Bersuci Dengan Tissue
Islam merupakan agama yang sangat
memperhatikan kebersihan. Telinga kita begitu akrab dengan an-nadhafatu minal
iman, kebersihan merupakan sebagian dari iman. Atau at-thuhuru syartul iman,
kesucian merupakan separoh dari keimanan. Namun demikian, seringkali realitas
umat Islam kurang mencerminkan ajaran-ajaran semacam itu dalam kehidupan
keseharian.Salah satu wujud perhatian Islam terhadap kebersihan dan kesucian
itu adalah diwajibkannya istinja’ (bersuci) setelah buang air besar
(taghawwuth) dan air kecil (baul). Shalat tidak sah tanpa istinja’ terlebih
dahulu, selain wudhu kalau dalam keadaan hadats kecil, dan mandi jika dalam
kondisi hadats besar.
Meski istinja’ pada hakikatnya menghilangkan najis yang keluar dari kemaluan dan anus, dalam praktiknya hal tersebut memiliki perbedaan. Yaitu alat yang digunakan tidak terbatas pada air, tetapi dapat pula dilaksanakan dengan batu, baik dalam kondisi tersedia air maupun tidak.
Berbeda dengan wudhu dan mandi, yang hanya
dapat diganti dengan tayamum dalam kondisi-kondisi tertentu saja, misalnya
karena tidak ditemukan air. Diperbolehkannya istinja’ dengan batu, mengandung
hikmah yang besar dalam rangka menjamin kontinuitas pelaksanaan dan fungsi
diciptakannya manusia, yakni beribadah kepada Allah SWT, dalam hal ini, shalat.
Seperti disebutkan di atas bahwa shalat tanpa
istinja’ lebih dahulu tidak sah hukumnya. Dunia ini menurut para pakar,
sebagian besar adalah lautan. Kurang lebih 85% dan sisanya daratan.
Jika kita amati, ternyata daratan yang hanya
15% itu kondisi perairannya berbeda-beda. Ada yang banyak, tetapi ada pula yang
sedikit. Kalau istinja’ hanya dilakukan dengan air, tentu menimbulkan kesulitan
bagi daerah-daerah yang sedikit air, seperti padang pasir di Timur Tengah atau
daerah-daerah kering dan tandus.
Dengan diperkenankannya istinja’ dengan batu serta tayamum dengan debu, umat Islam tidak menemukan masalah dalam thaharah (kesucian), sehingga shalat dapat berjalan terus.
Kalau kata batu (hajar) diucapkan, pikiran
kita tentu akan tertuju pada sosok benda keras yang kerap digunakan membuat
pondasi bangunan atau membuat jalan. Dalam fikih, ternyata maknanya lebih luas.
Sebab hajar dibedakan menjadi hajar hakiki dan hajar syar’i.
Adapun hajar hakiki adalah batu yang seperti
kita kenal, sedangkan hajar syar’i mencakup semua benda padat yang suci serta
dapat menghilangkan kotoran dan tidak termasuk kategori banda-benda muhtaram
(dimuliakan atau berharga). Sebagai contoh, batu, kayu, tembok, keramik kasar,
dan kulit hewan. Semua itu dinamakan hajar syar’i dan boleh untuk istinja’.
Dengan demikian, hajar syar’i disamakan dengan hajar hakiki lewat metode
analogi atau qiyas. Maksud qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak diketahui
hukumnya dengan sesuatu yang hukukmnya jelas, karena ada persamaan antara
keduanya dalam illat (alasan terjadinya hukum).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
membawa perubahan besar dalam pola pikir dan pola sikap masyarakat. Gaya hidup
mereka telah mengalami pergeseran-pergeseran sedemikian rupa, sehingga
cenderung memilih sikap yang praktis dan mudah serta efisien, misalnya dalam
masalah istinja’.
Pada tempat-tempat tertentu, seperti saat di
pesawat atau tempat lain sudah tidak dipergunakan air sebagai alat bersuci,
tetapi tissue. Banyak hotel yang tidak menyediakan air toiletnya, namun yang
tersedia hanya tissue. Dengan asumsi tissue lebih praktis dan lebih nyaman,
karena pakaian tetap kering.
Seperti diterangkan di atas bahwa istinja’
dapat dilakukan dengan air dan batu, baik hakiki maupun syar’i. Tissue bukan
air, bukan pula hajar hakiki. Pertanyaannya apakah dapat untuk istinja’?
Merujuk dari beberapa literature madzhab
Syafi’i, seperti al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, Syarqawi Syarh Tuhfatut Thullab,
Bujairami Syarh Iqna’ dan lain-lain, tissue dapat digunakan untuk istinja’
dengan alasan bahwa tissue dianggap sebagai salah satu bentuk hajar syar’i.
Yaitu benda benda padat (jamid), tidak najis, dan tidak muhtaram (dianggap
mulia dan berharga), karena tidak terdapat tulisan di dalamnya. Jika terdapat
tulisan dalam tissue (kertas) itu, maka tidak diperbolehkan menjadikannya
sebagai alat istinja’ dengan alasan menghormati tulisan itu.
Satu hal yang harus diperhatikan adalah,
kalau istinja’ memakai hajar hakiki atau syar’i disyaratkan tiga kali usapan,
dan dapat membersihkan kotoran yang ada. Tidak boleh kurang. Kalau sudah diusap
tiga kali dengan batu yang berbeda, ternyata belum bersih, harus ditambah
hingga benar-benar bersih.
Sumber:
KH. M. A. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, Penerbit Khalista Surabaya dan LTN PBNU, 2010
KH. M. A. Sahal Mahfudh, Dialog Problematika Umat, Penerbit Khalista Surabaya dan LTN PBNU, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar