Meneguhkan Fiqih yang Dinamis dan Maslahat (5)
Penerapan Hukum yang Responsif, Akomodatif, Adaptif, dan Aplikatif
Dalam menghadapi perkembangan zaman dewasa ini, norma fiqih akan selalu hadir menjawab kasus (responsif), dan mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi (adaptif), memperhatikan perubahan zaman (”akomodatif”) dengan pola yang dinamis (shalâhiyyah/tathawwur). Fiqih bersifat lentur, tidak rigid (jumûd: kaku) dan praktis (aplikatif).
Hal ini terjadi karena norma fiqih (hukum Islam) yang kaku itu membahayakan agama (dhalâlun fîd dîn). Imam Syihâbuddin Al-Qarâfî (wafat 684 H), tokoh mazhab Mâlikiy, mengatakan bahwa:
الجمود على المنقولات أبدا ضلال في الدين وجهل بمقاصد علماء المسلمين والسلف الماضين
Artinya, “Senantiasa terpaku pada teks pendapat ulama terdahulu adalah suatu kesesatan dalam agama dan ketidak mengertian terhadap maksud yang diinginkan para ulama terdahulu,” (Al-Qarâfî, Kitâbul Furûq Anwârul Burûq fî Anwâ‘il Furûq, [Kairo, Dârus Salam: 2001 M], halaman 314).
Dinamisasi fiqih ini dilakukan melalui telaah ulang pendapat ulama terdahulu (i‘âdatun nazhar) ketika suatu pendapat (qaul) dipandang tidak cocok lagi untuk dijadikan pegangan karena misalnya sulit diimplementasikan dalam kehidupan atau menimbulkan kesulitan terhadap manusia (ta‘assur aw ta‘adzdzurul a‘mal).
Syekh Ba’sûdan dalam risalahnya sebagaimana dikutip oleh Sayyid ‘Alawî bin Ahmad As-Saqqâf (wafat 1080 H) dalam Majmû‘ah Tsamâni Rasâ’il Syâfi‘iyyah Mufîdah, mengatakan:
اعلم أن أئمتنا الشافعية رضوان الله عليهم لهم اختيارات مخالفة لمذهب الإمام الشافعي رضي الله عنه اعتمدوا العمل بها لتعسر أو تعذر العمل بالمذهب، وهي كثيرة مشهورة وعند التحقيق فهي غير خارجة عن مذهبه، وذلك إما بالاستنباط أو القياس أو الاختيار من قاعدة له أو على قول له قديم أو لدليل صحيح، لقوله رضي الله عنه: إذا صح الحديث فهو مذهبي، فمن الاختيارات العمل بمذهب مالك في أن الماء لا ينجس مطلقا إلا بالتغير
Artinya, “Ketahuilah, sungguh para pemuka mazhab Syafi’i mempunyai pilihan yang berbeda dengan mazhab Imam Syafii. Mereka tetap berpegang pada pilihan tersebut di saat tidak memungkinkan untuk menggunakan metode yang ditetapkan mazhab. Kasus seperti ini banyak terjadi, dan menurut pendapat yang terpercaya, hal seperti ini tidak keluar dari lingkup mazhab Syafi‘i. Demikian ini bisa terjadi adakalanya dengan mempergunakan cara pengambilan hukum (istinbâth) sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Syafii atau dengan cara qiyas atau dengan mempergunakan kaidah yang telah diformulasikan olehnya atau dengan memilih pendapat terdahulu (qaul qadîm), atau karena memang terdapat dalil yang lebih shahih. Imam Syafi’i sendiri pernah berkata, ‘Jika (kamu temukan) hadits shahih, maka itulah mazhabku.’ Di antara pilihan itu adalah menerapkan mazhab Imam Malik bahwa air tidaklah menjadi najis secara mutlak kecuali sebab berubah --warna, bau dan/atau rasanya. (Sayyid ‘Alawî As-Saqqâf, Majmû‘ah Tsamâni Rasâ’il Syâfi‘iyyah Mufîdah, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1971 M], halaman 151).
Dinamisasi fiqih demikian tampak dari perbedaan pendapat (ikhtilâf) di antara fuqaha mengenai suatu kasus, satu pendapat tampak meringankan dan pendapat yang lainnya justru memberatkan.
Sebagai contoh kasus talak tiga yang diucapkan sekaligus, apakah jatuh talak satu atau jatuh talak tiga? Dalam kasus ini terjadi ikhtilâf di antara ulama. Berdasarkan penelusuran berbagai literatur, yaitu Kitab Al-Majmû‘ Syarhul Muhadzdzab karya imam An-Nawawî (631-676 H), Kitab Bidâyatul Mujtahid karya Ibnur Rusyd (wafat 595 H), terdapat 4 (empat) pendapat mengenai kasus talak tiga sekaligus.
Pendapat pertama, jatuh talak tiga, ini pendapat empat imam mazhab. Pendapat kedua, jatuh talak satu. Pendapat ketiga, jatuh talak tiga bila si istri yang ditalak sudah digauli oleh suami yang menalaknya. Tetapi bila belum pernah digauli olehnya, maka jatuh talak satu. Pendapat keempat, tidak jatuh talak sama sekali karena menyimpang dari ketentuan talak berdasarkan nash Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Bila mendasarkan pada tipologi takhfîf dan tasydîd, maka tampak dari beberapa pendapat tersebut: pendapat yang menyatakan talak tiga sekaligus telah membuat jatuh talak tiga merupakan pendapat yang masuk ke dalam kategori tasydîd (memberatkan).
Adapun pendapat yang menyatakan talak tiga sekaligus hanya membuat jatuh talak satu merupakan pendapat yang masuk kategori takhfîf (meringankan), bahkan pendapat yang menyatakan tafshîl, yakni jatuh talak tiga bila si istri yang ditalak tiga sekaligus itu sudah digauli terlebih dahulu oleh suami yang menalaknya, tetapi bila belum pernah digauli olehnya maka jatuh talak satu, dapat dimasukkan ke dalam tipologi ”tawassuth”.
Demikian pula persoalan menutup aurat atau menggunakan jilbab bagi perempuan Muslimah dalam hubungannya dengan laki-laki yang bukan mahramnya, terdapat setidaknya 5 (lima) pendapat ulama mazhab.
Pertama, pendapat mazhab Hanafiyah dan Malikiyah, termasuk salah satu dari dua pendapat imam Syafi’i, bahwa wajah dan kedua tangan bukanlah aurat.
Kedua, pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, juga pendapat As-Syafi’i dalam satu pendapatnya yang lebih kuat, bahwa seluruh tubuh perempuan yang merdeka (bukan budak) adalah aurat, jadi cara memakai jilbabnya model cadar.
Ketiga, suatu riwayat (pendapat) dari Abu Hanifah bahwa kedua kaki perempuan juga bukan aurat–di samping wajah dan kedua tangan bukan aurat. Tingkat kesulitan menutupnya lebih sangat daripada menutup kedua tangan, terlebih bagi umumnya perempuan perkampungan yang fakir miskin, yang menyusuri jalanan untuk mengais rezeki memenuhi kebutuhan mereka.
Keempat, pendapat Abu Yusuf (murid Abu Hanifah, salah satu tokoh utama mazhab Hanafiyah), menambahkan bahwa kedua lengan tangan juga bukan aurat karena ada kesulitan untuk menutupinya.
Kelima, lebih progresif lagi, dalam mazhab Hanafiyah ini terdapat pendapat meski tidak lebih shahih (ghairu ashah) yang membolehkan perempuan Muslimah terbuka rambut kepalanya.
Perbedaan pendapat itu muncul karena adanya perbedaan pendapat dalam menafsirkan Surat An-Nûr ayat 31. Tentang perbedaan pendapat ulama mengenai masalah tersebut dapat dilihat dalam karya As-Syekh Muhammad ‘Alî As-Sâyis, Tafsîr Âyâtil Ahkâm, [Kairo, Mu’assasatul Mukhtâr: 2001 M], jilid II, halaman 160-170). []
Ustadz Ahmad Ali MD, Penulis Keislaman, Anggota Dewan Ahli Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU) dan Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar