Selasa, 19 April 2016

(Tokoh of the Day) Guru Tohir Rohili, Bukit Duri, Kampung Melayu - Jakarta Timur



Guru Tohir Rohili Kampung Melayu

Basis NU Jakarta selain di Kuningan-Mampang Prapatan ialah perguruan At-Thahiriyah di Bukit Duri, Kampung Melayu. Keberadaan radio pemancar perguruan ini menjadi corong Ahlussunah wal Jamaah ala Thariqatin Nahdliyah. Di tempat inilah para kiai NU dari Jawa Tengah dan Jawa Timur khususnya berkumpul untuk melakukan konsolidasi.

Siapakah pendiri perguruan At-Thahiriyah ini? Ia tidak lain adalah Guru Tohir Rohili. Guru Tohir lahir pada 1920 M. Guru yang cukup populer di kalangan masyarakat beragama di Jakarta ini, sempat bermukim agak lama di Mekkah. Hampir setiap halaqah ilmu di Masjidil Haram, ia datangi semasa mukim di Mekkah.

Guru-gurunya antara lain Habib Ali bin Husein Al-Atthas (Cikini) atau sering dipanggil Habib Ali Bungur, Guru Marzuqi (Muara), Habib Ali bin Abdurrahman Al-Habsyi (Kwitang), Guru Madjid (Pekojan), Syekh Yasin Al-Fadani (Mekkah), dan banyak guru lainnya.

Pada 21 Januari 1951 (12 Rabiul Awal 1770 H), ia mendirikan lembaga pendidikan Islam dengan nama Madrasa Diniyyah At-Thahiriyah. Dalam perkembangannya madrasah ini telah menjadi Universitas Islam At-Thahiriyah.

Pada tahun 1967 lembaga pendidikan ini membuka radio dengan nama Radio At-Thahiriyah untuk kegiatan dakwah Islam. Sejak 1968, telah dibentuk Yayasan Ad-Diniyah At-Thahiriyah dengan pendiri utamanya Guru H Muhammad Tohir bin H Rohili, Salbiyah Ramli, Hj Suryani Tohir. Lembaga ini memunyai peran sangat besar dalam kegiatan dakwah Islam di Jakarta, (Tim Peneliti, Ulama-Ulama Betawi yang dikutip Fadhli HS).

Pada awalnya, Guru Tohir Rohili yang lama bermukim di Mekkah, mendirikan beberapa kamar untuk menampung beberapa pelajar sekolah. Kamar-kamar penampungan yang kemudian ditingkatkan menjadi asrama putra-putri itu, terletak bersebelahan dengan masjid tempat Guru Tohir menyelenggarakan majelis taklim, (Direktori Pesantren I diterbitkan Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta, 1986).

Guru Tohir bersama menantunya HM Syatiri Ahmad dan putrinya Hj Suryani Tohir berusaha agar para pelajar yang menempati asrama memperoleh pendidikan agama. Maka kemudian diselenggarakan pengajian kitab secara sorogan. Dalam perkembangan selanjutnya Kiai Syatiri mencoba mengembangkan sistem madrasah yang kemudian menjelma menjadi madrasah tsanawiyah, aliyah, dan Universitas At-Thahiriyah. Sesudah itu menyusul madrasah ibtidaiyah.

Majelis taklim yang sudah ada tetap dipertahankan dan dikembangkan hingga menjadi salah satu majelis taklim terkenal di Jakarta. Melalui majelis taklim ini, pengajian kitab terbuka bukan hanya bagi pelajar, tetapi juga untuk umum.

Di bawah kepemimpinan Guru Tohir dan menantunya, perguruan At-Thahiriyah berkembang pesat. Keduanya memadukan model pengajaran tradisional dan klasikal. Artinya, pihak pengelola tetap menjalankan aktivitas pengajian dengan model pesantren. Pada saat yang sama, mereka juga memadukan model klasikal sekolah bagi para santrinya.

Pihak pengelola perguruan ini yang terletak dekat rel kereta Jakarta-Bogor ini, juga melakukan pemberdayaan santrinya di luar jam belajar. Misalnya mereka mengadakan pelatihan keputrian untuk para pelajar putri, lomba memasak, busana muslim, juga MTQ. Grup qasidah pesantren ini pernah mengukir juara dalam MTQ seprovinsi Jakarta. Bahkan sejumlah santri dikirim sebagai delegasi pesantren untuk mengikuti pelatihan sejumlah keterampilan mulai dari manajemen, mengelola perpustakaan, penataran juru dakwah, kependudukan.

Mata pelajaran yang diajarkan kepada santrinya antara lain kitab Matan Zubad, Jauhar Maknun, Fathul Qarib, Tanqihul Qaul, Minhajul Qawim, Nashaihul Ibad, Tafsir Jalalain, Nashaihud Diniyah, Alfiyah, Mukhtarul Ahadits. Materi-materi inilah yang diajarkan Guru Thahir pagi dan petang hari.

Selain sibuk di lapangan dakwah, Guru Tohir juga merambah aktivitas di lapangan lainnya seperti gerakan politik dan juga gerakan sosial. Tidak heran kalau Guru Tohir pernah mengemban amanah sebagai anggota DPR.

Dalam lapangan sosial keagamaan, Guru Tohir melibatkan diri dalam gerakan Nahdlatul Ulama (NU). “Perguruan At-Thahiriyah memang terkenal sebagai pusat gerakan NU. Ketika mengadakan pertemuan di Jakarta, para kiai teras PBNU akan berkumpul di majelis At-Thahiriyah. Syekh Yasin dari Mekkah juga tidak melewatkan Bukit Duri untuk disinggahi. Saya sering mengantar guru saya KH Shalihin Muhasyim untuk pertemuan di At-Thahiriyah,” kata Katib Syuriyah ranting Pondok Pinang 1950-an KH Hasbullah, Kebayoran Lama.

Guru Tohir wafat pada bulan Shafar 1420 H yang bertepatan dengan hari Kamis 27 Mei 1999. Ia dikebumikan di kompleks masjid At-Thahiriyah, Bukit Duri, Kampung Melayu. Kini kompleks masjid At-Thahiriyah tetap ramai oleh para pelajar di hari aktif belajar-mengajar. Di samping itu, kompleks masjid kerap menjadi lokasi pengungsian bagi korban banjir luapan kali Ciliwung yang melintasi kawasan rendah Kampung Melayu. []

*Tulisan ini diambil dari buku 100 Ulama Nusantara dalam Lintas Sejarah Islam Nusantara yang diterbitkan LTM PBNU pada Oktober 2015.

(Alhafiz Kurniawan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar