Korupsi Milik Kita
Semua
Oleh:
Emha Ainun Nadjib
Jiwa
dan Peradaban Korupsi
Sangat tidak mudah mengambil keputusan apakah
korupsi adalah milik para koruptor ataukah milik kita bersama. Juga tidak
gampang mengukur kadarnya sebagai “penyakit sistem” (struktural), sebagai
“penyakit manusia” atau “penyakit budaya” suatu masyarakat yang berada dalam
sistem yang sama. Ia sangat cair, seakan-akan merupakan serbuk yang rata
menabur, atau bagaikan asap halus yang tak kasat mata, sehingga tidak bisa
serta merta bisa disimpulkan bahwa perilaku korupsi adalah semacam anomali atau
penyakit khusus yang berlaku pada sejumlah orang, ataukah ia memiliki
“infrastruktur” budaya yang memang mendarah daging secara lebih menyeluruh pada
kehidupan masyarakat kita.
Darah daging itu bisa jadi tak hanya berskala
budaya atau kebudayaan, bisa jadi ia sudah merupakan peradaban. Terutama
apabila disepakati bahwa korupsi materiil hanyalah salah satu output “kecil”
dari dasar-dasar jiwa korupsi yang juga bisa menemukan manifestasinya pada
perilaku lain, pada pola berpikir, cara pandang, cara memahami, cara merasakan,
bahkan cara memahami dan melaksanakan iman. Tak pernah berhenti kita bertanya:
di kedalaman jiwa manusia, apakah korupsi itu peristiwa mental, peristiwa ilmu,
peristiwa akhlak, peristiwa iman, atau apa?
Kalau sudah sampai ke kompleksitas itu, kita
yang di panggung berteriak “Wahai Kaum Koruptor….” tidak otomatis kita
sendiri bukan koruptor. Atau kekhusyukan seseorang dalam beribadah, status
mulia seseorang dalam kegiatan keagamaan, citra bersih seseorang dalam imaji
publik–-tidak serta merta mengandung arti bahwa yang bersangkutan berada di
luar lingkaran, jaringan dan sistem korup. Bahkan kita yang bertugas
memberantas korupsi, perlu mengaktifkan terus menerus kewaspadaan diri untuk
menjamin bahwa dalam berbagai konteks dan nuansa itu langkah-langkah kita
benar-benar bebas dari potensialitas korupsi. Apalagi sejumlah pagar eksternal
atau internal yang tak selalu bisa kita atasi membuat langkah-langkah kita
tampak di mata orang lain sebagai “tebang pilih”.
Teknologi Eksternal dan Teknologi Internal
Saya ingin menyebut sebuah term : “Teknologi
Internal”. Ada jenis manusia atau masyarakat yang kecenderungannya adalah
“mengelolah dunia luar” dan itu kita sebut “Teknologi Eksternal”. Ada jenis
manusia atau masyarakat lain yang lebih sibuk “mengolah dunia dalam” dirinya
sendiri: mentalnya, managemen hatinya, rekayasa berpikir subyektifnya. Itu
“teknologi internal”.
Ada hipotesis yang mengindikasikan bahwa
“teknologi internal” adalah semacam tipologi, unikum atau karakteristik
kemanusiaan atau budaya masyarakat di wilayah sepanjang Nusantara. Pelan-pelan,
berikut ini, mudah-mudahan saya punya kemampuan untuk menjelaskan apa yang
sebenarnya dimaksud dengan “teknologi internal”.
Perkembangan peradaban global abad 20-21 adalah
puncak eksplorasi “Teknologi Eksternal”: meneliti, menganalisis, menyimpulkan,
mengaplikasikan ke wilayah eksternal segala hal yang membuat kehidupan manusia
lebih “maju” dan “mudah”. Muncullah gedung-gedung, pabrik-pabrik, alat-alat di
bidang apa saja di wilayah kehidupan yang manapun saja. Tidak hanya
transportasi yang ajaib dan dunia maya yang ‘wingit’, tapi bahkan kekhusyukan
shalatpun mengandalkan rekayasa teknologi eksternal. Seluruh pemandangan
metropolitan Jakarta Raya ini sangat menggambarkan produk “teknologi
eksternal”.
Sementara “Teknologi Internal” adalah suatu
inisiatif mental, didukung oleh aktivitas emosi dan sedikit intelektual, di
mana untuk maju dan mudah, manusia mengandalkan pengaturan, pengolahan,
eksplorasi atau manipulasi mental di dalam dirinya. Untuk makan enak tidak
tergantung jenis dan mahalnya makanan, melainkan bergantung pada cara kita
menganggap dan memperlakukan makanan apa saja yang ada. Demikian juga berbagai
soal lain di luar makanan. Di dalam budaya Jawa ada kata “mupus”: menganggap
tak ada sesuatu yang bikin pusing tapi tak pernah bisa diselesaikan. Penderitaan
berkepanjangan oleh kemiskinan struktural oleh rakyat cukup dijawab dengan “Gusti
Allah mboten sare”. Tuhan tidak tidur.
Puluhan juta keluarga bisa hidup tanpa
rasionalitas ekonomi, gaji tak cukup untuk makan keluarga tapi kredit motor,
tak ada kerjaan tapi merokok sambil main catur, kalau ditanya bagaimana makan
minum keluargamu, mereka menjawab: “Bismillah, Cak”. Ahli Statistik di
belahan bumi sebelah manapun tidak pernah mencatat dan makanan utama Bangsa
Indonesia adalah bismillah. Dan sesungguhnya apa yang terkandung di balik
“bismillah” itu adalah kelonggaran-kelonggaran sistem budaya korupsi di
berbagai celah kehidupan yang memungkinkan mereka tetap bisa survive.
Rakyat Indonesia berteriak beberapa hari oleh
kenaikan BBM, penjualan asset-asset Negara dan jenis-jenis kebobrokan lain yang
dilakukan oleh Pemerintah, kemudian mereka berduka satu dua bulan, akhirnya
“mupus”, memproklamasikan “Tuhan tidak tidur”, dan kembali “ubet” lagi,
“iguh” lagi: menjalani penghidupan sekeluarganya dengan amat sangat
mandiri, tanpa ketergantungan yang signifikan dan tidak perduli-perduli amat
kepada parpol apa yang memerintah, Presidennya Bima, Arjuna, Gareng, Bagong,
Limbuk atau Buto Kempung dan Bethoro Kolo….
Sesekali berkhayal: Presiden kita besok harus
Puntadewa alias Yudhistira yang berdarah putih, tak punya ambisi, berani
kehilangan apapun demi cinta kepada rakyat dan kebenaran sejati. Tetapi kalau
di saat fajar ada serangan Rp.20 ribu, ya tak apa bermurah hati mencoblos calon
yang menyebar uang itu. Adakah bangsa lain di muka bumi yang tangguh dan
cuek-nya melebihi “Bangsa Nusantara”?
Pupusnya Denotasi, Maraknya Konotasi
Salah satu keluaran dari kebiasaan teknologi
internal adalah pupusnya denotasi. Manusia dan masyarakat Indonesia hidup dalam
konotasi-konotasi: sesuatu tidak dimaksudkan sebagai sesuatu itu sendiri
sebagaimana ia adanya. Setiap kata, setiap perbuatan, setiap langkah dan
keputusan, setiap jabatan dan fungsi, selalu tidak berkenyataan sebagaimana
substansinya, melainkan ada tendensi, pamrih, maksud tersembunyi, “udang
dibalik batu” atau apapun namanya — di belakangnya.
Kalau ia berlaku pada denotasi penderitaan
dikonotokasikan sebagai “tabungan akhirat”, pada “tempe” dianggap “daging”,
pada “kegagalan” disebut “sukses yang tertunda”, “kelemahan” disebut
“kesabaran”, “kebodohan” dibilang “kerendahan hati”, “kemiskinan” dikonotasikan
sebagai “suratan takdir” – maka masih bisa menguntungkan survivalisme para
penderitanya. Mereka bertahan hidup berkat kepandaian menciptakan konotasi-konotasi,
Pemerintah selalu beruntung karena tingkat kemiskinan dan penderitaan sedahsyat
apapun tak mungkin melahirkan pemberontakan total atau revolusi.
Tetapi kalau yang berlaku adalah denotasi
“mencuri uang Negara” dikonotasikan sebagai “jasa bagi keluarga”, “korupsi”
menjadi “kelapangan peluang untuk kedermawanan sosial”, denotasi merampok dan
melacur itu boleh asalkan konotasinya adalah “jihad Agama”, malak pabrik
narkoba itu halal asal konotasinya ada prosentase untuk “pembangunan Masjid”,
denotasi “uang narkoba” batal demi kototasi “pembelaan Islam” – maka kebenaran,
Agama, dan denotasi apapun tak akan mengalami kehancuran – karena satu-satunya
yang bisa hancur hanya kehidupan manusia.
Sindroma Garuda-Emprit
Agar supaya kita tidak terlalu “bersedih” atas
“kepastian” untuk semakin hancur, perkenankan saya pergi jauh ke belakang
sejarah bangsa Indonesia kita.
Untuk itu “iseng-iseng” kita mempertanyakan
siapa itu “Bangsa Indonesia”. Dengan asumsi sederhana bahwa kalau orang tak
mengenal dirinya, maka ia tak tahu tempatnya, kalau tak tahu tempatnya juga
pasti tak mengerti ke mana akan melangkahkan kakinya. Kita berendah hati saja
untuk sedikit mengakui bahwa segala keributan dan kebobrokan yang kita alami
10-20 tahun terakhir ini siapa tahu sekedar kasus orang yang memang tak kenal
siapa dirinya. Orang yang dirinya saja ia malas mengenalnya, maka agak mustahil
ia punya energi untuk mendiagnosis apa penyakit yang sedang dideritanya. Dan
kalau tak ada diagnonsis yang tepat, mustahil pula ia akan bisa menyembuhkan
diri dari penyakitnya.
Mungkin kita ‘terpaksa’ harus melewati sejumlah
relativitas pemahaman atas beberapa hal. Misalnya, sebelum “ada” Bangsa
Indonesia, ada “Masyarakat Nusantara”, yang harus diperdebatkan terlebih
dulu apakah ia “Rumpun Melayu”, “Masyarakat Jawi”, “Bangsa-bangsa Timur” dst.
Juga sebutan “Jawa” atau “Melayu” berbeda
pengertian dan skala faktualnya bergantung satuan waktu yang dipakai: setelah
ada NKRI berbeda dengan 5 abad silam, juga berbeda dengan kurun “Ajisaka” 20-an
abad silam. Kita harus menunggu puluhan atau ratusan tahun riset
antropologis-historis, bahkan penelitian arkeologi dan sejumlah disiplin lain
yang lebih mendasar dan akar.
Kita mulai “iseng-iseng” ini dari sejumlah
pertanyaan (yang boleh jadi mengandung substansi-substansi yang tidak atau
belum “benar”, tapi belum juga bisa dibilang “salah”) misalnya:
Seberapa berbeda “Bangsa Indonesia” dengan
“Bangsa Nusantara”? Kita sebut saja keduanya sebagai “kita”. Pertanyaannya:
“kita” ini lahir pada 1945, ataukah “kita” yang melahirkan 1945? Kalau “kita”
yang melahirkan NKRI dengan penduduknya yang kita sebut Bangsa Indonesia, maka
tentunya “kita”lah juga yang melahirkan Ray Pikatan, Sanjaya, Mataram Kuno,
Kutai, Majapahit, Ken Arok Raden Wijaya dan Gadjahmada, Borobudur dan paradigma
Candi Seribu. Kitalah fosil manusia tertua dalam sejarah ummat manusia di dunia
di Sragen dan Mojokerto. Kitalah induk manusia (mungkin 6 generasi sesudah
Adam) yang merintis peradaban, sebelum dihancurkan oleh era demi era sejarah
primordialisme: sejak pewarisan kembali dendam Qabil-Habil, berpuluh-puluh abad
hingga primordialisme Quraisy-Baduwi, sampai hari ini ada Suku Ahmadiyah, suku
Gus Dur dan suku Muhaimin.
Dari semua kata itu yang mana denotasi yang
mana konotasi?
Yang menguasai keuangan internasional, sistem
global dan mekanisme pasar (Neo-Liberalisme, IMF, Kongres AS, Neomultinational
dst) dewasa ini sepertinya hanya sejumlah prosentase sangat kecil (1%?) dari
jumlah penduduk dunia – yang seluruhnya adalah keturunan Nabi Ismail dan Nabi
Ishaq (kaum konglomerat Arab dan strateg/stakeholders Yahudi) dengan induk Nabi
Ibrahim. Sampai-sampai Kaum Muslimin harus mengulang tafsir kenapa dalam bacaan
Tahiyat Shalat mereka salam kedamaian tak cukup disampaikan kepada Rasul
Muhammad Saw tapi juga shalawat dan berkah kepada Rasul Ibrahim As dan
keluarganya.
Kalau omong IMF, mudah menerimanya sebagai
denotasi, tapi kalau Ibrahim: asosiasi kita biasanya konotatif.
Adapun “Masyarakat Nusantara” ini keturunan
siapa? Bisakah dibilang keturunan Ibrahim atau bukan keturunan Ibrahim?
Apakah atau siapakah induk “gen” bangsa kita ini lebih muda dari Ibrahim
ataukah lebih tua? Misalnya Nabi Nuh As, itu orang Yahudi atau Arab, atau
Melayu Jawa?Apakah tersedia enerji mental dan intelektual kita untuk mewaspadai
denotasi dan konotasi dari pertanyaan itu?
Bangsa Cina dan Bangsa India itu berada pada
garis Ishaq atau Ismail atau di luar itu? Masa depan kita di abad 21 ini
mencadangkan Cina dan India sebagai “musuh yang pasti” dipandang dari mata dan
kepentingan keturunan Ismail-Ishaq — maka pasti harus ada pola strategi jangka
pendek menengah dan panjang terhadap “Bangsa Nusantara”: NKRI harus dipastikan
bisa dikuasai, ditunggangi, dikendalikan, diatur, dengan terlebih dahulu
memastikan bahwa NKRI harus rapuh, terpecah belah dan benci bermusuhan satu
sama lain, seperti yang terjadi hari ini. Dengan demikian NKRI akan dipande
menjadi Keris Nusantara untuk melawan Cina-India ketika saatnya nanti
diperlukan.
Ini semua pertanyaan denotatif atau konotatif?
Kalau umpamanya ternyata “Bangsa Nusantara” ini
induknya lebih tua dari Ibrahim, maka mungkin perlu dipertanyakan bahwa segala
perangkat kemajuan sejarah yang kita pakai sekarang ini “kulakan” pada klan
Ismail-Ishaq, dan itu pasti akan menjadi jebakan-jebakan kultural, psikososial
dan politis, yang membuat NKRI makin hari makin bunuh diri. Keadaan bangsa
Indonesia saat ini demi Allah tidak memerlukan Neoliberalisme, AS, Iblis dan
siapapun dari luar sana untuk hancur: bangsa Indonesia sudah berada pada “peak
position” untuk secara amat canggih sanggup menghancurkan dirinya sendiri.
Kok Iblis segala? Pernahkah Iblis dipahami oleh
20 abad peradaban manusia secara denotatif? Ataukah kita sebut-sebut ia setiap
saat dalam konotasi semau-mau kita? Anda pikir Iblis ada hubungannya dengan
Setan dan Jin?
Kalau dilihat dari posisi-kosmis, kekayaan
alam, keunggulan bahasa dan budaya, maka “Bangsa Nusantara” yang sekarang
bernukleus di NKRI tidaklah bisa diungguli oleh bangsa manapun di muka bumi.
Maka diampuni Allah-lah Amangkurat-II yang menyerahkan rakyat dan kedaulatannya
kepada VOC, diampuni Allah semua pelaku-pelaku sejarah Indonesia sejak 1945,
Orla, Orba, Orde Reformasi, yang dengan sangat cemerlang mampu mengubah “Garuda
Perkasa Bangsa Nusantara” hari ini menjadi “Emprit kerdil, cengeng dan
penakut”.
Sebenarnya kalau kita selalu mengatakan “Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang besar” itu denotatif atau konotatif?
Ketangguhan Yang “Mencelakakan”
Baiklah. Kalaupun Bangsa Indonesia sekarang tak
perlu sampai memerlukan penglihatan diri sejauh ini, semoga sedikit
berinisiatif pada takaran normal saja sebagai manusia, sebagai masyarakat dan
sebagai bangsa–-untuk memulai kemandirian, punya insting untuk ketat menjaga
martabatnya, untuk mulai percaya kepada dirinya dan kepada apa yang sebenarnya
bisa digapainya.
Kalau bangsa Indonesia tidak percaya bahwa ia
besar, bahwa ia lebih induk dan lebih besar dari bangsa-bangsa di dunia, serta tidak
percaya bahwa sesungguhnya ia punya filosofi, formula, teknologi, budaya dan
mekanisme kepemimpinan atas dunia secara lebih damai, hangat dan penuh
toleransi (masyarakat kita aslinya adalah Professor Doktor Toleransi dengan
tesis empiris cum laude)–-maka mudah-mudahan ada sedikit inisiatif kecerahan
diri mengupayakan agar 2009 tidak menjadi “Perayaan Kebodohan Edisi kesekian”,
2012 mencoba memastikan ada sejumlah klausul kenegaraan dan hak milik yang
membuat kita tidak lebih parah menjadi budak bangsa lain, serta 2015
memproklamasikan “Keselamatan Minimal” sebagaimana layaknya manusia hidup
normal standar tanpa keunggulan dan kehebatan.
Kalau flash-back di atas suatu hari
dipelajari dan direnungi, mungkin kesibukan berpikir keIndonesiaan kita sehari-hari
mengandung kadar pengetahuan dan substansi yang sedikit agak fenomenologis dan
paradigmatik. Kita bersabar dengan ilmu, dan menahan diri tidak bicara atau
bertindak apapun kalau tidak dilandasi tanggung jawab ilmu. Bahkan yang
membedakan keyakinan (iman) dengan khayalan (klenik, mitologi, subyektivisme)
adalah faktor ilmu.
Misalnya ada pertanyaan: kenapa segala
penderitaan rakyat, kebobrokan pemerintahan dan kekacauan keadaan bangsa kita
tidak pernah cukup menjadi syarat lahirnya sebuah revolusi yang mendasar, total
dan sungguh-sungguh? Padahal penderitaannya lebih dari sungguh-sungguh,
kebobrokannya jauh melebihi ukuran kekebobrokan yang pernah dicatat oleh
sejarah kepemimpinan dan pemerintahan, serta kekacauannya sedemikian rupa
sehingga tak ada rakyat Negara manapun di muka bumi yang sanggup berada di
dalamnya?
Salah satu jawabannya: karena individu manusia
Indonesia sangat tangguh, tidak collapse oleh kesengsaraan bagaimanapun
juga, bahkan berulang kali sanggup menolong Negara untuk tidak collapse
pada keadaan yang secara teoritis dan seharusnya ia collapse.
Dan jawaban khusus untuk lembar acara hari ini
adalah: karena bangsa “kita” memiliki tradisi Teknologi Internal yang tidak
dimiliki oleh gen-gen bangsa lain. Dan paradigma itulah yang selama ini
“mencelakakan” kita.
Norma, Hukum dan Moral
Tentu saja, bangsa dengan bakal internal-technology
di era NKRI sekarang ini tidak bisa sepenuhnya menerapkan keunggulan mentalnya:
bagaimana mungkin kita tak punya motor, mobil, rumah bagus, laptop, AC; bagaimana
mungkin kita mengelak dari arus besar kemewahan, hedonisme, gebyar dan
gemerlap… maka bakat internal-technology akhirnya tak sengaja tergeser
dan terterapkan ke wilayah-wilayah lain yang masih masih mengandung
ketidak-majuan dan ketidak-mudahan.
Dengan hasil korupsi, kita memperoleh berbagai
kemudahan dan kemajuan: bisa beli apa saja sebagaimana atau melebihi orang
lain, keluarga menganggap kita sukses, Pesantren dan Masjid yang kita Bantu
menyimpulkan kita adalah dermawan, masyarakat melihat bahwa kita adalah “orang
yang benar”: buktinya punya jabatan, kaya dan mau bersedekah kepada mereka.
Tetapi ada sedikit pengetahuan yang sudah
terlanjur nyantol di saraf otak yang membuat ingatan bahwa kita korup
itu menghasilkan sesuatu yang tidak enak dalam hati dan tidak mudah di depan
Tuhan. Maka tak cukup bantu Pesantren dan Masjid, kita perlu umroh sesering
mungkin, langsung melakukan pendekatan kepada Tuhan. Sebenarnya sedikit-sedikit
kita merasa juga bahwa Tuhan tersinggung karena kita tuduh ia bisa kita sogok
dengan umroh atas dosa korupsi kita–-tetapi karena demikianlah juga yang
dilakukan oleh banyak teman-teman Indonesia lain, maka kita menjadi sedikit
tenang.
Faktornya di sini, budaya kita lebih
mengandalkan norma dibanding hukum atau moral. Hukum dan moral itu nilai otonom
dan pasti, sedangkan norma itu bergantung kesepakatan atau kebiasaan banyak
orang. Kalau banyak orang menyuruh Ahmadiyah bubar dan banyak orang lain
mengutuk FPI, kita terdorong untuk memilih salah satu dan kemudian turut mengacungkan
tinju dan memekik-mekik.
Itulah norma. Sementara hukum itu “ilmu”, moral
itu “ruh”. Mereka yang hidup berdasar moral dan hokum, tidak melangkahkan kaki
berdasarkan arus norma atau kecenderungan orang banyak.
Alif Lam Mim, tuhan kita adalah norma. Kita lakukan apa saja yang nge-trend,
yakni segala gejala dan perilaku yang diterima dan dikerjakan oleh orang
banyak. Dari mode rambut, sinetron religi bulan Ramadlan, demokrasi, otda
pilkada, syariat non-gender, darmawisata umroh, wisata kuliner hingga
membubarkan Ahmadiyah dan FPI. Untuk bayar pajak saja kita perlu alasan “Apa
Kata Dunia, hare gene….”
Multikorupsi
Dulu Suharto bikin Keraton Kemusu, sempalan
Nyayogyakartohadiningrat dari tiga generasi sebelum yang sekarang. Keratonnya
dikasih nama Republik, baju kebesarannya sebagai Raja dikasih label Presiden,
dengan “uborampe” (kelengkapan basa-basi) mengumpulkan sekian ratus orang
menjadi dua kelompok yang dikasih papan nama “MPR” dan “DPR”, dan akhirnya
hanya seorang Raja yang jauh-jauh hari sudah merancang dan membangun makamnya
di sebuah bukit.
Kepresidenan Suharto adalah konotasi, karena
denotasinya adalah Keraton.
Masyarakat tidak keberatan dengan “Keraton”
berlabel “Republik” itu karena jiwa raga mereka adalah “abdi dalem” dan “kawulo”
sampai hari ini. Dan sampai hari ini kaum intelektual juga tidak pernah
mengakui bahwa Orba adalah “Keraton”, karena diam-diam di dalam
kandungan mentalnya masih menyimpan rasa “andhap asor” atau inferioritas
“kawulo”, masih menyimpan mitologi subyektif untuk “takut” atau “segan”, juga
karena sejak semula mereka juga diam-diam berikhtiar bagaimana menjadi “abdi
dalem”. Kalau Sang Prabu Haryo Suharto tidak menerima lamaran kita, baru kita
tampil di media massa sebagai opposan.
Alhasil view ini sekedar pintu awal
untuk membuka kemungkinan besar kenyataan yang perlu kita teliti dengan jujur
bahwa kasus-kasus korupsi yang dijaring KPK hanyalah sejumlah cipratan kecil
dari budaya dan peradaban korupsi. Bangsa kita terjebak dalam kesalahan managemen
sejarah yang menggiring mereka melakukan korupsi sejak “dini”. Sebelum uang dan
harta Negara, kita sudah melakukan korupsi iman, ilmu, cara berpikir, sejatinya
isi hati, setiap jenis perilaku dari yang sehari-hari kultural sampai yang
kenegaraan dalam konstitusi dan birokrasi.
Apa yang saya tulis ini bukan tuduhan, juga
saya harap tidak menambah persoalan. Ini sumbangan kewaspadaan, demi
kebangkitan atau totalnya kehancuran kita bersama. Tiap menjelang tidur, ambil
satu kata kerja: lihatlah seberapa “sungguh-sungguh” bangsa kita mengerjakan
dan memaksudkan “kata kerja” itu. Apakah kalau kita bilang “a” maka yang kita
kerjakan adalah “a”, dan kalaupun memang benar-benar kita kerjakan “a”, apakah
niat dan maksud kita sungguh-sungguh “a”. Itu boleh pada perilaku sehari-hari,
hingga urusan-urusan yang lebih besar: menjadi pejabat, menjadi wakil rakyat,
menjadi Ustadz, menjadi Presiden, mengambil suatu keputusan nasional, dan
apapun.
Kunci kehancuran kita sangat boleh jadi adalah
: tidak atau kurang bersungguh-sungguh. ****
Jakarta 12 Juni 2008.
Catatan: Term “teknologi internal” saya
pinjam dari Noe/Letto dan sejumlah muatan lembar ini berasal dari diskusi
dengannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar