Islamisasi Iptek,
Bagaimana Wujudnya?
Oleh: KH. Abdurrahman
Wahid
Dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, banyak orang berbicara tentang proses “mengislamkan” ilmu pengetahuan dan teknologi. Pembahasan mengenai hal itu selalu berbarengan dengan penuturan bahwa iptek modern atau “buatan barat” bersifat sangat materialistis dan tidak mengandung spirit/jiwa agama. Karena ini dianggap salah, maka Islam datang sebagai “koreksi” atas kesalahan tersebut. Ini berkesesuaian dengan fungsi Islam sebagai agama terakhir yang diturunkan Allah untuk melakukan ‘koreksi’ atas agama-agama terdahulu. Berkaitan dengan itu sering dipakai sebagai qiyas (analogi) ayat Al-Qur’an: “Diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas kaum-kaum sebelum kamu” (Kutiba ‘alaykum al-shiyam kama kutiba a’la ladzina min qablikum). Namun kiasan ini sebenarnya tidak dapat dilakukan, karena alasan-alasan (wajalu al-Qiyas)-nya tidak dapat dipaksa. Tidak ada hubungan antara Iptek dan ibadah berpuasa, biar dibalik bagaimanapun juga. Lebih tepat kalau digunakan ayat berikut: “Hari ini telah ku-sempurnakan bagi kalian agama kalian ku-sempurnakan pemberian nikmat-ku dan ku relakan Islam sebagai agama kalian“ (Al-yauma akmaltulakum dinakum wa atmamtu a’laikum ni’mati wa radhaitu lakum al-Islamah diman). Karena dengan prinsip kesempurnaan Islam sebagai pengatur kehidupan, maka ia pun akan mengatur aspek terpenting lainnya seperti pengembangan Iptek.
Hanya saja, kita terbentur pada kenyataan sejarah bahwa penemuan demi penemuan Iptek sebagai “perangkat keras” (hardware) dilakukan hampir seluruhnya oleh orang-orang non Muslim. Ini adalah kenyataan obyektif yang tidak harus dibantah oleh siapapun juga. Bahkan sekarangpun, anak-anak kita bersekolah dengan menggunakan “acuan-acuan” John Dewey dengan filsafat pendidikannya yang disebut pragmatisme dan diajarkan di negeri-negeri barat, tempat lahirnya metode belajar kebanyakan anak-anak kita. Sungguh merupakan hal yang ironis, ketika kita memaki-maki “peradaban Barat”, kita justru hidup menggunakan produk-produk peradaban tersebut. Ini adalah suatu hal sangat ironis dan merupakan krisis yang belum teratasi oleh kita sendiri sampai sekarang.
****
Oleh penelitian empirik, banyak postulat-postulat yang kita terima sebagai “kebenaran” ternyata dibuktikan sebaliknya.
Kita akan banyak bertentangan dengan hasil-hasil penelitian perangkat keras itu, ambil contoh gambaran Al-Qur’an tentang bumi dan ketujuh lapis langit (Al-Ardh wa Al-Samawat Al-Saba’ah) mengandaikan bahwa jagad raya ini berlapis-lapis, sesuatu yang menurut penelitian empirik oelh Galileo bukan demikian halnya. Penelitian demi penelitian empirik selanjutnya ditambah oleh gambaran-gambaran teoritik dari astronomi (ilmu perbintangan) modern, jelas menyatakan bahwa bumi hanyalah salah sebuah titik kecil dalam alam jagad raya mahaluas (sekitar 11 milyar tahun cahaya), dan berputar mengelilingi matahari.
Matahari sekalipun sebagai pusat tata surya kita hanyalah sebuah satelit mengitari sebuah pusat lain dalam alam jagad raya ini. Demikian seterusnya, sampai kita kepada sebuah “lubang hitam” yang luar biasa daya tarik (gravitasi) nya. Seolah-olah setiap planet dan benda apapun yang “terhisap” olehnya, akan lemahnya grafitasi dan lenyap tanpa diketahui dimana ia berada. Dari sekian banyak planet-planet yang ada di dalam jagad raya ini, “kebetulan” Bumi memiliki mahluk-mahluk hidup, diantaranya manusia yang memerlukan tempat dan makanan, udara dan cuaca yang berubah-ubah. Untuk menghadapi perubahan-perubahan cuaca itu, manusia mengembangkan pakaian-pakaian tipis dan tebal sesuai dengan kebutuhan. Untuk makanannya, jika perlu manusia mengembangkan pertanian hydroponics dan rumah-rumah kaca (glass house).
Bahkan, untuk mengatur agar semua itu berlangsung secara “normal” manusia mendirikan pemerintahan, yang sekarang sebagian besar berbentuk negara-bangsa (nations-states). Pemerintahan bersandar pada aparat yang bekerja di bidang masing-masing dan mempunyai fungsi yang mengikat. Masing-masing warga negara harus mematuhi perangkat pemerintahan itu agar supaya semua hal dapat diatur dan segala sesuatunya berlangsung dalam keseimbangan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan. Jika keseimbangan ini terganggu maka kehidupan seluruh warga negara akan terancam, ditakutkan akan menjadikan tiap orang “binatang buas” (leviathan) bagi warga negara yang lain. Terkenal dalam hal ini adalah pribahasa “manusia memakan sesamannya” (homo homini lupus).
****
Jadi, kemajuan iptek umat manusia diatur oleh kelompok yang memimpin pemerintahan. Idealnya kekuasaan itu harus bergantian memegang pimpinan negara. Kritik-kritik dan saran-saran harus disampaikan secara jujur dan terbuka terkadang dalam kerangka “menjatuhkan pemerintah”. Pemerintah sendiri boleh saja mempertahankan pendapat dan kebesarannya namun semuanya itu harus diatur melalui lembaga-lembaga yang dibentuk oleh undang-undang masyarakat sendiri harus berfungsi mempertahankan “keseimbangan-keseimbangan” antara pemerintah di satu pihak dan mereka yang mengajukan kritik di pihak lain.
Inilah esensi demokrasi, yang seringkali dilupakan orang. Kalau warga masyarakat tidak berani mempertahankan demokrasi, maka yang akan terjadi adalah hilangnya keseimbangan antara yang mengajukan kritik dan menentangnya. Berarti pula hilangnya keseimbangan antara yang memerintah dan yang diperintah. Segala kenikmatan hidup yang hanya akan dinikmati mereka yang memerintah dan para pendukung, sedang rakyat kebanyakan akan tetap hidup di bawah garis kemiskinan. Tentu saja tiap orang akan mengatakan tidak setuju dengan kenyataan itu, tetapi jika negara diperintah secara tidak demokratis hal itu akan terjadi.
Nah, dalam hal memelihara orientasi kehidupan demokratis seperti itulah Islam harus berfungsi. Karenanya Islam dapat saja menggunakan temuan-temuan Iptek “orang lain”, selama ia mengarahkan penggunaan hal itu untuk kepentingan menegakkan demokrasi. Di sinilah terletak “kelebihan” semua peradaban yang menempatkan manusia sebagai mahluk mulia di mata Allah. Kalau Islam memiliki kebesaran Iptek dan tradisi pengembangannya dan jika peradaban-peradaban lain juga demikian, maka umat manusia akan hidup dalam kemuliaan yang di cita-citakan Islam. Jadi dalam fungsi mensejahterakan, Islam bersama-sama dengan yang lain mengatur arah dan orientasi Iptek, bukan dalam kesepian dan kesendirian. Mudah dikatakan, namun sulit dilakukan, bukan? []
Jakarta, 17 November 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar