Pyongyang
yang Cantik
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Juni 1983
saya menghadiri Konferensi Jurnalis Internasional di Pyongyang, Korea Utara.
Lantaran waktu itu tak ada rute penerbangan melalui China agar lebih pendek,
saya mesti terbang melingkar Jakarta- Moskow-Pyongyang.
Sesampai
di Pyongyang, saya baru sadar, pada konferensi ini yang hadir para jurnalis
aliran kiri, pendukung blok Uni Soviet yang tengah menghadapi penetrasi
kekuatan Islam Afghanistan melawan Moskow, yang terkenal sebagai perang Soviet
versus Afghanistan 1979-1989 di mana Amerika Serikat (AS) berada di belakang
Afghanistan.
Uni
Soviet di bawah kepemimpinan Leonid Brezhnef ingin mempertahankan pemerintahan
Marxis-Lenin di Afghanistan di bawah komando Presiden Karmal, namun gagal
karena memperoleh perlawanan sengit dari pasukan Mujahidin yang dibantu AS dan
Pakistan. Moskow dibuat kaget ketika menemui kenyataan bahwa banyak tentara Uni
Soviet, bahkan juga anggota KGB, ternyata membelot membela Afghanistan karena
hubungan etnis dan agama (Islam).
Seperti
kita ketahui bersama, rakyat negara bagian Asia Tengah masih banyak yang
diam-diam memegang tradisi dan keyakinan Islam. Oleh karenanya, ketika mereka
dikirim untuk menumpas perlawanan Afghanistan, banyak yang membelot sehingga
tahun 1989 Soviet menyatakan mundur, tetapi perang saudara di Afghanistan masih
berlanjut sampai hari ini.
Waktu itu
Korea Utara berpenduduk sekitar 22 juta jiwa dipimpin Presiden Kim Il-sung yang
berkuasa selama 46 tahun, sejak Korut berdiri 1948 sampai kematiannya
tahun1994. Pyongyang ibu kota Korut sangat cantik. Semuanya terawat rapi dan
serba teratur. Namun di balik kecantikan kota dengan warganya yang serbateratur
dan disiplin, berlaku kontrol tangan besi Kim Il-sung yang bertindak diktator
militeristik.
Saya
perhatikan wajah-wajah panitia yang berusaha melayani para tamu sebaik dan
seramah mungkin, tidak mencerminkan keramahan asli dan spontan. Mungkin benar
kata pengamat, perilaku warga Korut serbadiatur negara. Bahkan untuk tersenyum
atau menangis di depan publik tidak bisa sembarangan. Saya memperoleh cerita
dari guide tour, jika menyimpan uang yang tertera foto Kim Ilsung tidak boleh
disaku celana bawah, foto wajahnya juga tidak boleh dilipat.
Lalu,
jika melewati patungnya mesti berhenti sejenak untuk memberikan hormat. Kalau
tidak, bisa-bisa akan mendapatkan hukuman karena antarmereka saling bertindak
sebagai mata-mata negara terhadap sesamanya. Penguasa Korut berusaha meyakinkan
rakyatnya bahwa negara mereka paling indah, paling sejahtera dan paling unggul.
Dengan berbagai cara, rakyat dihalangi untuk mengetahui dunia luar sehingga
praktis Korut merupakan negara dan masyarakat tertutup.
Korut dan
Kuba mungkin dua negara yang masih setia melaksanakan doktrin Marxisme-
Leninisme, sementara Uni Soviet sudah bubar karena hantaman gelombang
kapitalisme dan demokratisasi sebagaimana China yang sudah mulai mengadopsi
model kapitalisme Barat. Sekarang ini Korut dipimpin Kim Jong-un, cucu dari Kim
Ilsung. Sebuah pemerintahan dinastiisme yang otoriter-tiranik. Korea merupakan
negara yang terbelah dengan berakhirnya Perang Dunia II.
Lagi-lagi,
aktornya adalah AS dan sekutunya, di pihak lain Uni Soviet bersama gengnya. Uni
Soviet didukung China menduduki Korea Utara, AS mengendalikan Korsel. Nasib
serupa yang jadi korban persaingan antara blok Barat dan Timur adalah Vietnam
yang juga terbelah menjadi Vietnam Utara dan Vietnam Selatan, juga Jerman yang
terbelah menjadi Jerman Barat dan Jerman Timur, namun kini keduanya telah
menyatu kecuali Korea.
Ketika
berlangsung konferensi, saya diberi waktu untuk menyampaikan pandangan politik
mengenai pendudukan Moskow atas Afghanistan. Tanpa banyak pertimbangan saya
sampaikan bahwa saya tidak setuju. Kita mesti menghargai kemerdekaan bangsa dan
negara lain. Pidato singkat saya tentu saja sangat tidak disukai forum sehingga
ketika selesai konferensi saya diundang menjadi tamu di TASS Moskow, kantor
berita Uni Soviet waktu itu.
Saya
diceramahi mengapa Moskow mengintervensi Afghanistan, karena AS telah menjadikan
Afghanistan sebagai pintu gerbang untuk mengganggu stabilitas Uni Soviet
melalui wilayah selatan yang berbatasan dengan Pakistan. Saya ditunjuki peta
dunia mengenai agresivitas dan ekspansi AS ke negara-negara sahabat Uni Soviet.
Kenangan yang tersisa, Pyongyang kotanya cantik. Tapi rakyatnya tertekan. Jauh
berbeda dari Korea Selatan yang lebih terbuka dan pengaruh budaya AS sangat
kental.
Negara
adidaya ini selalu berkecenderungan menguasai dan mengendalikan negara lain
dengan berbagai cara, baik melalui kekuatan senjata, ekonomi maupun politik.
Indonesia pun tak luput dari objek kontestasi negara-negara adidaya. []
KORAN
SINDO, 15 April 2016
Komaruddin Hidayat ; Guru Besar Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar