Adab Berdzikir
Berdzikir mempunyai adab-adab tertentu,
baik sebagai penghantar, sesudah, atau ketika pelaksanaannya. Ada adab
yang bersifat lahiriah dan ada pula yang bersifat batiniah.
Adab Pengantar
Sebelum meiaksanakan dzikir, sebaiknya sang
salik terlebih dulu bertobat, membersihkan jiwa dengan riyadhoh (olah) rohani,
melembutkan sirr (batin) dengan menjauhkan dan dengan kaitan hati dengan
makhluk, memutuskan segaia penghaiang, memahami ilmu-ilmu agama, dan
mempelajari syarat rukun dalam fardlu 'ain, mempertegas tujuan-tujuuan luhur
sebagai spirit tahapan utamanya, yang bersifat syar'i. Ia juga harus memilih
dzikir yang sesuai dengan kondisi batinnya. Setelah itu, barulah ia berdzikir
dengan tekun dan terus menerus.
Di antara adab yang perlu diperhatikan yaitu
hendaknya ia memakai pakaian yang halal, suci, dan wangi. Kesucian batin bisa
terwujud dengan memakan makanan yang halal. Dzikir waiau pun bisa
melenyapkan bagian-bagian yang berasal dari makanan haram, tetapi manakaia
batinnya sudah kosong dari yang haram atau syubhat, maka dzikir tersebut akan lebih
mencerahkan qalbu.
Namun, jika dalam batinnya masih terdapat
sesuatu yang haram, ia terlebih dahulu akan dicuci dan dibersihkan oleh dzikir.
Pada kondisi tersebut, fungsi dzikir sebagai penerang qalbu menjadi sifatnya
lebih lemah. Ibarat air yang dipergunakan untuk mencuci sesuatu yang terkena
najis, najisnya akan hilang. Tetapi, pada saat yang sama ia tak bisa membuat
benda yang terkena najis tadi menjadi lebih bersih.
Oleh karena itu, sebaiknya ia dicuci uiang
sehingga ketika benda yang dicuci itu teiah bersih dari najis, ia akan
bertambah cemerlang dan bersinar ketimbang saat dicuci pertama kali. Demikian
puia saat dzikir turun ke dalam qalbu. Kaiau qalbu tersebut geiap, dzikir akan
membuatnya terang. Tetapi, kaiau qalbu tersebut sudah terang, dzikir akan
membuatnya jauh lebih terang.
Adab Penyerta
Ketika dzikir dilaksanakan hendaknya disertai
niat ikhlas. Majelis tempat dzikirnya diberi aroma wewangian untuk para
maiaikat dan jin. Ketika duduk hendaknya bersila menghadap kibiat, biia
berrdzikir sendirian. Tetapi, kaiau bersama-sama, hendaknya ia berdzikir dalam
lingkungan majelis. Seianjutnya telapak tangannya diletakkan di atas paha dan
matanya dipejamkan seraya terus menghadap ke depan.
Sebagian Ulama berpandangan, jika ia berada
di bawah bimbingan seorang syekh (Mursyid), ia membayangkan sang syekh sedang
berada di hadapannya. Sebab, ia adalah pendamping dan pembimbing dalam meniti
jalan rohani. Selain itu, hendaknya qalbu dan dzikirnya itu dikaitkan dengan
orientasi sang syekh disertai keyakinan bahwa semua itu bersambung dan
bersumber dari Nabi saw. Sebab, syekhnya itu merupakan wakil Nabi saw.
(Namun sejumlah Ulama Thariqah Sufi melarang
membayangkan wajah syeikh, karena apa pun seorang syeikh atau Mursyid
kategorinya tetap makhluq. Di dalam Al-Qur'an disebutkan, "Kemana pun
engkau menghadap, maka disanalah Wajah Allah." Bukan wajah makhluk.
Dikawatirkan pula, jika di akhir hayat seseorang, yang tercetak dalam
bayangannya adalah wajah makhluk, para Ulama Sufi mempertanyakan, apakah ia secara
hakiki husnul khotimah atau su'ul khotimah?)
Ketika membaca La Ilaaha Illalloh dengan
penuh kekuatan disertai pengagungan. Ia naikkan kalimat tersebut dari atas
pusar perut. Ialu, dengan membaca Laa Ilaaha hendaknya ia berniat melenyapkan
segaia sesuatu seiain Allah swt, dari qalbu. Dan ketika membaca Illalloh,
hendaknya ia menghujamkan ke arah jantung, agar Illalloh tertanam dalam qalbu,
kemudian mengalirkan ke seluruh tubuh serta menghadirkan dzikir dalam qalbunya
setiap saat.
Menurut sebagian Ulama mengatakan,
"Pengulangan dzikir tidak benar, kecuali dengan refleksi makna,
selain makna yang pertama."
Dan tingkatan dzikir yang minimal adalah
setiap kali seseorang membaca Laa Ilaaha Illalloh, qalbunya harus bersih dari
segala sesuatu selain Allah swt,. Jika masih ada, ia harus segera
melenyapkannya. Jika ketika berdzikir qalbunya masih menoleh pada sesuatu
selain Allah swt, berarti ia telah menempatkan berhala bagi dirinya.
Allah swt, berfirman, "Tahukah kamu
orang yang mempertuhankan hawa nafsunya." (Q.S. al-Furqan: 43) `Janganiah
kamu membuat Tuhan selain Allah ." (Q.S. al-Isra': 22). "Bukankah Aku
teiah memerintahkan kepadamu wahai Bani Adam agar kamu tidak menyembah
syetan." (Q.S. Yasin : 60).
Dalam hadits, Rasul saw juga bersabda, "Sungguh
rugi hamba dinar dan sungguh rugi hamba dirham." Dinar dan dirham tidak
disembah dengan cara rukuk dan sujud kepadanya, tetapi dengan adanya perhatian
qalbu kepada keduanya.
La Ilaaha Illalloh, tidak benar diucapkan
kecuali dengan penafian segala hal selain Allah dari diri dan qalbunya.
Manakala dalam dirinya masih ada gambaran inderawi, walau seribu kali
diucapkan, maka maknanya tidak membekas di qalbu.
Namun, bila qalbu tersebut telah kosong dari
hal-hal seiain Allah swt, meskipun hanya membaca kata Allah, satu kali saja, ia
akan menemukan kelezatan yang tak bisa diungkapkan.
Syeikh Abdurrahman al-Qana'y mengatakan,
" Suatu kali aku mengucapkan La Ilaaha Illalloh , dan tak pernah kembali
lagi padaku."
Di kalangan Bani Israel ada seorang budak hitam
yang setiap kali ia membaca La Ilaaha Illalloh, tubuhnya dari kepala
hingga kaki-berubah warna putih. Demikianlah, ketika seorang hamba mewujudkan
kalimat La Ilaaha Illalloh, sebagai kondisi qalbunya, lisan tak bisa
mengaksentuasikan.
Meskipun La Ilaaha Illalloh adalah segala
muara oreintasi, ia adalah kunci pembuka hakikat qalbu, seiain akan mengangkat
derajat para salik ke alam rahasia.
Ada yang memilih untuk membaca dzikir di atas
dengan cara disambung sehingga seolah-olah menjadi satu kata tanpa tersusupi
oleh sesuatu dari luar ataupun lintasan pikiran dengan maksud agar setan tak
sempat masuk. Cara membaca dzikir seperti ini dipilih dengan melihat kondisi
salik yang masih lemah dalam mendaki jaian spiritual akibat belum terbiasa.
Seiain terutama karena ia masih tergolong pemula. Menurut para uiama, ini
adaiah cara tercepat untuk membuka qalbu dan mendekatkan diri pada Allah swt.
Menurut sebagian ulama, memanjangkan bacaan
La Ilaaha Illalloh lebih baik dan lebih disukai. Karena, pada saat dipanjangkan,
dalam benaknya muncul semua yang kontra Allah, kemudian, semua itu ditiadakan
seraya diikuti dengan membaca Illalloh. Dengan demikian, cara ini lebih dekat
kepada sikap ikhlas sebab ia tidak mengokohkian sifat Ilahiyah, yaitu walaupun
dinafikan dengan Laa Ilaaha secara nyata, sesungguhnya ia telah menetapkan
dengan "Illa" keadaannya, namun "Illa" itu sendiri
merupakan cahaya yang ditanamkan dalam qalbu yang kemudian mencerahkannya.
Sebagian lagi berpendapat sebaliknya. Menurut
mereka, tidak membaca panjang lebih utama. Sebab, bisa jadi kematian datang di
saat sedang membaca la ilaha (tidak ada tuhan), sebelum sampai pada kata
Illalloh, (kecuali Allah swt,).
Sementara menurut yang iain, biia kalimat
tersebut dibaca dengan tujuan untuk berpindah dari wiiayah kekufuran menuju
iman, maka tidak membaca panjang lebih utama agar ia lebih cepat berpindah
kepada iman. Namun, kalau ia berada dalam kondisi iman, membaca secara panjang
lebih utama .
Adab berikut
Manakala sang salik terdiam dengan upaya
menghadirkan qalbunya, karena bersinggungan dengan anugerah ruhani dibalik
dzikir berupa kondisi ghaybah (kesirnaan diri) paska dzikir, yang juga disebut
dengan "kelelapan", maka jika Allah swt, mengirim angin untuk menebar
rahmat-Nya berupa hujan, Allah swt, juga mengirim angin dzikir untuk menebar
rahmat-Nya yang mulia berupa sesuatu yang bisa menyuburkan qalbu dalam sesaat
saja. Padahal, itu tak bisa dicapai meskipun lewat perjuangan ruhani dan
riyadhoh tiga puluh tahun lamanya. Adab-adab ini harus dimiliki oleh seorang
pedzikir yang dalam kondisi sadar dan bisa memilih.
Sedangkan bagi pedzikir yang kehilangan
pilihan karena tidak sadar bersamaan dengan masuknya limpahan dzikir dan
rahasia ke dalam dirinya, lisannya bisa jadi mengucapkan kata Allah, Allah, Allah
atau Huw, Huw, Huw, Huw, atau La, La, La, atau Aa..Aa..Aa.. atau Ah, Ah,
Ah, atau suara yang berbunyi. Adabnya adalah pasrah total pada anugerah Ilahi
yang membuatnya tenang dan diam.
Semua adab di atas diperlukan oleh mereka
yang akan melakukan dzikir lisan. Adapun dzikir qalbu tidak membutuhkan
adab-adab tersebut. []
KH. M. Luqman Hakim, Ph.D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar