Polisi
Mesti Tegas Menindak Pelaku Intoleransi
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Dalam
sebulan terakhir, kita dikejutkan dengan aksi intoleransi yang dilakukan ormas
keagamaan. Pembubaran diskusi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Pekanbaru,
Riau, pembubaran peringatan Siti Fatimah az-Zahra di Bangil, Pasuruan Jawa
Timur dan pembubaran festival Lady Fast di Jogjakarta.
Padahal
beberapa hari lalu Presiden Jokowi sudah memerintahkan kepada Kapolri, Badrudin
Haiti agar menindaktegas para pelaku intoleran. Sikap Presiden Jokowi disambut
positif oleh publik karena memberikan harapan baru, bahwa Polri akan istiqamah
memberikan perlindungan kepada warga dari ancaman intoleransi dan diskriminasi.
Sikap
tegas Presiden Jokowi sebenarnya merupakan bagian dari upaya melunasi janjinya
saat kampanye Pilpres, bahwa tantangan dalam berbangsa dan bernegara yaitu
maraknya intolerasi. Sebab itu, negara mesti hadir untuk memberikan
perlindungan dan menjaga harmoni di antara sesama warga negara apapun agama,
suku, dan rasnya.
Namun,
sekali lagi, tidak mudah mewujudkan toleransi di negeri ini, karena Polri tidak
benar-benar melaksanakan perintah Presiden Jokowi. Faktanya, Polri terkesan
masih tunduk pada tekanan kelompok intoleran.
Alih-alih
memberikan perlindungan terhadap warga dengan menindak pelaku intoleransi,
Polri justru terlihat lebih berpihak kepada pelaku intoleransi.
Biasanya,
Polri mengambil jalan pintas: memenuhi permintaan kelompok intoleran dengan
membubarkan kegiatan diskusi, festival, dan perayaan yang semestinya harus
dilindungi sebagai bagian dari penegakan hak asasi manusia dan kebebasan
berekspresi sebagaimana diamanatkan oleh Undang Undang Dasar Tahun 1945.
Konsekuensi
dari hilangnya sikap tegas Polri, publik menilai pemerintahan Presiden Jokowi
tidak berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, karena melakukan pembiaran,
bahkan melindungi pelaku intoleransi.
Di sini,
publik mulai khawatir perihal masa depan toleransi di negeri ini. Kenapa pihak
kepolisian terkesan melindungi dan memberi angin segar bagi tumbuhnya
kelompok-kelompok intoleransi?
Lembaga
saya, Moderate Muslim Society (MMS) melakukan monitoring terhadap maraknya
intoleransi dan terkikisnya toleransi di negeri ini sejak tahun 2008 hingga
2016.
Masalah
terbesar intoleransi, yaitu pembiaran negara terhadap pelaku intoleransi.
Bahkan, cilakanya dalam beberapa kasus, pemerintah dan aparat keamanan justru
terlibat dalam aksi intoleransi bersama-sama dengan kelompok intoleran.
Di
samping itu, ormas keagamaan dan Majelis Ulama Indonesia dianggap menjadi
pemicu intoleransi dengan fatwa-fatwanya yang cenderung diskriminatif terhadap
kelompok minoritas. Adapun kelompok yang paling banyak menjadi korban, yaitu
Ahmadiyah, Syiah, dan Kristen.
Yang
mutakhir, rencana Majelis Ulama Indonesia untuk mengeluarkan panduan fatwa
sesat terhadap Syiah makin menciptakan kecemasan di antara warga penganut Syiah
di negeri ini. Jika ini tidak diantisipasi dengan baik, maka konflik
Sunni-Syiah yang mencabik-cabik Timur-Tengah akan merembes serius ke negeri
ini.
Selain
itu, belakangan muncul trend baru, yaitu kelompok yang diduga sebagai manifestasi
komunisme menjadi sasaran pelaku intoleransi. Pembubaran festival Belok Kiri di
Taman Ismail Marzuki, pembatalan pemutaran film Pulau Buru di Goethe Institute,
dan pembubaran pentas monolog Tan Malaka di Bandung. Yang terakhir bisa digelar
karena adanya jaminan dari Walikota Bandung, Ridwan Kamil.
Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia dalam rilisnya menegaskan, bahwa intoleransi
berbasis agama makin marak. Masalah ini mestinya menjadi kewenangan pemerintah
pusat, tapi nyatanya belum ada langkah yang signifikan.
Ironisnya,
pemerintah daerah cenderung mengambilalih kewenangan pemerintah pusat, bahkan
cenderung memihak kelompok intoleran. Kasus diskriminasi terhadap Ahmadiyah di
Kabupaten Bangka menjadi contoh yang nyata.
Fakta
tersebut semakin menguatkan tesis, bahwa negeri ini sedang menghadapi darurat
intoleransi. Pembiaran pihak kepolisian terhadap aksi-aksi intoleransi semakin
menegaskan kekhawatiran publik.
Pertanyaannya:
apa sebenarnya yang terjadi pada aparat kepolisian kita? Kenapa mereka terkesan
lemah di hadapan kelompok intoleran? Kenapa mereka tidak cukup berani untuk
melaksanakan perintah Presiden Jokowi untuk menindak kelompok intoleran?
Di sini,
publik harus mendesak pihak kepolisian agar melaksanakan fungsi dan tugas
pokoknya untuk menjaga harmoni, toleransi, dan hidup damai di negeri ini.
Pihak
kepolisian tidak boleh lagi “toleran”, apalagi “bermain-mata” dengan kelompok
intoleran. Harga yang harus dibayar bagi republik ini sangat mahal jika polisi
mengikuti kehendak kelompok intoleran, yaitu maraknya intoleransi.
Kelompok-kelompok intoleran akan merasa mendapat dukungan dari aparat
kepolisian.
Bahkan
tidak menutup kemungkinan, kelompok-kelompok intoleran akan mengambilalih
fungsi dan tugas pokok aparat kepolisian dengan dalih menegakkan hukum agama
dan mewujudkan ketertiban umum.
Maka dari
itu, nasib toleransi di negeri ini sangat ditentukan sejauhmana aparat
kepolisian secara konsisten mampu mengambil langkah-langkah tegas untuk
menindak pelaku intoleran.
Aparat
kepolisian sejatinya menjamin kebhinnekaan yang sudah menyejarah dan maujud di
negeri ini. Tidak boleh ada diskriminasi dan opresi terhadap kelompok
minoritas. Setiap warga mempunyai hak dan kewajiban yang sama, yang dilindungi
oleh konstitusi.
Menurut
saya, implementasi Nawacita Presiden Jokowi saat ini sangat ditentukan sejauh
mana pihak kepolisian mampu memberikan rasa aman, melindungi setiap warga
negara, serta menjamin kedamaian di tengah-tengah masyarakat. Kuncinya, aparat
kepolisian harus mempunyai keberanian untuk menindak pelaku intoleransi.
Kita
tidak boleh lelah mengingatkan Presiden Jokowi agar terus memantau kinerja
pihak kepolisian. Negeri ini tidak boleh dipecahbelah karena adanya
kelompok-kelompok intoleran.
Saya
secara pribadi dan saya kira banyak pihak lain mempunyai optimisme yang tinggi
bahwa kita bisa membangun hidup damai, toleran, dan harmonis sejauh aparat
kepolisian mempunyai keberanian untuk menindak pelaku intoleran. Hukum mereka
seberat-beratnya, sehingga mempunyai efek jera.
Sebaliknya,
jika tindakan pelaku intoleran dibiarkan, maka jangan harap negeri ini akan
menjadi taman surgawi bagi kebhinnekaan. Ayo Polri laksanakan tugas yang mulia
untuk tegaknya Pancasila, Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika. []
KOMPAS, 6
April 2016
Zuhairi Misrawi | Intelektual Muda Nahdlatul Ulama dan Ketua
Moderate Muslim Society. Pernah mondok selama 6 tahun di Pondok Pesantren
al-Amien, Prenduan. Menyelesaikan kuliah di Jurusan Akidah-Filsafat Fakultas
Ushuluddin Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Menerbitkan sejumlah buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar