Hukum Mengucapkan Selamat
Ulang Tahun
Sudah menjadi pemahaman bersama bahwa segala
macam tindakan yang kita lakukan sangat tergantung pada niatnya, innamal a’malu
bin niyyat. Niat itu sendiri yang akan menentukan nilai kepada tindakan
tersebut. akankah tindakan itu akan bernilai ibadah ataukah hanya sekedar
tradisi semata yang tidak ada unsure ubudiyah sama sekali di dalamnya. Begitu
pula dengan merayakan hari kelahiran maupun kegiatan lainnya. Kaum Ahlussunnah
Wal Jamaah memandang tradisi semacam ini dengan sikap proporsional, yaitu
dengan pendirian bahwa selama di dalam acara tersebut ada unsur-unsur kebaikan,
seperti; menyampaikan tahni’ah/ucapan selamat kepada sesama muslim, mempererat
kerukunan antara keluarga dan tetangga, menjadi sarana sedekah dan bersyukur
kepada Allah, serta mendo’akan si anak semoga menjadi anak yang shalih dan
shalihah. Maka itu semua layak untuk dilaksanakan karena dianggap tidak
bertentangan dengan syari’at Islam.
Maka jika ditanyakan, apakah ada dalil syara’
mengenai peringatan ulang tahun kelahiran? Jawabnya ada, yaitu dalil qiyas,
yakni mengqiyaskan masalah ini dengan perilaku sahabat nabi. Imam Bukhari
meriwayatkan bahwa sewaktu sahabat Ka’ab bin Malik menerima kabar gembira dari
nabi saw. Mengenai penerimaan taubatnya, maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah
menyampaikan kepadanya ucapan selamat (tahni’ah).
Berdasarkan riwayat tersebut, maka hukum peringatan ulang
tahun adalah mubah, bahkan sebagian ulama mengatakan sunnah hukumnya, namun dengan catatan : selama
tidak ada hal-hal yang munkar di dalamnya. Misalnya : menyalakan lilin, memasang gambar
patung (walaupun berukuran
kecil) di tengah-tengah kue yang dihidangkan atau alatul malahi (alat permainan musik) yang
diharamkan. Karena hal tersebut termasuk syi’ar orang-orang non muslim atau syi’ar orang
fasik. Dasar pengambilan hukum seperti tersebut di atas adalah keterangan dari kitab “al-iqna’”
juz I hal. 162
:
قَالَ الْقَمُوْلِيْ: لَمْ أَرَ لأَحَدٍ مِنْ أَصْحَابِنَا كَلاَمًا فِي التَّهْنِئَةِ بِالْعِيْدِ وَاْلأَعْوَامِ وَاْلأَشْهُرِ كَمَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ، لَكِنْ نَقَلَ الْحَافِظُ الْمُنْذِرِيُّ عَنِ الْحَافِظِ الْمُقَدَّسِيِّ أَنَّهُ أَجَابَ عَنْ ذَلِكَ بِأَنَّ النَّاسَ لَمْ يَزَالُوْا مُخْتَلِفِيْنَ فِيْهِ وَالَّذِيْ أَرَاهُ أَنَّهُ مُبَاحٌ لاَ سُنَّةٌ فِيْهِ وَلاَ بِدْعَةٌ وَأَجَابَ الشِّهَابُ ابْنُ حَجَرٍ بَعْدَ اطِّلاَعِهِ عَلَى ذَلِكَ بِأَنَّهَا مَشْرُوْعَةٌ وَاحْتَجَّ لَهُ بِأَنَّ الْبَيْهَقِيَّ عَقَّدَ لِذَلِكَ بَابًا فَقَالَ: بَابُ مَا رُوِيَ فِيْ قَوْلِ النَّاسِ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ فِي الْعِيْدِ تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ، وَسَاقَ مَا ذُكِرَ مِنْ أَخْبَارٍ وَآثَارٍ ضَعِيْفَةٍ لَكِنْ مَجْمُوْعُهَا يُحْتَجُّ بِهِ فِيْ مِثْلِ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ وَيُحْتَجُّ لِعُمُوْمِ التَّهْنِئَةِ بِمَا يَحْدُثُ مِنْ نِعْمَةٍ أَوْ يَنْدَفِعُ مِنْ نِقْمَةٍ بِمَشْرُوْعِيَّةِ سُجُوْدِ الشُّكْرِ وَالتَّعْزِيَةِ وَبِمَا فِي الصَّحِيْحَيْنِ عَنْ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ فِيْ قِصَّةِ تَوْبَتِهِ لَمَّا تَخَلَّفَ عَنْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ أَنَّهُ لَمَّا بُشِّرُ بِقَبُوْلِ تَوْبَتِهِ وَمَضَى إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَامَ إِلَيْهِ طَلْحَةُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ فَهَنَّأَهُ.
Artinya:
“Imam Qommuli berkata : kami belum mengetahui pembicaraan dari salah seorang ulama kita tentang ucapan selamat hari raya, selamat ulang tahun tertentu atau bulan tertentu, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang, akan tetapi al-hafidz al-Mundziri memberi jawaban tentang masalah tersebut : memang selama ini para ulama berselisih pendapat, menurut pendapat kami, tahni’ah itu mubah, tidak sunnah dan tidak bid’ah, Imam Ibnu Hajar setelah mentelaah masalah itu mengatakan bahwa tahni’ah itu disyari’atkan, dalilnya yaitu bahwa Imam Baihaqi membuat satu bab tersendiri untuk hal itu dan dia berkata : “Maa ruwiya fii qaulin nas” dan seterusnya, kemudian meriwayatkan beberapa hadits dan atsar yang dla’if-dla’if. Namun secara kolektif riwayat tersebut bisa digunakan dalil tentang tahni’ah. Secara umum, dalil dalil tahni’ah bisa diambil dari adanya anjuran sujud syukur dan ucapan yang isinya menghibur sehubungan dengan kedatangan suatu mikmat atau terhindar dari suatu mala petaka, dan juga dari hadits riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim bahwa sahabat Ka’ab bin Malik sewaktu ketinggalan/tidak mengikuti perang Tabuk dia bertaubat, ketika menerima kabar gembira bahwa taubatnya diterima, dia menghadap kepada Nabi SAW. maka sahabat Thalhah bin Ubaidillah berdiri untuk menyampaikan ucapan selamat kepadanya”. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar