Mereformasi Lembaga Peradilan
Oleh: Azyumardi Azra
”Today, the Indonesian legal system cannot be trusted—indeed,
cannot be used to render honest decision—but may be trusted to protect corrupt
activities. By all accounts, the Indonesian legal system…is wretched”
(Gary Goodpaster, dalam Tim Lindsey (ed), Law Reform in Developing
and Transitional States, 2007).
Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terhadap panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Edy Nasution,
pekan lalu (20/4), tampaknya hanyalah puncak ”gunung es” dari korupsi yang
melibatkan para pejabat di lingkungan lembaga peradilan Indonesia. Dalam bahasa
Hakim Agung T Gayus Lumbuun, kasus ini hanyalah ”riak- riak kecil dari ombak
yang jauh lebih besar”.
Di bawah puncak gunung salju atau ”riak kecil” itu adalah
Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi yang dicegah ke luar negeri oleh
Direktorat Jenderal Imigrasi selama enam bulan atas permintaan KPK. Masih harus
ditunggu, gunung salju atau ombak besar seperti apa yang ada di lingkungan MA
selain Nurhadi.
Jika dilihat jumlah uang yang disita KPK sejauh ini dari Edy
Nasution, jelas ”relatif” sedikit—”hanya” Rp 50 juta. Namun, jumlah jauh lebih
besar lagi segera terlihat. KPK dalam penggeledahan di kantor Nurhadi menyita
tiga tas penuh uang dollar Amerika Serikat pecahan 100. Sepatutnya pula KPK
mengusut rumah mewah dan banyak mobil super mahal milik Nurhadi guna mencari
bukti keterkaitan dengan kasus korupsi.
Kasus ini mengindikasikan kelatenan praktik sogok-menyogok di
antara pihak berperkara dengan oknum-oknum lembaga peradilan sejak dari PN
paling rendah sampai ke MA, peradilan tingkat tertinggi. Yang terlibat boleh
jadi mereka yang menangani masalah administratif peradilan, seperti panitera
atau sekretaris; dan/atau mereka yang menyidang dan memutus perkara alias
hakim.
Orang bisa berdalih, tindakan koruptif se- perti itu dilakukan
oknum lembaga peradilan (judiciary). Namun, bagaimanapun, tindakan mereka telah
mencemarkan nama peradilan secara keseluruhan dan sekaligus meruntuhkan
kredibilitas peradilan dan keadilan.
Berbagai bentuk praktik korupsi yang melibatkan tenaga
administratif peradilan dan hakim (dan juga jaksa) jelas bukan hal baru.
Kenyataan itu menunjukkan, korupsi sudah endemik di lingkungan lembaga
peradilan. Sifat endemik ini sekaligus memperlihatkan korupsi berlangsung
secara sistemik sehingga amat sukar terungkap, apalagi diberantas.
Meski ada penangkapan dan pengenaan hukum terhadap para pelakunya
di lingkungan peradilan, tetap jelas tak membuat (calon-calon) koruptor
berikutnya berpikir dua kali sebelum melakukan korupsi.
Karena itu, berbagai literatur di tingkat nasional dan
internasional terus berbicara tentang mafia peradilan yang berlangsung sejak
lama. Dapat terlihat, misalnya, dalam Rule of Law Index 2015 yang dikeluarkan
World Justice Project, Washington DC. Menurut laporan itu, penegakan hukum
Indonesia di peringkat rendah, yaitu 52 dari 102 negara dunia. Indonesia juga
termasuk berada di antara peringkat terbawah di antara 15 negara Asia-Pasifik,
yaitu di peringkat ke-10.
Rendahnya skor Indonesia dalam indeks penegakan hukum terutama
karena peradil- an sipil (civil justice) masih terus dihinggapi merajalelanya
korupsi. Hal ini terkait banyak dengan rendahnya integritas dan etika di
lingkungan peradilan. Indonesia berada di peringkat ke-74 dari 102 negara.
Rendahnya posisi Indonesia dalam indeks tersebut juga karena sulitnya warga
mendapat akses civil justice melalui peradilan. Indonesia berada di peringkat
ke-84 dari 102 negara.
Pada saat sama, indeks itu juga mencatat rendahnya kepercayaan
publik kepada lembaga peradilan dan keadilan. Karena itu, warga enggan
melaporkan, misalnya, ketika mereka harus berhadapan dengan praktik
sogok-menyogok dan perilaku tidak etis lain saat berurusan di lingkungan
peradilan.
Hasilnya, seperti disimpulkan Profesor Gary Goodpaster, Guru Besar
Emeritus Universitas California, Davis, dalam buku suntingan Profesor Tim
Lindsey, Guru Besar Universitas Melbourne, ahli hukum Indonesia: ”Sistem hukum
Indonesia tidak bisa dipercaya—sungguh, tidak bisa digunakan untuk dapat
memberikan keputusan jujur—tetapi boleh jadi bisa dipercaya untuk melindungi
kegiatan-kegiatan korup”.
Lebih jauh, meski sudah menjadi rahasia umum praktik koruptif
merajalela di lingkungan peradilan, sifat korupsi yudisial (judicial
corruption) dan dampaknya terhadap kehidupan publik secara keseluruhan tidak
banyak dipahami. Hal ini karena lembaga yudisial sangat tertutup, terbentengi
berbagai rambu dan resistensi internal.
Karena itu, walau KPK telah melakukan OTT beberapa kali terhadap
fungsionaris di lingkungan yudikatif, lembaga yudisial tetap relatif jarang
tersentuh KPK. Selama ini, OTT KPK dalam jumlah besar terutama terkait pe-
jabat publik di legislatif (DPR dalam ketiga tingkatnya) dan eksekutif (sejak
dari tingkat nasional sampai provinsi, kota/kabupaten).
Sangat tepat jika KPK juga kian meningkatkan pemberantasan korupsi
di lingkungan peradilan. Selama praktik korupsi merajalela di lingkungan
yudikatif, selama itu pula hukum dan keadilan yang didambakan warga tidak
pernah dapat ditegakkan.
Untuk itu, sudah waktunya pimpinan MA mendukung lebih
sungguh-sungguh upaya penciptaan lembaga peradilan bersih dan akuntabel.
Imbauan yang telah berulang kali dari berbagai pihak tentang urgensi reformasi
lembaga peradilan, kini waktunya dilaksanakan dengan keterbukaan dan
keseriusan. []
KOMPAS, 26 April 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota
Dewan Penasihat International IDEA Stockholm (2007-2013) dan UNDEF New York
(2006-2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar