Calon
Perseorangan dan Parpol
Oleh:
Azyumardi Azra
Sementara
kalangan menyebutnya sebagai "Ahok effect" (dampak Ahok) setelah
petahana Gubernur DKI Jakarta itu memutuskan maju dalam Pemilihan Kepala Daerah
Provinsi DKI 2017 sebagai calon perseorangan. Orang mengaitkan adanya
"dampak Ahok" itu ketika terlihat gejala penguatan calon perseorangan
menjelang Pilkada 2017 di tujuh provinsi dan 94 kota/kabupaten di Indonesia.
Calon
perseorangan yang sering juga disebut "calon independen" merupakan
fenomena menarik. Tampaknya fenomena ini bakal terus mewarnai perjalanan
demokrasi di negeri ini, hari ini dan ke depan.
Isu calon
perseorangan paling ramai diberitakan belakangan ini selain Jakarta, juga
terkait dengan Yogyakarta. Terlihat jelas keinginan kuat masyarakat Yogyakarta
mendorong kemunculan calon-calon perseorangan dengan membentuk Gerakan Jogja Independent.
Hasilnya, 15 orang telah mendaftar sebagai bakal calon dalam Pilkada Kota
Yogyakarta 2017 (Kompas, 2/4).
Sebenarnya,
kemunculan calon perseorangan dalam pilkada bukan gejala baru, karena itu tidak
tepat disebut sebagai "dampak Ahok". Pasangan calon perseorangan
pertama (Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar) tampil dan menang dalam Pilkada
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (2006).
Gejala
fenomenal pasangan perseorangan juga menonjol dalam pilkada serentak 2015. Ada
256 pasangan calon perseorangan yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Setelah melalui penelitian, KPU akhirnya meloloskan 174 pasangan: 1 pasangan
untuk tingkat provinsi, 31 tingkat kota, dan 142 tingkat kabupaten. Ada 82
pasangan tidak lolos memenuhi syarat minimal dukungan (Kompas, 6/7/2015).
Menurut
catatan beberapa lembaga survei, pasangan perseorangan dalam Pilkada 2015
mewakili 35 persen dari semua pasangan. Tingkat keberhasilan mencapai 14,4
persen di 257 wilayah yang menyelenggara- kan pilkada; 31,1 persen menang di
pilkada tingkat kota; 11,0 persen tingkat kabupaten; dan 0 persen di tingkat
provinsi.
Tingkat
kemenangan pasangan seperti itu jelas cukup signifikan. Dalam segi tertentu,
tampilnya calon perseorangan merupakan kabar baik bagi konsolidasi demokrasi.
Calon independen menjadi alternatif lain vis-a-vis calon yang diusung parpol
yang bukan tidak sering mengandung masalah.
Pada segi
lain, calon perseorangan dapat menjadi lampu kuning bagi parpol yang selama ini
sangat hegemonik dalam penentu- an calon yang bertarung dalam pilkada, pileg,
dan pilpres. Para pemilih tidak berdaya; hanya bisa pasrah memilih calon yang
sudah ditetapkan elite pimpinan parpol.
Bukan
rahasia lagi, oligarki parpol memunculkan calon terkait hubungan keluarga dan
kroni dengan elite puncak partai. Juga sudah diketahui umum, perlu biaya besar
sebagai "mahar" bagi mereka yang ingin dicalonkan parpol. Keadaan ini
melanggengkan politik biaya tinggi (high-cost politics) yang mencakup politik
transaksional dengan parpol dan dengan donor yang menyumbang dana untuk sang
calon.
Selain
itu, parpol tampak kian kurang menarik bagi makin banyak aspiran calon. Parpol
sering lebih sibuk dengan urusan faksi, perpecahan internal, dan pergumulan
politik eksternal. Selain itu, figur-figur parpol yang ada di lembaga
legislatif dan eksekutif lebih tertarik pada political deals daripada
memperjuangkan kepentingan rakyat.
Peningkatan
momentum calon perseorangan jelas menantang hegemoni parpol. Kalangan parpol
menyebut gejala ini sebagai deparpolisasi. Terminologi ini berlebihan karena
deparpolisasi tidak mungkin dapat dilakukan, apalagi tidak ada demokrasi tanpa
parpol. Tetapi juga jelas, demokrasi bisa kuat dan terkonsolidasi hanya jika
parpol juga demokratis dan sehat.
Fenomena
calon perseorangan yang menantang hegemoni parpol bukan hanya gejala di
Indonesia, melainkan juga sudah berlangsung lama di negara-negara demokrasi di
Eropa dan Amerika Utara. Di Amerika Serikat, calon perseorangan lazim disebut
sebagai third party candidates atau third party contenders-sebagai alternatif
bagi calon Partai Demokrat atau Partai Republik.
Namun,
seperti terlihat dalam perkembangannya, calon perseorangan sulit meme- nangi
pemilu pada tingkat nasional dan pilkada pada tingkat negara bagian atau
provinsi karena calon perseorangan tidak memiliki "anggota" atau
"jejaring pendukung" yang solid pada tingkat nasional maupun tingkat
provinsi atau negara bagian.
Meski
demikian, seperti diperlihatkan Reiser & Holtmann (eds) dalam Farewell to
the Party Model? Independent Local Lists in East and West European Countries
(2008), calon perseorangan menemukan momentum dan sukses di Eropa pada tingkat
lokal (kota/kabupaten). Mereka tak hanya memenangi pilkada, tetapi juga sukses
lebih efektif menyelenggarakan pemerintahan lokal.
Kunci
keberhasilan mereka terutama karena calon perseorangan umumnya figur terkemuka
di lokalitas masing-masing. Mereka lebih mengenal masyarakat lingkungannya,
aspirasi, dan kebutuhan mereka. Tidak kurang pentingnya, mereka terbebas dari
politik partisan kepartaian yang lebih mementingkan partai daripada yang lain.
Dilihat
dari gejala universal ini, hampir bisa dipastikan calon perseorangan segera
menjadi bagian integral yang mapan dalam proses politik demokrasi Indonesia.
Jika parpol tidak ingin ditinggalkan pemilih, mulai sekarang perlu introspeksi
dan pembenahan internal dan eksternal. []
KOMPAS, 5
April 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Anggota Dewan Penasihat International IDEA Stockholm (2007-2013) dan UNDEF New
York (2006-2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar