Menjaga Marwah Islam (2)
Oleh: Azyumardi Azra
Bermacam bentuk kekerasan yang dilakukan oknum dan kelompok Muslim
atas nama Islam di berbagai tempat di muka bumi jelas tidak pernah dapat
mengangkat marwah dan martabat Islam dan kaum Muslim. Aksi kekerasan
contradictio in terminis--bertentangan dengan terma Islam itu sendiri sekaligus
dengan kandungannya yang damai.
Sebaliknya, aksi kekerasan hanya membuat semakin tercemarnya citra
Islam dan kaum Muslim. Pada saat yang sama, sikap bermusuhan atau fobia Islam
juga terus kian meningkat, khususnya di dunia Barat.
Sikap bermusuhan dan anti-Islam dan Muslim dalam waktu yang lama
telah mengendap dalam psike banyak kalangan Barat. Sikap seperti itu
dengan cepat kembali muncul secara terbuka dalam ekspresi, seperti terlihat
dalam pernyataan bakal calon presiden AS dari Partai Republik Donald Trump yang
menyatakan, kalau terpilih, ia akan melarang Muslim masuk ke Amerika.
Pernyataan Trump yang kontroversial itu mengundang kecaman tidak
hanya dari kaum Muslimin dari berbagai penjuru dunia, tapi juga dari banyak
kalangan masyarakat AS sendiri. Namun, pada saat yang sama, terlihat pula
banyak kalangan masyarakat AS lain yang merasa terwakili dengan pernyataannya
tersebut.
Menghadapi fenomena semacam ini, adalah tanggung jawab kaum Muslim
sendiri memulihkan marwah Islam dan kaum Muslim. Mayoritas absolut kaum Muslim
jelas adalah orang-orang cinta damai. Mereka inilah yang dapat menampilkan
ajaran Islam rahmatan lil 'alamin sehingga secara aktual mewujudkan
kontrawacana dan praksis terhadap aksi kekerasan yang dilakukan segelintir
oknum Muslim.
Akan tetapi, jelas tantangan ini sangat tidak mudah. Secara
internal, sektarianisme bernyala-nyala di kalangan sebagian Muslim membuat
upaya menyebarkan pesan Islam cinta damai membentur tembok beton kelompok garis
keras dan radikal terhadap siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka,
termasuk sesama Muslim.
Islam Indonesia diharapkan kian banyak masyarakat internasional
dapat menyebarkan pesan kedamaian Islam. Negeri ini yang berpenduduk Muslim
terbesar di dunia diberkahi Allah SWT dengan eksistensi ormas-ormas Islam
wasathiyah. Banyak kalangan masyarakat dunia, apakah Muslim maupun non-Muslim
di Barat ingin belajar dari pengalaman Indonesia dalam mengembangkan dan
mengukuhkan Islam wasathiyah.
Dalam dua pekan terakhir, penulis “Resonansi” ini menerima
beberapa tokoh Eropa yang berkeinginan untuk ikut menyosialisasikan Islam
wasathiyah di benua mereka. Salah satu di antara mereka ingin membuat film
tentang ekspresi Islam wasathiyah Indonesia dalam kehidupan sehari-hari
sehingga dapat memberikan perspektif berbeda dengan Islam yang ada
psike banyak warga Eropa.
Meski demikian, banyak kalangan internasional juga menyatakan
kekhawatiran terhadap adanya kelompok radikal dan intoleran yang seolah
beroperasi bebas di Indonesia. Mereka mengutip laporan media massa Indonesia
tentang sejumlah aksi kelompok garis keras yang membubarkan diskusi dan
pementasan di beberapa kota di Tanah Air.
Termasuk di antara aksi-aksi tersebut adalah pembubaran Festival
Belok Kiri di Taman Ismail Marzuki (TIM) oleh Pemuda Cinta Tanah Air (Pecat)
dan PW GPII pada 27 Februari 2016, pelarangan teater monolog Tan Malaka oleh
FPI di Bandung (23 Maret), pembubaran diskusi tentang peranan dan posisi
perempuan dalam konteks keindonesiaan oleh FPI di Pekanbaru (1 April), dan
pembubaran acara Lady Fast 2016 oleh Forum Umat Islam DIY di Yogyakarta (3
April).
Mengamati gejala seperti itu, banyak kalangan dalam negeri sendiri
maupun internasional menyesalkan ormas-ormas Islam wasathiyah yang berdiam
diri belaka menyaksikan aksi-aksi seperti itu. Mereka berharap ormas-ormas
Islam wasathiyah bersuara lantang dan tegas bahwa aksi main hakim sendiri
tidak dapat dibenarkan.
Pada saat yang sama, seperti mengulangi pola yang sudah klasik
selama ini, aparat kepolisian juga cenderung melakukan pembiaran. Polisi seolah
tidak berdaya melindungi para warga dari aksi intimidatif yang dilakukan
kelompok lain. Padahal jelas, Indonesia sebagai negara hukum tidak membenarkan
adanya tindakan main hakim sendiri; dan polisi wajib menegakkan hukum sesuai
kewenangan dan otoritas yang dimilikinya.
Dengan demikian, penegakan marwah Islam rahmatan lil
'alamin tidak hanya memerlukan sikap yang jelas dan tegas ormas
wasathiyah sendiri, tetapi juga dari aparat negara. Jika aparat penegak
hukum melakukan pembiaran, Islam Indonesia wasathiyah dapat kehilangan
kredibilitas untuk dapat menyebarkan pesan kedamaian Islam di Indonesia sendiri
dan lingkungan internasional lebih luas.
Pada saat yang sama, Indonesia dapat terjerumus menjadi “negara
gagal” karena ketidakmampuan menegakkan hukum dan melindungi setiap dan seluruh
warga. []
REPUBLIKA, 14 April 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar