Selasa, 12 April 2016

Zuhairi: Polisi Mesti Tegas Menindak Pelaku Intoleransi



Polisi Mesti Tegas Menindak Pelaku Intoleransi
Oleh: Zuhairi Misrawi

Dalam sebulan terakhir, kita dikejutkan dengan aksi intoleransi yang dilakukan ormas keagamaan. Pembubaran diskusi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Pekanbaru, Riau, pembubaran peringatan Siti Fatimah az-Zahra di Bangil, Pasuruan Jawa Timur dan pembubaran festival Lady Fast di Jogjakarta.

Padahal beberapa hari lalu Presiden Jokowi sudah memerintahkan kepada Kapolri, Badrudin Haiti agar menindaktegas para pelaku intoleran. Sikap Presiden Jokowi disambut positif oleh publik karena memberikan harapan baru, bahwa Polri akan istiqamah memberikan perlindungan kepada warga dari ancaman intoleransi dan diskriminasi.

Sikap tegas Presiden Jokowi sebenarnya merupakan bagian dari upaya melunasi janjinya saat kampanye Pilpres, bahwa tantangan dalam berbangsa dan bernegara yaitu maraknya intolerasi. Sebab itu, negara mesti hadir untuk memberikan perlindungan dan menjaga harmoni di antara sesama warga negara apapun agama, suku, dan rasnya.

Namun, sekali lagi, tidak mudah mewujudkan toleransi di negeri ini, karena Polri tidak benar-benar melaksanakan perintah Presiden Jokowi. Faktanya, Polri terkesan masih tunduk pada tekanan kelompok intoleran.

Alih-alih memberikan perlindungan terhadap warga dengan menindak pelaku intoleransi, Polri justru terlihat lebih berpihak kepada pelaku intoleransi.

Biasanya, Polri mengambil jalan pintas: memenuhi permintaan kelompok intoleran dengan membubarkan kegiatan diskusi, festival, dan perayaan yang semestinya harus dilindungi sebagai bagian dari penegakan hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang Dasar Tahun 1945.

Konsekuensi dari hilangnya sikap tegas Polri, publik menilai pemerintahan Presiden Jokowi tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, karena melakukan pembiaran, bahkan melindungi pelaku intoleransi.

Di sini, publik mulai khawatir perihal masa depan toleransi di negeri ini. Kenapa pihak kepolisian terkesan melindungi dan memberi angin segar bagi tumbuhnya kelompok-kelompok intoleransi?

Lembaga saya, Moderate Muslim Society (MMS) melakukan monitoring terhadap maraknya intoleransi dan terkikisnya toleransi di negeri ini sejak tahun 2008 hingga 2016.

Masalah terbesar intoleransi, yaitu pembiaran negara terhadap pelaku intoleransi. Bahkan, cilakanya dalam beberapa kasus, pemerintah dan aparat keamanan justru terlibat dalam aksi intoleransi bersama-sama dengan kelompok intoleran.

Di samping itu, ormas keagamaan dan Majelis Ulama Indonesia dianggap menjadi pemicu intoleransi dengan fatwa-fatwanya yang cenderung diskriminatif terhadap kelompok minoritas. Adapun kelompok yang paling banyak menjadi korban, yaitu Ahmadiyah, Syiah, dan Kristen.

Yang mutakhir, rencana Majelis Ulama Indonesia untuk mengeluarkan panduan fatwa sesat terhadap Syiah makin menciptakan kecemasan di antara warga penganut Syiah di negeri ini. Jika ini tidak diantisipasi dengan baik, maka konflik Sunni-Syiah yang mencabik-cabik Timur-Tengah akan merembes serius ke negeri ini.

Selain itu, belakangan muncul trend baru, yaitu kelompok yang diduga sebagai manifestasi komunisme menjadi sasaran pelaku intoleransi. Pembubaran festival Belok Kiri di Taman Ismail Marzuki, pembatalan pemutaran film Pulau Buru di Goethe Institute, dan pembubaran pentas monolog Tan Malaka di Bandung. Yang terakhir bisa digelar karena adanya jaminan dari Walikota Bandung, Ridwan Kamil.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam rilisnya menegaskan, bahwa intoleransi berbasis agama makin marak. Masalah ini mestinya menjadi kewenangan pemerintah pusat, tapi nyatanya belum ada langkah yang signifikan.

Ironisnya, pemerintah daerah cenderung mengambilalih kewenangan pemerintah pusat, bahkan cenderung memihak kelompok intoleran. Kasus diskriminasi terhadap Ahmadiyah di Kabupaten Bangka menjadi contoh yang nyata.

Fakta tersebut semakin menguatkan tesis, bahwa negeri ini sedang menghadapi darurat intoleransi. Pembiaran pihak kepolisian terhadap aksi-aksi intoleransi semakin menegaskan kekhawatiran publik.
Pertanyaannya: apa sebenarnya yang terjadi pada aparat kepolisian kita? Kenapa mereka terkesan lemah di hadapan kelompok intoleran? Kenapa mereka tidak cukup berani untuk melaksanakan perintah Presiden Jokowi untuk menindak kelompok intoleran?

Di sini, publik harus mendesak pihak kepolisian agar melaksanakan fungsi dan tugas pokoknya untuk menjaga harmoni, toleransi, dan hidup damai di negeri ini.

Pihak kepolisian tidak boleh lagi “toleran”, apalagi “bermain-mata” dengan kelompok intoleran. Harga yang harus dibayar bagi republik ini sangat mahal jika polisi mengikuti kehendak kelompok intoleran, yaitu maraknya intoleransi. Kelompok-kelompok intoleran akan merasa mendapat dukungan dari aparat kepolisian.

Bahkan tidak menutup kemungkinan, kelompok-kelompok intoleran akan mengambilalih fungsi dan tugas pokok aparat kepolisian dengan dalih menegakkan hukum agama dan mewujudkan ketertiban umum.

Maka dari itu, nasib toleransi di negeri ini sangat ditentukan sejauhmana aparat kepolisian secara konsisten mampu mengambil langkah-langkah tegas untuk menindak pelaku intoleran.

Aparat kepolisian sejatinya menjamin kebhinnekaan yang sudah menyejarah dan maujud di negeri ini. Tidak boleh ada diskriminasi dan opresi terhadap kelompok minoritas. Setiap warga mempunyai hak dan kewajiban yang sama, yang dilindungi oleh konstitusi.

Menurut saya, implementasi Nawacita Presiden Jokowi saat ini sangat ditentukan sejauh mana pihak kepolisian mampu memberikan rasa aman, melindungi setiap warga negara, serta menjamin kedamaian di tengah-tengah masyarakat. Kuncinya, aparat kepolisian harus mempunyai keberanian untuk menindak pelaku intoleransi.

Kita tidak boleh lelah mengingatkan Presiden Jokowi agar terus memantau kinerja pihak kepolisian. Negeri ini tidak boleh dipecahbelah karena adanya kelompok-kelompok intoleran.

Saya secara pribadi dan saya kira banyak pihak lain mempunyai optimisme yang tinggi bahwa kita bisa membangun hidup damai, toleran, dan harmonis sejauh aparat kepolisian mempunyai keberanian untuk menindak pelaku intoleran. Hukum mereka seberat-beratnya, sehingga mempunyai efek jera.

Sebaliknya, jika tindakan pelaku intoleran dibiarkan, maka jangan harap negeri ini akan menjadi taman surgawi bagi kebhinnekaan. Ayo Polri laksanakan tugas yang mulia untuk tegaknya Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. []

KOMPAS, 6 April 2016
Zuhairi Misrawi | Intelektual Muda Nahdlatul Ulama dan Ketua Moderate Muslim Society. Pernah mondok selama 6 tahun di Pondok Pesantren al-Amien, Prenduan. Menyelesaikan kuliah di Jurusan Akidah-Filsafat Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Menerbitkan sejumlah buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar