Bambang Soesatyo
Anggota DPR RI
PEMERINTAH
harus memaksimalkan dulu pemanfaatan anggaran, sebelum menaikkan harga BBM
bersubsidi. Karena efekvitas pemanfaatan anggaran masih sangat rendah, rakyat
akan merasa dizolimi jika pemerintah begitu saja menaikkan harga BBM
bersubsidi.
Dengan alasan situasi
perekonomian global yang terus diselimuti ketidakpastian, menaikkan harga BBM
(bahan bakar minyak) bersubsidi menjadi kebijakan yang sulit dihindari
pemerintah. Sebab, harga minyak mentah di pasar internasional meningkat tajam.
Konsekuensinya, beban subsidi BBM dalam APBN tahun berjalan dipastikan
membengkak. Tahun lalu, subsidi BBM membengkak dari pagu Rp 129,7 triliun
menjadi Rp 165,2 triliun.
Presiden Soesilo
Bambang Yudhoyono (SBY) dan para menteri ekonomi sudah dan terus member sinyal
bahwa pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi. Ketika memberi
pengarahan kepada peserta Raker Kementerian Luar Negeri dan Perwakilan RI di
Luar Negeri, Kamis (23/2). Presiden menegaskan, “Kebijakan (menaikkan
harga BBM) ini terpaksa, tetapi ini akan membawa keselamatan perekonomian kita
di masa depan. Kalau ada solusi lain, tidak perlu dinaikkan.”
Mudah dipahami kalau
rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi didorong oleh kenaikan harga
minyak mentah dunia yang dipicu oleh ketegangan Iran versus Amerika Serikat,
sejumlah negara di Eropa serta Israel. Harga minyak naik sangat tajam menyusul
keputusan Iran menghentikan ekspor minyak ke sejumlah negara di Eropa Barat.
Harga minyak mentah dunia bergerak naik memasuki kisaran 120 dolar AS per
barel, sementara ICP (Indonesia Crued Prize) hanya diasumsikan 90
dolar AS per barel,
Sudah bertahun-tahun
pemerintah menunjukan itikad menaikkan harga BBM bersubsidi. Alasannya
pun selalu sama, yakni terjadinya pembengkakan subsidi BBM akibat dua
faktor. Fluktuasi harga minyak dunia dan penambahan kuota BBM bersubsidi.
Sudah disiapkan sejumlah opsi dan skenario pembatasan konsumsi BBM bersubsidi,
tetapi itikad mengurangi subsidi BBM selalu dibatalkan.
Kalau tahun ini
pemerintah akhirnya benar-benar ‘berani’ menaikkan harga BBM bersubsidi,
pastilah karena pemerintah merasa alasannya sudah sangat lengkap. Pemerintah
memanfaatkan momentum ketegangan Iran versus barat untuk merealisasikan
kenaikan harga BBM bersubsidi. Pemerintah berasumsi bahwa rakyat bisa memahami
kebijakan ini, karena banyak negara pun tahun ini harus mengubah kebijakan
energinya masing-masing.
Namun, alasan
ketegangan internasional itu saja belum cukup. Situasi global masih
diselimutiketidakpastian, sehingga niat merealisasikan kenaikan harga BBM
bersubsidi itu terlalu terburu-buru. Kalau Iran dan AS-Eropa dalam jangka dekat
bisa mencari jalan tengah sehingga mendorong penurunan harga minyak mentah dunia,
rakyat tetap dirugikan karena pemerintah belum tentu bersedia menurunkan lagi
harga BBM bersubsidi yang sudah dinaikan karena alasan lonjakan harga minyak
mentah dunia.
Oleh karena itu, demi
keadilan dan ksejahteraan rakyat Indonesia, harga BBM bersubsidi harus tetap
dipertahankan pada posisinya yang sekarang, sambil terus mengamati fluktuasi
harga minyak mentah dunia. Pengalaman membuktikan bahwa pembengkakan subsidi
BBM tidak membuat perekonomian Indonesia bangkrut. Bahkan, melalui mekanisme
subsidi BBM itu, rakyat kalangan bawah di Indonesia bisa menikmati sedikit
tingginya pertumbuhan ekonomi yang tahun lalu mencapai 6,5 persen itu.
Desember tahun
lalu, pemerintah mengajukan usul penambahan kuota BBM bersubsidi
1,5 juta kilo liter. Dengan tambahan itu, kuota BBM bersubdisi tahun 2011
menjadi 41,9 juta kilo liter dari sebelumnya 40,4 juta kilo liter. Biaya untuk
tambahan kuota itu diperkirakan Rp 4,5 triliun. Sudah terbukti bahwa
keuangan negara tidak mengalami gangguan serius.
Tidak Adil
Kalau mengacu pada
keluhan pemerintah sendiri, pembengkakan subsidi BBM mestinya tidak patut
dijadikan isu. Pun jangan dikambinghitamkan sebagai faktor perusak keseimbangan
APBN. Bahwa terjadi pembengkakan karena subsidi salah sasaran, pemerintah
justru harus memperbaiki kesalahannnya sendiri. Kuota subsidi BBM tidak perlu
ditambah jika pemerintah mampu mendistribusikan BBM bersubsidi dengan
tepat. Jadi, jangan melemparkan kesalahan itu kepada masyarakat kalangan
sebagai konsumen BBM bersubsidi.
Kalau pemerintah bisa
meningkatkan efektivitas pemanfaatan anggaran, mestinya tidak ada persoalan
serius yang berkait dengan anggaran untuk subsidi BBM. Justru karena
pemanfaatan anggaran masih jauh dari efektif, subsidi BBM dijadikan kambing
hitam.
Ketika memberi
pengarahan pada sidang kabinet di kantor Presiden, pertengahan Desember 2011,
mempersoalkan minimnya anggaran belanja infrastruktur di APBN, karena sebaian
besar anggaran habis untuk biaya rutin, seperti gaji pegawai dan belanja modal
kementerian /lembaga. "Anggaran untuk belanja modal di APBN kita masih
terlalu rendah. Saya berharap dalam APBN-P nanti, kalau ada sisa anggaran,
jangan digunakan yang lain, kecuali untuk belanja modal dan pembangunan
infrastruktur. Tahun 2013 dan 2014 saya ingin jauh lebih besar sehingga masuk
akal," kata Presiden SBY waktu itu.
Dan, Rabu
(22/2) pekan lalu, Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan
penggunaan anggaran pemerintah harusnya untuk hal yang menyentuh masyarakat
luas. "Hampir seluruh instansi, penyerapannya ekstrem di akhir-akhir
tahun. Di awal tahun, lebih didominasi gaji dan operasional saja, dan yang
menyentuh masyarakat luas kurang sekali," kata Menkeu.
Kalau seperti itu
kenyataannya, mengapa pemerintah tidak mengoreksi dulu kebijakan tentang
alokasi dan pemanfaatan anggaran sebelum mempersoalkan anggaran subsidi
BBM? Apa yang dikemukakan Presiden dan Menkeu itu jelas otokritik
atau ajakan instropeksi mengenai perlunya meningkatkan efektivitas pemanfaatan
anggaran.
Subsidi BBM dan
pembangunan infrastruktur merupakan kepentingan rakyat. Maka, menjadi tidak
adil kalau subsidi BBM harus dikurangi sementara pemerintah dalam praktik
pengelolaan dan pemanfaatan anggaran lebih memrioritaskan gaji dan belanja
rutin K/L. Bukankah rakyat pun berhak mendapatkan kompensasi dari pengelolaan
anggaran negara yang belum sehat itu? Dengan demikian, menaikkan harga BBM
bersubsidi saat ini justru melukai rasa keadilan masyarakat, terutama mereka
yang benar-benar hanya bisa mengonsumsi BBM bersubsidi.
Demi keadilan dan
kesejahteraan rakyat yang apa adanya seperti saat ini, skenario kebijakan
BBM bersubsidi tahun 2012 jangan buru-buru diubah hanya karena faktor
ketegangan Iran versus barat. Pertahankan dulu kuota BBM bersubsidi 2012
sebesar 40 juta kilo liter itu. Kuota itu terdiri dari premium 24,41 juta kilo
liter, minyak tanah 1,7 juta kilo liter, dan solar 13,89 juta kilo liter.
BBM bersubsidi itu
bermakna sangat strategis, karena dibutuhkan puluhan, bahkan lebih dari 100
juta warga. Dilihat dari jumlah konsumennya, apa pun isu tentang BBM
bersubsidi otomatis menjadi sangat sensitif. Oleh karena itu, jangan asal
bicara untuk masalah yang satu ini. Boleh jadi, setelah menyimak sejumlah
pernyataan para petinggi di Jakarta, para spekulan saat ini sedang berulah menggoreng
harga BBM bersubsidi di pelosok-pelosok daerah.
Artinya, jangan
pernah lagi mewacanakan kenaikan harga BBM bersubsidi di ruang publik. Kalau
masih dalam tahap rencana, biarkan menjadi masalah dalam birokrasi
pemerintah. Setelah final, barulah kebijakan itu disosialisasikan. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar