalkan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan, serta bagaimana ideologi ini ditempatkan di tengah percaturan ideologi-ideologi di Indonesia.
Kedua, Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 belum mendapatkan proteksi yang optimal dari segi peraturan perundangan. Yang ada hanya TAP MPR No. XXV/1966 dan UU No. 27/1999. Peraturan perundangan ini belum memadai dalam mengantisipasi maraknya gerakan-gerakan yang bertujuan mengganti Pancasila dan UUD 1945.
Ketiga, Untuk melindungi dan mempertahankan ideologi Pancasila sebagai dasar negara, harus pula diletakkan ke dalam kerangka besarnya, yaitu keamanan negara atau keamanan nasional, sehingga terkait di dalamnya dengan pengaturan tentang TNI, Kepolisian dan Intelijen Negara.
Dari kesimpulan tersebut dapat direkomendasikan tiga hal berikut: Pertama, Pancasila dan UUD 1945 masih membutuhkan pengayaan agar dapat menjadi sendi dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan. Pengayaan tersebut dapat berupa perincian pokok-pokok pikiran yang ada di dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 yang tidak terkait dengan pengaturan kelembagaan. Dan perincian ini semestinya dituangkan di dalam peraturan perundangan agar dapat menjadi rujukan bersama setiap kelompok masyarakat dan aparat pemerintahan. Oleh karena Amandemen UUD 1945 kurang memberi ruang terhadap eksplorasi gagasan yang ada di dalam Pancasila dan UUD 1945, maka proses amandemen lanjutan perlu dilakukan agar Negara mempunyai dasar hukum yang kuat untuk membentuk peraturan perundangan, yang berisi perincian pokok-pokok pikiran yang ada di dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945.
Kedua, melindungi dan mempertahankan Pancasila, perlu secara eksplisit dicantumkan dalam pasal-pasal UUD 1945, bahwa Pembukaan UUD 1945 tidak dapat diubah oleh proses amandemen. Berdasarkan ini, maka perlu dilakukan kriminalisasi terhadap perbuatan yang hendak mengganti atau mengubah ideologi negara Pancasila. UU No.27/1999 tentang Perubahan KUHP yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dengan demikian perlu direvisi untuk mendapatkan pengayaan yang lebih mendalam dalam rangka mengantisipasi bentuk ancaman dan kejahatan terhadap ideologi negara. Disamping itu, meski tidak terkait secara langsung, juga diperlukan pengayaan terhadap kriminalisasi perbuatan “hate speech” yang ada di dalam KUHP.
Ketiga, tidak bisa ditunda lagi untuk segera merumuskan UU Keamanan Nasional. Sebab berbicara mengenai melindungi dan mempertahankan ideologi Pancasila sebagai dasar negara, tidak bisa tidak, harus pula diletakkan ke dalam konsep keamanan negara atau keamanan nasional. Agar kita memiliki sebuah umbrella act di bidang ini, maka sebuah UU Keamanan Nasional yang komprehensif perlu segera dirumuskan.
Keempat, kunci sukses untuk menjalankan rekomendasi pertama, kedua, dan ketiga adalah perlunya melanjutkan amandemen UUD 1945. Tanpa adanya proses amandemen terhadap UUD 1945, khususnya yang berkaitan dengan perlunya pengayaan doktrin Pancasila dan pengamanannya, niscaya ancaman terhadap kemungkinan perubahan kesepakatan dasar kenegaraan dan kebangsaan kita masih terus berlanjut.
* Wakil Ketua Umum PBNU
Makalah disarikan dari Pidato Penganugerahan
Gelar Doktor Honoris Causa Universitas Diponegoro, dengan tema “Tinjauan
Yuridis Terhadap Sarana Hukum Sebagai Pengaman Ideologi dan Dasar Negara”,
Semarang, 11 Februari 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar