Profesor Jangkung Pembina Ahli Indonesia
Oleh:
Dahlan Iskan
Pulang
dari nonton F1 di Melbourne, saya mampir ke Perth. Ada urusan bisnis dan
kangen-kangenan.
Kangen bertemu teman lama: orang-orang ahli
tentang Indonesia di sana. Terutama Prof David T. Hill. Saya ingin banyak
mendengar: apa katanya tentang Indonesia saat ini.
Begitu urusan bisnis di Perth selesai, saya
langsung ke Fremantle. Kota kecil di pinggir pantai yang terkenal itu. Terutama
sejak film Windrider (1986) yang dibintangi Nicole Kidman sukses di masa lalu.
Diskusi di Fremantle pun asyik. Lima orang
makan malam bersama. Di resto Italia. Semua minta hanya boleh menggunakan
bahasa Indonesia.
Saya sudah lama kenal Prof Hill. Saat saya ke Perth
30 tahun lalu. Jadi pembicara seminar media di salah satu universitas di sana.
Lalu, beberapa kali lagi bertemu di Surabaya.
Saat dia sering ke Indonesia. Melakukan penelitian bidang media. Saya sering
jadi narasumber penelitiannya.
Terakhir ketemu Prof Hill lima tahun lalu. Di
Darwin, Australia Utara. Saat saya mendampingi Presiden SBY bertemu Perdana
Menteri Australia Julia Gillard (perempuan).
Kini Prof Hill mengaku sudah pensiun. Tidak
mengajar lagi. Hanya membimbing calon-calon doktor. Khususnya calon doktor yang
disertasinya tentang media atau Indonesia.
Misalnya dua perempuan yang ikut makan malam
itu. Yang seorang perempuan campuran: ibu Dayak Sarawak, ayah Australia.
Disertasinya mengenai polisi di Indonesia.
Tentu sebuah disertasi yang bisa membuat malu untuk dibaca. Di samping membuat
bangga.
Yang satu lagi juga perempuan unik: ayah-ibu
Jerman, tinggal lama di Indonesia dan segera kawin dengan orang India dari
Gujarat. Disertasinya hampir selesai. Mengenai Bulog gate yang membuat Presiden
Gus Dur lengser.
Khususnya dari sudut bagaimana media
disalahgunakan menjadi senjata politik dalam kasus tersebut. Itu juga akan
membuat malu. Khususnya bagi orang media.
Prof Hill sebenarnya tidak bisa pensiun. Dia
terus gigih berjuang untuk membuat anak muda Australia tertarik kepada
Indonesia. Sampai hari ini, sudah lebih dari 2.000 mahasiswa yang pernah
belajar di Indonesia. Terutama yang ambil program pendek.
Suatu saat dia menulis surat kepada semua
anggota parlemen Australia. Indonesia punya empat menteri lulusan Australia.
”Tidak satu pun menteri atau anggota parlemen
yang bisa berbahasa Indonesia,” tulisnya.
”Bagaimana Australia bisa memahami Indonesia?”
Berkat suratnya itu, seorang tokoh Partai Buruh
kini belajar bahasa Indonesia. Bahkan, sudah berani mencoba pidato dengan
bahasa barunya tersebut.
Prof Hill berharap Partai Buruh bisa menang di
pemilu yang tiba-tiba nanti. Tokoh itu pasti jadi menteri penting.
Waktu saya di Melbourne, PM Australia dari Partai
Liberal saat ini, Malcolm Turnbull, memang lagi bikin kejutan. Dia putuskan
mempercepat pemilu serentak untuk DPR dan MPR: 2 Juli depan. Sebab, dia marah.
Keinginannya untuk mengubah dua undang-undang
(UU) dihambat parlemen. UU Perburuhan dan UU Infrastruktur. Yang dianggap
kurang mendukung ekonomi negara. Keputusan itu menghebohkan. Sudah 30 tahun
peluang kecil konstitusi itu tidak pernah lagi digunakan.
Prof Hill juga masih terus ke Indonesia.
Perkembangan terbaru apa pun dia tahu. Termasuk perkembangan di bidang sastra.
Kini dia lagi membaca novel yang juga kebetulan
lagi saya baca: Lelaki Harimau. Edisi bahasa Inggris-nya berjudul Man Tiger.
Karya sastrawan muda asal Pangandaran, pantai selatan Jabar: Eka Kurniawan.
Novel Lelaki Harimau dipandang sangat bermutu.
Bahkan untuk kelas dunia. Masuk daftar 100 buku terbaik dunia The New York
Times. Juga baru mendapat penghargaan internasional Global Thinkers of 2015.
Hanya sedikit di bawah Nobel.
Itulah novel pertama karya sastrawan Indonesia
yang memperoleh penghargaan internasional setinggi itu.
Eka juga diakui sebagai sastrawan langka. Sejak
Pramoedya Ananta Toer, belum pernah lahir sastrawan sekelas itu. Baru 70 tahun
kemudian, lahir Eka Kurniawan ini.
Novelnya yang lain, yang berjudul Cantik Itu
Luka, menyusul dapat penghargaan internasional. World Readers Award 2016.
Minggu lalu. Edisi bahasa Inggris-nya berjudul Beauty Is a Wound. Ada juga
terjemahan bahasa Jepang-nya. Dan 23 bahasa lain.
Prof David Hill dengan kumis dan jenggot
berewoknya tetap jangkung dan langsing. Seperti 30 tahun lalu. Hanya sedikit
guratan tuanya. Dia memang kuat berjalan kaki.
Tahun lalu dia berjalan kaki 700 km. Dari
perbatasan Prancis ke Santiago de Compostela. Di ujung barat Spanyol. Menapaki
perjalanan suci kaum Katolik.
Saya bisa memahami perjalanan 35 hari itu. Ada
novel yang menceritakannya dengan magis. Karya novelis terkemuka Brasil yang
tinggal di Paris: Paulo Coelho. Judulnya The Pilgrimage. Saya membaca hampir
semua novel karya Coelho.
Bulan depan Prof Hill di usianya yang 60 tahun
akan berjalan kaki lagi ke Santiago. Kali ini dari arah Lisbon, ibu kota
Portugal. Sejauh 700 km.
Dia mendesak saya untuk ikut perjalanan itu.
Mungkin karena melihat saya masih juga menggunakan sepatu kets. (*)
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar