Rabu, 06 April 2016

Zuhairi: Islam Nusantara, Islam Kaffah



Islam Nusantara, Islam Kaffah
Oleh: Zuhairi Misrawi

Baru-baru ini, seorang peneliti dari Jurnal OASIS, Italia, ingin menulis tentang Islam di Indonesia. Pertanyaan mendasar yang diajukan kepada saya: Apa yang secara mendasarkan, yang membedakan antara ekspresi keberislaman di Timur-Tengah dan Indonesia?

Apa sebenarnya yang diajarkan di pesantren-pesantren, sehingga Islam di Indonesia lebih toleran dan lebih ramah dari pada Islam di Timur-Tengah?

Terus-terang, saya sangat senang, karena Islam di negeri ini mulai diapresiasi oleh Barat. Di tengah kebencian yang membuncah terhadap Islam, khususnya jika melihat kampanye Donald Trump yang tidak bersahabat dengan Islam.

Saya percaya, pada ranah akademis sebenarnya studi keislaman mengalami perkembangan yang sangat signifikan, bersamaan dengan munculnya studi keislaman yang makin beragam.

Sementara pada ranah politis, Islam masih kerap dianggap sebagai momok yang menakutkan akibat mencuatnya Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Kembali kepada pertanyaan peneliti tadi, saya menjawab, bahwa para ulama di masa lalu telah merumuskan paradigma keislaman yang sangat sempurna. KH. Hasyim Asy’ari merumuskan konsep keislaman yang kemudian dijadikan pedoman oleh Nahdlatul Ulama.

Dalam ranah teologi, NU menganut teologi moderasi ala Imam Asy’ari dan Imam al-Maturidi. Dalam ranah hukum, NU menganut empat mazhab kaum Sunni, yaitu Imam Syafi’, Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Sementara dalam ranah tasauf, NU merujuk pada Imam al-Ghazali dan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.

Saya tegaskan kepada peneliti tadi, rumusan ini telah menjadikan umat Islam di Indonesia, khususnya NU berada pada jalur moderasi, karena semua ranah dipelajari dengan baik dan menggunakan rujukan yang bersifat otoritatif.

Karena itu pula, kalau mau jujur, yang berhak mendapatkan label Islam Kaffah sebenarnya NU, bukan kelompok lain yang selama ini mengaku dirinya paling benar atau paling Islam.

Meskipun demikian, saya tegaskan bahwa para santri di pesantren diajarkan agar senantiasa mempunyai kearifan dan kedewasaan dalam beragama.

Seperti para ulama di dalam kitab-kitab kuning, selalu mengakhiri pendapatnya dengan ungkapan, Wallahu a’lam bi al-shawab (hanya Tuhan yang Mahabenar).

Sepanjang wawancara, peneliti asal Italia tadi sangat terkesima dengan penjelasan saya. Ia meminta agar pemikiran keislaman ala NU tersebut dapat disebarluaskan ke Timur-Tengah dan Barat, khususnya Eropa yang belakangan ini mengalami pertumbuhan kaum Muslim yang sangat signifikan.

Saya juga menegaskan, bahwa sebenarnya NU saat ini sedang gencar mengampanyekan paradigma Islam Nusantara ke dunia internasional. Yaitu Islam yang ramah dan toleran terhadap keragaman, serta menghargai tradisi lokal.

Lalu ia penasaran bertanya lagi, “Apa itu Islam Nusantara?”

Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Dr. KH. Said Aqil Siradj dalam pembukaan Muktamar NU ke-33 di Jombang, ada beberapa karakteristik dari Islam Nusantara: Pertama, semangat keagamaan (al-ruh al-diniyyah). Semangat keagamaan yang dimaksudkan bukan untuk mengedepankan formalisasi agama, melainkan mengutamakan akhlaqul karimah.

Ini sejalan dengan misi utama kedatangan Nabi Muhammad yang membawa misi untuk menyempurnakan akhlaqul karimah.

Kedua, semangat kebangsaan (al-ruh al-wathaniyyah). Setiap umat Islam di negeri ini hendaknya mempunyai nasionalisme, cinta Tanah Air.

Hal tersebut sudah terbukti dalam sejarah pra-kemerdekaan, para ulama bersama para pendiri bangsa yang lain saling-bahu membahu untuk mewujudkan kemerdekaan dan bersama-sama untuk melahirkan Pancasila sebagai falsafah bernegara. Bahkan, para ulama menegaskan Pancasila sebagai dasar negara sudah bersifat final.

Ketiga, semangat kebhinnekaan (al-ruh al-ta’addudiyyah). Setiap umat Islam harus mengenali dan menerima keragaman budaya, agama dan bahasa.

Tuhan pasti bisa jika hendak menjadikan makhluk-Nya seragam, tetapi Tuhan sudah memilih untuk menciptakan makhluk-Nya beragam agar diantara mereka saling mengenali, menghormati, serta merayakan kebhinnekaan.

Keempat, semangat kemanusiaan (al-ruh al-insaniyyah). Setiap umat Islam hendaknya mampu menjadi prinsip kemanusiaan sebagai pijakan utamanya. Persaudaraan kemanusiaan harus diutamakan dalam rangka menjaga tatanan sosial yang damai dan harmonis.

Islam pada hakikatnya adalah agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan. Sebagai umat Islam, kita harus bangga bahwa Islam yang berkembang di negeri ini sudah teruji mampu membangun kebersamaan sebagai bangsa, bahkan terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan.

Bahkan, di tengah perkembangan wacana modern seperti demokrasi, pluralisme, jender dan hak asasi manusia, kelompok Muslim mampu beradaptasi dengan baik.

Di kalangan NU sendiri, mampu mentransformasikan wacana modern tersebut dengan terma-terma pesantren. Demokrasi menjadi fiqh al-syura, pluralisme menjadi fiqh al-‘addudiyyah, jender menjadi fiqh al-nisa, dan hak asasi manusia menjadi fiqh huquq al-insan.

Diskursus Islam Nusantara semakin kokoh melalui sebuah kaidah yang sangat populer di kalangan pesantren, “mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru/kemodernan yang lebih baik” (al-muhafadhah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).

Sebagai warga dan kader NU, saya selalu merasa nyaman dengan rumusan keberisalaman yang sudah digariskan oleh para ulama terdahulu, khususnya Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari dan rumusan Islam Nusantara para ulama saat ini.

Saya tidak perlu lagi mencari paham keislaman dari luar, yang kerapkali menganggap dirinya paling sempurna (kaffah), padahal mereka hanya menggunakan agama sebagai kepentingan politik kekuasaan.

Kita perlu merawat dan mengembangkan wacana Islam Nusantara ini. Salah satunya memastikan bahwa kita mampu menjaga keragaman, baik dalam intra agama maupun antar agama.

Sebab itu, NU akan selalu menggaungkan pentingnya toleransi untuk menjadikan keragaman sebagai rahmat, bukan laknat. []

KOMPAS, 19 Maret 2016
Zuhairi Misrawi | Intelektual Muda Nahdlatul Ulama dan Ketua Moderate Muslim Society. Pernah mondok selama 6 tahun di Pondok Pesantren al-Amien, Prenduan. Menyelesaikan kuliah di Jurusan Akidah-Filsafat Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Menerbitkan sejumlah buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar