Masjid Hagia Sophia dan Ambisi Erdogan
Oleh: Zuhairi Misrawi
Minggu lalu, saya diwawancarai oleh salah satu media nasional perihal transformasi Museum Hagia Sophia menjadi Masjid Hagia Sophia. Isu ini menjadi polemik tidak hanya di media-media nasional kita, melainkan juga di media-media internasional. Amerika Serikat dan UNESCO secara eksplisit menentang sikap Turki tersebut.
Tanpa berpikir panjang, saya langsung menjawab, "Kita harus menghargai kedaulatan Turki untuk menentukan masalah dalam negeri mereka. Toh perubahan dari museum ke masjid merupakan sesuatu yang di dalamnya mempunyai makna simbolik luar biasa. Nabi Muhammad SAW menjadikan masjid sebagai simbol peradaban dalam rangka membangun toleransi, moderasi, pencerahan, dan kemajuan umat."
Saya sengaja menjawab secara normatif, karena bagi saya sebenarnya tidak ada masalah yang serius dari perubahan Museum Hagia Sophia menjadi Masjid Hagia Sophia. Pemerintah Turki juga menegaskan bahwa selain berfungsi sebagai masjid, tempat bersejarah itu juga akan tetap membuka wisatawan dari berbagai agama untuk berkunjung. Kira-kira juga akan sama dengan Masjid al-Azhar, Mesir yang usianya lebih dari 1.000 tahun yang terbuka bagi umat agama-agama lain untuk berkunjung dan melihat jejak-jejak sejarahnya.
Perubahan dari museum menjadi masjid ini menjadi isu sentral di berbagai belahan dunia terkait dengan dimensi geopolitik dan politik dalam negeri Turki. Negara-negara Barat, Amerika Serikat, dan negara-negara Eropa memberikan tekanan kepada Turki secara pelan-pelan sedang menuju pada "Era Erdoganisme" yang ingin "hijrah" dari Kemalisme yang merupakan simbol dari Turki modern pasca-Dinasti Ottoman yang dikenal sekuler.
Amerika Serikat dan negara-negara Eropa mulai khawatir dengan perkembangan Turki yang dimonopoli oleh Erdogan. Keberhasilan Erdogan memenangkan referendum untuk mengubah konstitusi dari sistem parlementer menjadi presidensial semakin mengukuhkan posisinya sebagai orang nomor satu di Turki, setidaknya hingga tahun 2023 nanti. Sebab itu, tekanan dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa merupakan peringatan keras perihal transformasi Turki modern ke arah "Erdoganisme".
Sebagai politisi ulung, Erdogan melihat ada celah yang bisa diamplifikasi untuk konsolidasi dukungan politik dengan mengubah Museum Hagia Sophia menjadi masjid. Penolakan dari beberapa negara Barat tadi justru semakin menguatkan posisinya di mata warga, khususnya kelompok muslim konservatif dan sekuler konservatif.
Erdogan mencari dan menemukan momentum yang tepat saat kondisi pandemi yang mengancam ekonomi dalam negeri. Tanpa pandemi saja, ekonomi Turki sangat berdarah-darah. Warga mulai meragukan kepemimpinan Erdogan di tengah krisis ekonomi. Hasil referendum terakhir dan Pemilu Istanbul membuktikan bahwa kelas menengah Turki mulai kehilangan kepercayaan pada Erdogan, yang jika tidak ada terobosan serius bisa jadi akan kehilangan kursi pada pemilu yang akan datang.
Apalagi pandemi menjadi tantangan yang sangat serius. Hampir bisa dipastikan, tidak ada satu pun negara yang mampu keluar dari krisis ekonomi akibat pandemi. Semua pemimpin negara mendapatkan tekanan politik yang sangat serius akibat, termasuk Erdogan yang akan maju lagi sebagai Calon Presiden Turki untuk periode kedua pada 2023 nanti.
Maka dari itu, Erdogan mencari momentum yang tepat agar bisa mendapatkan dukungan publik yang luas. Ia melihat perubahan Museum Hagia Sophia menjadi Masjid Hagia Sophia sebagai terobosan yang tepat untuk konsolidasi dukungan, baik dari pendukung utamanya maupun kelompok sekuler yang berpandangan konservatif.
Hagia Sophia mempunyai sejarah yang panjang. Pada masa Kontantinopel, Hagia Sophia merupakan gereja. Setelah Sultah Mahmed II pada 29 Mei 1453 berhasil menaklukkan Kostantinopel, ia secara simbolik melaksanakan salat sembari mengubahnya menjadi masjid sebagai simbol kemenangan Dinasti Ottoman. Masjid Hagia Shopia menjadi kebanggaan kaum muda Turki pada saat itu.
Pada 1 Februari 1935, Mustafa Kemal Attaturk yang dikenal sebagai Bapak Turki Modern yang membawa bendera sekularisme mengubah masjid tersebut sebagai museum. Masjid Hagia Shopia pada saat itu merupakan salah satu simbol Dinasti Ottoman, dan karenanya langkah yang diambil Kemal Attaturk dengan menggantinya sebagai museum.
Meskipun demikian, para wisatawan yang berkunjung ke Hagia Sophia tidak bisa menghapus jejak-jejak masjid di dalamnya, karena masih terpampang tulisan Allah, Nabi Muhammad SAW, dan para sahabat Nabi. Saya sendiri jika berkunjung ke Istanbul tidak pernah melewatkan kunjungan ke Hagia Sophia, karena di depannya ada kafe sederhana yang menyajikan kopi khas Turki dan syawarmah kesukaan saya.
Maka dari itu, Erdogan dalam pidatonya saat mengumumkan perubahan dari museum menjadi masjid menegaskan kembali heroisme Sultan Mahmed II, yang berhasil menaklukkan kostantinopel pada 1453. Erdogan ingin menghidupkan kembali nostalgia dan memori kolektif pada masa Dinasti Ottoman. Maklum, Dinasti Ottoman merupakan dinasti yang paling lama dan hingga saat ini menjadi kebanggaan Turki.
Dalam konteks tersebut, Erdogan berusaha untuk membangun citra bahwa ia berhasil keluar dari tekanan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Kita tahu bahwa para pemimpin Arab tidak banyak yang berani melakukan perlawanan terhadap dominasi Amerika Serikat di Timur-Tengah. Hanya Iran yang berani melawan dan berhadap-hadapan langsung dengan Amerika Serikat.
Kali ini Erdogan mendapatkan dukungan yang luas dari warga karena mampu menunjukkan kedaulatan Turki di hadapan negara-negara Barat. Dan semestinya negara-negara Barat juga tidak perlu alergi terhadap Masjid Hagia Sophia ini karena perubahan dari museum menjadi masjid merupakan sesuatu yang lumrah dan biasa. Apalagi masjid merupakan tempat ibadah dan simbol peradaban yang di dalamnya membangun toleransi dan moderasi.
Walhasil, saya kira kita pun tidak perlu memperluas polemik tentang perubahan Hagia Sophia dari museum menjadi masjid. Kita berharap Masjid Hagia Sophia dapat menjadi masjid yang mampu membawa Turki pada moderasi dan toleransi. Kita tidak ingin Masjid Hagia Sophia hanya menjadi instrumen politik belaka, apalagi jika hanya ingin menaikkan popularitas dan elektabilitas Erdogan di tengah pandemi. []
DETIK, 16 Juli 2020
Zuhairi Misrawi | Cendekiawan Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar