Tunisia,
Islam, dan Sekularisme
Oleh:
Azyumardi Azra
Jumatan
di Tunis. Berbeda dengan di Indonesia, Jumatan di Tunisia diselenggarakan dalam
‘tiga ronde’. Ronde pertama di sebuah masjid tertentu mulai pukul 13.00; ronde
kedua di masjid lain pukul 14.00, dan ronde terakhir pukul 15 di masjid yang
lain lagi—sudah menjelang waktu shalat Ashar. Jamaah bisa memilih melaksanakan
Jumatan pada waktu atau ronde yang mereka inginkan.
Penulis
Resonansi ini tidak tahu persis alasan kenapa ibadah Jumatan di Tunisia
dilakukan dalam tiga kesempatan. Saya juga tidak paham landasan fiqhiyahnya,
khususnya fiqh Maliki yang dominan di Tunisia. Tetapi ibadah Jumatan yang
dilakukan dalam beberapa ronde mengingatkan pada pengalaman melakukan shalat
Jumat di kampus tertentu di Amerika Serikat atau Eropa. Karena fasilitas ruangan
terbatas yang tidak mampu menampung jamaah, shalat Jumat dilakukan dalam
beberapa ronde.
Dalam
pengamatan penulis Resonansi ini, jumlah masjid di Tunisia—baik di Kota Tunis
maupun Sousse—memang tidak cukup banyak. Berbeda dengan kota-kota Indonesia di
mana banyak menampilkan lanskap masjid dan mushalla—cakrawala perkotaan Tunisia
tidak memperlihatkan rona masjid. Karena itu, jamaah Jumatan—di mana penulis
Resonansi ini ikut beribadah—meluber ke jalan-jalan, karena memang tidak ada
lagi masjid lain di lingkungan tersebut.
Lagi-lagi
berbeda dengan masjid-masjid di Indonesia yang kebanyakannya terbuka sepanjang
waktu, masjid-masjid di Tunisia hanya dibuka beberapa saat sebelum shalat (lima
waktu) dan digembok kembali begitu shalat usai. Tidak ada tradisi shalat dan
pengajian Dhuha atau Zuhur, Ashar dan Maghrib yang lazim berlaku di banyak
masjid di Indonesia. Banyaknya kegiatan masjid dan jamaahnya membuat
masjid-masjid di tanahair lebih banyak terbuka daripada dikunci.
Salah
satu hal paling mencolok dalam ibadah Jumatan di Tunis adalah tidak adanya
anak-anak dan remaja. Penulis Resonansi ini hanya melihat seorang anak
laki-laki sekitar usia delapan tahun di antara jamaah. Tapi dia ‘mendampingi’
seorang ibu mengemis; anak itu memegangi tangan sang ibu agar bisa menadah di atas
kursi roda—nampaknya terkena stroke.
Kenyataan
ini mengkonfirmasi cerita beberapa kawan Indonesia yang sudah cukup lama
tinggal di Tunisia. Mereka bercerita, bagi masyarakat Tunisia tidak lazim
mengajak anak kecil ke masjid. Bahkan, anak-anak kecil dan remaja tidak perlu
diajar shalat dan puasa. Bagi orangtua Tunisia, hal semacam itu merupakan
‘pemaksaan’ terhadap anak-anak. ‘Biarkanlah pada waktunya nanti setelah dewasa
mereka bakal shalat atau puasa’, kata mereka.
Warga
Tunisia yang menghadiri undangan acara tertentu yang diselenggarakan masyarakat
Indonesia sering terheran-heran melihat anak-anak kecil Indonesia misalnya ikut
berjamaah shalat Maghrib. Sekali lagi, bagi mereka tidak pada tempatnya
mengikutkan anak-anak yang masih ingusan dalam ibadah.
Kenyataan
itu hanyalah salah satu gambaran Islam Tunisia. Penduduk negara ini yang
sekitar 11 juta jiwa memang 98 persen Muslim. Tetapi gambaran kehidupan kaum
Muslimin Tunisia dalam hal-hal tertentu berbeda dengan kehidupan kaum Muslim
Indonesia.
Segi lain
yang cukup mencolok adalah relatif tidak lazimnya pemakaian jilbab di kalangan
perempuan. Jika di Indonesia penggunaan jilbab kian meluas, sebaliknya di
Tunisia kebanyakan kaum perempuan tidak berjilbab. Jika di kampus- kampus
perguruan tinggi umum seperti IPB atau UGM banyak mahasiswi menggunakan jilbab,
di Tunisia seperti di kampus Universite de Suissse, tak banyak mahasiswi
berjilbab. Bahkan di Jami’ah Kairawan—yang disebut sebagai perguruan tinggi
Islam tertua di dunia, lebih tua daripada Universitas al-Azhar Kairo—banyak
mahasiswa, pegawai dan dosen yang tidak berjilbab.
Bagaimana
menjelaskan gejala seperti ini? Gejala ini terkait banyak dengan watak
penjajahan yang pernah dialami Tunisia yang—bersama Maroko dan Aljazair—dijajah
Prancis. Kolonial Prancis dalam penjajahannya melaksanakan apa yang mereka
sebut sebagai mission civilatrice—missi membawa warga jajahan mereka ke dalam
peradaban—dalam hal ini, budaya dan peradaban Prancis.
Dalam
konteks itu, penjajah Prancis tidak hanya mengharuskan anak negeri Tunisia
berbahasa dan berbudaya Prancis, tetapi juga mengikuti prinsip
laicite—sekularisme model Prancis. Laicite secara umum lebih keras dari
sekularisme, pemisahan agama dan politik, seperti misalnya diterapkan Amerika
Serikat. Jika sekularisme AS mengizinkan pemakaian jilbab sebagai hal
privat—dan karena itu diizinkan di lembaga publik/negara—sebaliknya laicite
melarang penggunaan simbolisme agama (seperti jilbab) di institusi publik.
Sebaliknya
di Indonesia, penjajah Belanda membiarkan umat Islam hidup sendiri selama tidak
mengganggu statusquo kekuasaan kolonial. Karena itulah umat Islam menjadi
terbiasa dengan independensinya; membangun berbagai lembaganya semacam masjid,
pesantren, madrasah dan sekolah Islam; dan sekaligus mengembangkan tradisi dan
budayanya, seperti pemakaian jilbab. []
REPUBLIKA,
21 April 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar