Meneguhkan Fiqih yang Dinamis dan Maslahat (4)
Pentingnya pemahaman terhadap realitas ditegaskan oleh Syekh Al-‘Alwânî bahwa:
”Jika dalam pendapat para ulama terdahulu ditemukan suatu pendapat yang selaras dengan realitas dan mendekati jiwa syara’, maka diambil dengan baik–sebagai bentuk peneguhan hubungan dan kontinuitas di antara generasi umat manusia–tanpa perlu diangkat kepada standar nash syar’i, atau dipandang suatu fatwa dalam putusan yang dibuat, tetapi juga tidak boleh merendahkan bila ternyata para ulama terdahulu kita tidak memiliki jawaban mengenai problematika kasus yang tidak mereka hadapi di kehidupan mereka....”
Kemaslahatan yang berjalan seiring perubahan konteks sosio geografis dan sosiokultural tidaklah rigid, tetapi dinamis. Apa yang dipandang sebagai kemaslahatan pada satu masa belum tentu merupakan kemaslahatan pada masa berikutnya. Terdapat dinamika dalam pandangan mengenai suatu nilai kemaslahatan tersebut.
Untuk itulah, teori atau kaidah perubahan sosial (kaidah adaptif hukum Islam, kaidah perubahan hukum Islam) menjadi pusat perhatian dalam rangka mencapai maksud pembentukan syariat/hukum Islam.
Kaidah dimaksud adalah taghayyurul fatwâ [al-ahkâm] wakhtilâfuhâ bi hasabi taghayyuril azminah wal amkinah wal ahwâl wan niyyât wal ‘awâ’id atau perubahan suatu fatwa (atau norma hukum) dan perbedaannya itu berjalan seiring dengan perubahan (konteks) era, geografi, kondisi manusia, motivasi, dan kebiasaannya. Kaidah ini dikemukakan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah dalam karyanya I‘lâmul Muwaqqi‘în ‘an Rabbil ‘Âlamîn (Beirut, Dârul Fikr: 2003 M), jilid II, halaman 3.
Sejalan dengan kaidah tersebut, KH Dr MA Sahal Mahfudh (wafat 2004 M), Rais Aam PBNU 1999-2014, mengatakan bahwa ”Sebagai produk ijtihad, maka sudah sewajarnya fiqih terus berkembang lantaran pertimbangan-pertimbangan sosio-politik dan sosio-budaya serta pola pikir yang melatarbelakangi hasil penggalian hukum sangat mungkin mengalami perubahan.” (KH MA Sahal Mahfudh, ”Bahtsul Masail dan Istinbath Hukum NU: Sebuah Catatan Pendek,” dalam Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2010), [Surabaya, Khalista: 2011 M], halaman xi).
Aplikasi prinsip peniadaan kesulitan atau raf‘ul haraj dalam rangka memberikan kemaslahatan manusia tersebut diwujudkan dengan cara memberikan keringanan (takhfîf). Berbagai literatur, antara lain karya Imam Jalâluddîn ‘Abdurrahman bin Abî Bakr As-Suyûthî, Al-Asybâh wan Nazhâ’ir (Semarang, Thaha Putera: tanpa tahun) halaman 59 menyebutkan beberapa macam takhfîf:
1. Keringanan berupa pengguguran kewajiban (takhfîf isqâth), yaitu dalam keadaan tertentu, karena sesuatu hal, yang merupakan uzur syar’i, kewajiban menjadi ditiadakan, misalnya tidak wajib melaksanakan ibadah haji bagi orang yang bangkrut atau keadaan tidak aman.
2. Keringanan berupa pengurangan kadar (takhfîf tanqîsh) yang telah ditentukan, seperti qashar shalat (meringkas shalat dari empat rakaat menjadi dua rakaat) bagi orang yang sedang dalam perjalanan (musâfir).
3. Keringanan berupa penukaran atau penggantian (takhfîf ibdâl), yaitu penggantian kewajiban yang satu dengan kewajiban yang lainnya, seperti kewajiban berwudhu dan mandi besar (junub) menggunakan air diganti dengan tayamum (bersuci dengan menggunakan debu), dalam keadaan ketika tidak ada air atau tidak memungkinkan menggunakan air karena sakit; kewajiban berdiri dalam shalat diganti dengan duduk dan berbaring atau dengan menggunakan isyarat; dan kewajiban berpuasa diganti dengan fidyah, yaitu memberikan makan orang miskin.
4. Keringanan berupa mendahulukan (takhfîf taqdîm), yaitu mengerjakan sesuatu sebelum waktu yang telah ditentukan secara umum (asal), seperti jama‘ taqdîm, yakni melaksanakan shalat ashar di waktu zuhur, dan melaksanakan shalat isyâ’ di waktu maghrib.
5. Keringanan berupa mengakhirkan (takhfîf ta’khîr), yaitu mengerjakan sesuatu setelah waktunya yang asal telah tiada seperti jama‘ ta’khîr, yakni melaksanakan shalat zuhur di waktu ashar, dan shalat maghrib di waktu Isyâ’, serta mengakhirkan puasa Ramadhan bagi orang yang sakit dan musafir.
6. Keringanan berupa rukhshah (takhfîf tarkhîs/takhyîr), yaitu bentuk perbuatan mendapatkan keringanan karena terjadi perubahan-perubahan sesuai dengan situasi yang sedang dihadapi seperti shalat orang yang bersuci menggunakan batu (istijmâr) meskipun masih ada sisa kotoran, minum khamr bagi orang yang sangat kehausan yang dapat mengakibatkan dirinya meninggal dunia, ketika tidak ada air minum yang halal, dan makan sesuatu yang najis karena untuk berobat. Demikian juga rukhshah berupa shalat khauf (shalat yang dilakukan ketika kondisi abnormal, seperti perang), dilaksanakan berubah (berbeda) dari sistem salat dalam kondisi normal.
Model pengambilan hukum yang mendasarkan prinsip at-taisîr dan raf‘ul haraj dapat pula dilakukan dengan pola atau pendekatan pemaduan (at-taufîq) terhadap dua hadits atau dua pendapat hukum yang (tampak) kontradiktif (bertolak belakang).
Pola moderat ini menjadi satu pendekatan penting untuk menghasilkan rumusan hukum yang tidak ekstrem kaku (memberatkan) atau sebaliknya ekstrem longgar (sangat meringan-ringankan), dalam arti tidak proporsional. Kaidah dimaksud berbunyi:
إن إعمال الحديثين أو القولين أولى من إلغاء أحدهما وإن ذلك من كمال مقام الإيمان.
Artinya, ”Menerapkan dua hadits atau dua pendapat itu lebih utama daripada mengabaikan salah satu dari keduanya. Sungguh yang demikian itu termasuk kesempurnaan status keimanan,” (As-Sya‘rânî, Kitâb Mîzânul Kubra, juz I, halaman 63).
Hikmah dari asas penghilangan kesulitan dalam beragama (raf‘ul haraj fîd dîn) ini dikemukakan oleh Syekh Âlî Ahmad Al-Jurjâwî:
والحكمة في ذلك أن رفع الحرج لا يجعل القلوب نافرة من أي أمر من أمور الدين، بل يسهل على الناس تناوله فيكثر المسلمون ولا يجدون من الصعوبات ما يعوقهم عن السير فيه. ولما كان الدين الإسلامي بهذه السهولة وكان كافلا لصلاح أمري الدنيا والدين في كل زمان ومكان، جعله الله آخر الأديان.
Artinya, ”Hikmahnya dalam yang demikian itu (penghilangan kesempitan bagi manusia dalam beragama) adalah bahwa penghilangan kesempitan itu (raf‘ul haraj) tidaklah menjadikan hati manusia enggan terhadap setiap perintah agama, bahkan justru menjadikan manusia mudah dalam menjalankan agama sehingga manusia menjadi semakin banyak dan mereka tidak menemukan sedikitpun kesulitan-kesulitan yang menghalanginya dalam beragama. Oleh karena agama Islam berlandaskan pada kemudahan ini dan menjadi jaminan bagi kebaikan dimensi dunia dan agama pada setiap era dan zona, maka Allah Taala menjadikannya sebagai agama pamungkas,” (Al-Jurjâwî, Hikmatut Tasyrî‘ wa Falsafatuh, juz I, halaman 198).
Dus, janganlah kita bersikap petentengan (Jawa) atau ngotot dan fanatik buta (ta‘ashshubb) atau ekstrem (ghuluww/tatharruf) pada suatu pendapat, apalagi bila pendapat itu tidak sejalan lagi dengan nilai keadilan dan kemaslahatan publik. []
Ustadz Ahmad Ali MD, Penulis Keislaman, Anggota Dewan Ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) dan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar