Lika-liku Perjuangan
Penghafal Al-Qur’an
Judul Buku
: Kisah Penghafal Al-Qur’an, Disertai
Resep Menghafal dari para Pakar
Penulis
: Ammar
Machmud
Penerbit
: Quanta,
Jakarta
Cetakan
: I, 2015
Tebal
: 146 halaman
Peresensi
: Iin Alawiyah, ibu rumah
tangga, alumnus UIN Walisongo Semarang
Harus diakui,
menghafal Al-Qur’an memang tidak semudah membalik tangan. Bagi yang belum
terbiasa, aktivitas ini bisa jadi sangat membosankan bahkan jenuh, namun bagi
orang-orang yang sudah mampu merasakan nikmatnya menghafal, hal ini terasa
sangat menyenangkan laiknya seorang pujangga yang mendendangkan puisi-pusi
untuk kekasih tercintanya.
Salah satu
kemukjizatan Al-Qur’an yang bisa dirasakan oleh umat Muslim hingga hari ini
adalah bahwa Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang masih terpelihara
otentisitasnya dan bisa dihafalkan oleh semua orang, termasuk orang yang tidak
pernah mengenyam pendidikan pesantren sekalipun. Mengapa demikian? Jawabannya,
karena Al-Qur’an adalah firman Allah yang terkandung bermilyar-milyar ilmu
pengetahuan. Bahkan, Allah sendiri pun menjanjikan bagi siapa saja yang
mengambil pelajaran (menghafalkan) teksnya akan diberi kemudahan. (QS.
Al-Qamar: 17).
Salah satu orang yang
sudah membuktikan hal tersebut adalah Ammar Machmud, penulis buku ini. Dalam
buku ini, dikisahkan secara panjang-lebar perjuangan Ammar dalam menghafal
Al-Qur’an. Dia bertutur bahwa keinginannya untuk menjadi hafidz sungguh sangat
besar bahkan ia pun rela memulai perjuangan menghafalnya itu dari nol
pascalulus kuliah sarjana. Dia memilih tidak tinggal di pesantren karena
keterbatasan biaya dan memiliki tanggung jawab aktivitas lain di luar rumah.
Sehingga kegiatan menyetorkan hafalannya itu dilakukan sehabis Subuh untuk
kemudian di-muroja’ah-kan (diulang-ulangi hafalannya) di rumah.
Ammar pun mengakui sendiri
bahwa menghafal Al-Qur’an itu tidak harus menjadi santri tetap di salah satu
pesantren tertentu dan tidak pula untuk usia tertentu. Prinsipnya, asalkan
seseorang itu sudah pasang niat kuat dan nekat menghafal Al-Qur’an dengan siap
menerima apapun kondisi yang akan dihadapinya, pasti Allah akan turunkan
pertolongan pada hamba-hamba-Nya yang serius berikhtiar. Baginya, proses
menghafal Al-Qur’an itu bukan persoalan cepat atau lambat waktunya tapi
seberapa kuat seseorang itu mampu menikmati proses menghafalkan Al-Qur’an serta
hafalan tidak lupa hingga akhir hayat (hal: 116).
Dalam proses
‘mendaras’ kalam Ilahi, Ammar bukan tanpa cobaan dan rintangan. Banyak cobaan
atau rintangan yang pernah dialaminya. Sebut saja, saat dia diuji Allah dengan
sakit tipus. Pernah pula ia diremehkan temannya dan sering kali juga dia
kehabisan biaya saat dia membutuhkan. Namun apa yang terjadi? Meski cobaan
datang bertubi-tubi, toh akhirnya dia mampu menyelesaikan hafalan
Al-Qur’annya.
Dalam kata pengantar
buku ini, dia sendiri mengakui, apakah dengan dia selesai hafalan Al-Qur’annya
lantas selesai pula tugasnya? Tidak, justru tugas yang ‘lebih berat’
selanjutnya adalah bagaimana agar dia mampu snantiasa menjaga hafalannya hingga
akhir hayatnya (hal: xxii).
Sungguh buku ini
sangat mengena dan memberikan motivasi yang sangat bagus bagi siapa saja umat
Muslim yang ingin, akan, sedang, ataupun telah purna menghafal Al-Qur’an.
Sebab di dalamnya tidak hanya memuat kisah pribadi perjuangan penulisnya saja,
tetapi juga dilengkapi dengan beberapa kisah dan nasehat dari para masyayikh
Al-Qur’an (guru-guru Al-Qur’an).
Meski begitu, buku
ini bukan tanpa kelemahan. Ada beberapa alasan yang belum diungkapkan penulis,
semisal masalah asmara dan kisah perjuangan beberapa ulama Al-Qur’an. Namun,
saya kira buku ini sudah mewakili sebagai gebrakan karya seorang santri yang
mampu menuturkan hasil jerih-payahnya dalam melakukan perubahan hidup. Ibarat
makanan, buku ini tak hanya sedap aromanya tapi juga lezat untuk
disantap. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar