Anjuran Tak Langsung Minum Air Setelah Dzikir
Dasar perintah berdzikir adalah Al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوا اذْكُرُوا اللَّهَ ذِكْرًا كَثِيْرًا (٤١) وَسَبِّحُوْهُ بُكْرَةً وَّأَصِيْلًا (٤٢)
“Wahai orang-orang yang beriman! Ingatlah kepada Allah, dengan mengingat (nama-Nya) sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya pada waktu pagi dan petang” (QS al-Ahzab[33]: 41-42).
Dzikir merupakan aktivitas ibadah yang senantiasa dijalankan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Dalam hal berdzikir, Rasulullah lebih banyak memberikan contoh secara langsung kepada para sahabat dan menunjukkan keutamaan-keutamaannya. Seperti hadits berikut ini, tidak ada penyebutan kata perintah secara eksplisit, namun menunjukkan betapa pentingnya dzikir bagi kehidupan manusia.
لَايَقْعُدُوْنَ قَوْمٌ يَذْكُرُوْنَ اللهَ تَعَالَى اِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَئِكَةُ وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ وَذَكَرَهُمُ اللهُ تَعَالَى فِيْمَنْ عِنْدَهُ رواه مسلم
“Tidaklah duduk dan berkumpul suatu kaum dengan mengingat Allah (berdzikir) kecuali mereka dikepung oleh para malaikat, diliputi rahmat, diberikan ketenangan, dan Allah mengingat siapa saja yang berada di tengah-tengah perkumpulan tersebut” (HR. Muslim).
Setiap manusia membutuhkan rahmat, ketenangan, dan kasih sayang Allah subhanahu wata’ala. Salah satu media yang dapat digunakan untuk meraih itu semua adalah dzikir. Dzikir berasal dari kata dzakara-yadzkuru-dzikrun yang berarti menyebut, mengucapkan (asma Allah) (Kamus Al-Bisyri, h. 221).
Dalam pengertian lain, dzikir dapat diartikan mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti (Amin Syukur, Terapi Hati, h. 59). Beliau menambahkan bahwa dzikir dalam Al-Qur’an berarti juga membangkitkan daya ingat dan kesadaran, ingat terhadap hukum-hukum Allah, mengambil peringatan, dan meneliti proses alam.
Adab Berdzikir
Pada prinsipnya, tujuan berdzikir adalah untuk membersihkan hati dari segala penyakit, melembutkan yang keras, menjernihkan yang kotor, dan menenteramkan yang bergejolak. Para ulama telah mengajarkan bagaimana cara berdzikir yang benar lagi efektif. Sebagaimana ibadah-ibadah lainnya, dzikir juga memiliki ketentuan-ketenutan yang harus diperhatikan oleh siapa saja yang hendak berdzikir.
Sayid Abu Bakr dalam kitab Kifayatul Atqiya menjelaskan bahwa salah satu adab berdzikir adalah tidak minum baik di tengah maupun setelah selesai berdzikir,
وَيَنْبَغِيْ أَنْ لَا يَشْرَبَ الْمَاءَ عَقِبَهُ أَوْ أَثْنَائَهُ لِأَنَّ لِلذِّكْرِ حَرَارَةً تَجْلِبُ الْأَنْوَارَ وَالتَّجَلِيَّاتِ وَالْوَارِدَاتِ وَشُرْبُ الْمَاءِ يُطْفِئُ تِلْكَ الْحَرَارَةَ
“Sebaiknya (orang yang berdzikir) tidak minum setelah atau di tengah-tengah berdzikir. Karena seseungguhnya dzikir memiliki panas yang dapat menarik cahaya, manifestasi (kekuasaan) Allah, (petunjuk) yang datang saat itu. Minum air dapat memadamkan panas itu” (Sayid Abu Bakr, Kifayatul Atqiya, Indonesaia: Daru Ihya, hal. 107).
Panasnya dzikir dapat melelehkan kotoran-kotoran yang menempel pada dinding-dinding hati, sebagaimana api melelehkan karat yang menempel pada besi.
Cara seperti ini juga pernah diajarkan dan dipraktikkan langsung oleh salah seorang mursyid Thariqah Tijaniyah di Brebes, KH Sofwan Tarsyudi. Setiap hari Jumat sore, tepatnya setelah shalat Ashar beliau dan jamaah melakukan dzikir bersama yang dikenal dengan hailalah. Walaupun pelaksanaannya dari ashar hingga maghrib, tapi beliau melarang kepada jamaah minum, hingga beberapa saat setelah selesai dzikir. Barangkali inilah salah satu contoh implementasi dari penjelasan Sayid Abu Bakr tersebut.
Bacaan-bacaan dzikir yang dibaca dalam ukuran waktu dan hitungan-hitungan tertentu diyakini dapat membakar segala kotoran yang menempel pada hati, yaitu hawa nafsu yang selalu mengajak kepada kesesatan. Oleh karenanya ketika hati sedang mengalami panasnya dzikir sebaiknya tidak didinginkan dengan air.
Lebih lanjut Sayid Abu Bakr menjelaskan adab-adab lain dalam berdzikir, di antaranya; dzikir hendaknya dilakukan dalam keadaan suci, menghadap kiblat, menetralkan hati dari urusan duniawi, menumbuhkan kecintaan kepada Allah, dan memejamkan mata, karena hal ini mempercepat dalam memperoleh cahaya hati. Beliau menambahkan sebaiknya dzikir dilakukan minimal satu jam lamanya, karena yang demikian ini adalah sebaik-baik cara dalam berdzikir.
Hati adalah tempat berpadunya kebaikan dan kejahatan. Oleh karenanya sang pemilik hati harus menyadari kondisi hatinya di setiap waktu. Syekh Muhammad Nawawi al-Jawi dalam kitab Maraqi al-‘Ubudiyah menjelaskan,
(إِعْلَمْ أن الصفاتِ المذمومةِ في القلب كثيرةٌ) لأن الإنسان إجتمع عليه أربعة أنواع من الأوصاف وهي السبعية والبهمية والشيطانية والربانية وكل ذالك مجموع في القلب
“Ketahuilah sesungguhnya dalam hati terdapat banyak sifat tercela. Karena dalam diri manusia terdapat 4 macam sifat, yaitu sabu’iyyah, bahimiyyah, syaithaniyyah, dan uluhiyyah. Kesemuanya itu terkumpul di dalam hati.” (Syekh Muhammad Nawawi Al-Jawi, Maraqi al-‘Ubudiyah, Semarang: Toha Putra, hal, 76).
Keempat sifat manusia berdasarkan penjelasan syekh Nawawi dapat dijabarkan sebagai berikut:
Pertama, sabu’iyyah (binatang buas). Jika manusia dikuasai oleh sifat tersebut, maka bisa jadi dengan mudahnya ia mencelakai, membunuh dan mengorbankan orang lain demi kepentingannya sendiri.
Kedua, bahimiyyah (kebinatangan/jinak). Manusia yang dikuasai oleh nafsu ini akan cenderung rakus, tamak, dan tidak puas diri. Sifat ini memungkinkan mendorong kepada kejahatan, seperti mencuri, korupsi, menipu, dan sejenisnya.
Ketiga, syaithaniyyah (sifat setan). Setan merupakan makhluk Allah yang kebiasaannya menggoda dan menyesatkan umat manusia. Jika manusia memiliki sifat ini, tentu perbuatannya tidak jauh seperti setan, suka menggoda, dan menyesatkan orang lain.
Keempat, uluhiyyah (sifat ketuhanan). Sifat ketuhanan yang dimaksud adalah otoritas Tuhan yang tidak boleh ditiru oleh makhluk-Nya, seperti sombong, memaksa, berkuasa, dan sebagainya.
Dalam hal ini Amin Syukur, dalam bukunya Terapi Hati (2012: 27) membagi dua sifat, yaitu sifat jalaliyyah dan sifat jamaliyyah. Sifat jalaliyyah atau sifat keagungan dan keperkasaannya inilah yang tidak boleh ditiru oleh siapa pun. Adapun sifat yang boleh ditiru adalah sifat jamaliyyah (kelembutan)-Nya, seperti penyayang, pengasih, dermawan, pengampun dan sebagainya. []
Jaenuri, Dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar