Tamu Itu
Jenderal Polisi
Oleh :
Ahmad Syafii Maarif
Pada 31
Maret 2016 sore di rumah Nogotirto Elok 2, dengan didampingi oleh dua aktivis
Muhammadiyah, saya kedatangan tamu penting: para jenderal polisi. Hampir 90
menit kami berbincang tentang berbagai masalah bangsa, seperti Densus 88,
hubungan polisi dan tentara, serta masalah kematian Siyono.
Di antara
yang bertamu itu adalah Komjen Polisi Dr Tito Karnavian, Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang baru Brigjen Polisi Eddy Hartono, Kepala
Densus 88 Brigjen Pol (Purn) Suya Dharma, mantan kadensus, dan beberapa perwira
menengah polisi lainnya, umumnya dari divisi reserse.
Di antara
jenderal polisi yang paling lama saya kenal adalah Surya Dharma yang telah
menangani masalah terorisme selama bertahun-tahun, termasuk nyaris mengorbankan
nyawanya pada suatu peristiwa di Palembang. Dengan Tito sudah agak lama juga
kenal, tetapi jarang berjumpa.
Adapun
dengan Eddy sebagai kadensus 88, baru sore itu saya berkenalan. Ini SMS Eddy
yang saya terima, “Ass.Wr.Wb..Mhn maaf sebelumnya Prof. Dr. H. Ahmad Syafii
Maarif, apabila berkenan kami ingin bersilaturahmi dengan Prof sore ini di
kediaman Prof, rencana kami bersama Kepala BNPT, Pak Surya Dharma, demikian
Prof terima kasih (Eddy Hartono).”
Rasanya,
saya terlalu dihormati oleh kadensus ini, padahal guru besar itu sudah pada
posisi emeritus (profesor pensiun) yang sudah tidak betah-betah lagi mengajar
karena cabang perhatiannya sudah menjadi liar ke mana-mana, tidak fokus lagi.
Dalam usia yang sudah senja ini, tentu saya bersyukur didatangi oleh
pejabat-pejabat penting. Sebab, dua hari kemudian mereka berkunjung pula ke
rumah Ketua DPD RI Irman Gusman bersama stafnya.
Sebagai
pejabat penting, mereka tentu dikawal mobil polisi yang memang bertugas untuk
itu. Biasanya, masyarakat sekitar sudah paham akan ke mana para tamu itu
bergerak sebab sudah berkali-kali berlaku. Kadang-kadang para tamu meninggalkan
suatu titipan untuk saya, tetapi tidak pernah mengubah sikap saya sebagai
seorang sepuh yang merdeka. Mereka tampaknya sangat mengerti pendirian saya
itu.
Pembicaraan
dibuka oleh Komjen Tito tentang maksud kunjungan, yaitu meminta masukan dan
saran untuk kinerja Polri, khususnya dalam menangani masalah terorisme yang
sudah cukup lama menggelisahkan masyarakat luas. Para jenderal ini tampaknya
sudah kenal sikap saya berhadapan dengan para teroris sebagai penganut teologi
maut: “Berani mati karena tidak berani hidup” sebagaimana telah sering dikutip
oleh Republika sejak 10 tahun yang lalu.
Sekalipun
menganut teologi maut, penangkapan terhadap tersangka teroris tidak boleh
semena-mena, harus melalui prosedur hukum yang benar dan manusiawi. Pendekatan
semacam inilah yang kadang-kadang dipertanyakan publik terhadap kerja Densus
88.
Bahwa
terorisme adalah musuh kemanusiaan, kita harus sepakati, apalagi jika itu
membawa bendera Islam. Bahwa merebaknya terorisme sejak 2001 tidak bisa
dipisahkan dari politik luar negeri Amerika Serikat yang neoimperialistik, juga
tidak bisa dikesampingkan. Saya sudah lebih dari sekali menulis tentang
fenomena ini.
Pada saat
giliran saya bertanya kepada Komjen Tito menyangkut kelompok Santoso di Poso
yang belum berhasil dipatahkan selama 17 tahun, jawaban yang diberikan perlu
dicatat. Tito mengakui bahwa sejak berpisahnya polisi dengan ABRI pada 1998,
kemampuan tempur Brimob untuk “bermain” di pegunungan memang sudah melemah,
sekalipun untuk kawasan perkotaan, mereka masih tangguh. Ungkapan “bermain”
saya kutip dari Tito, karena enak didengar, sekalipun berurusan dengan maut
bagi mereka yang sedang saling berhadapan.
Menurut
Tito, kemampuan tempur para teroris itu jangan dipandang enteng karena mereka
terus belajar bagaimana berhadapan dengan aparat keamanan. “TNI," ujar
Tito, “Sangat terlatih untuk bertempur di kawasan pegunungan, seperti di Papua
dan Poso.”
Itulah
sebabnya mengapa Polri perlu dibantu TNI untuk “menaklukkan” musuh di
pegunungan, sekalipun mereka sesungguhnya adalah saudara kita sendiri yang
merasa benar di jalan yang sesat.
Banyak
catatan lain yang bisa diturunkan sebagai hasil pembicaraan dengan para
jenderal polisi itu, tetapi tentu tidak semua bisa dikatakan di sini. Sore itu
saya kutip kembali penegasan Surya Dharma yang disampaikan kepada saya beberapa
tahun yang lalu.
”Selama
keadilan sosial tidak menjadi kenyataan di Indonesia, terbunuhnya seorang
teroris bisa melahirkan 1.000 teroris lainnya.” Peringatan Surya Dharma patut
benar diperhatikan oleh negara kita secara sungguh-sungguh. Tentu, faktor
eksternal juga turut bermain bagi kambuhnya terorisme di Indonesia. []
REPUBLIKA,
12 April 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar