Menjaga
Marwah Islam (1)
Oleh :
Azyumardi Azra
Peristiwa
perompakan kapal Indonesia dengan penculikan sekitar 10 orang anak buah kapal
(ABK) pekan lalu (30/3/16) dilakukan oleh kelompok Abu Sayyaf, di Mindanao,
Filipina Selatan. Kelompok Abu Sayyaf merupakan faksi paling radikal di antara
berbagai pecahan barisan paramiliter bangsa Moro melawan Pemerintah Filipina.
Lima hari
sebelumnya, Jumat (25/3/16), pengebom bunuh diri menewaskan 74 orang yang
terutama perempuan dan anak-anak yang sedang menikmati Gulshan-i-Iqbal, taman
Iqbal, Lahore, Punjab, Pakistan. Jama'ah al-Ahrar yang berafiliasi dengan salah
satu faksi Taliban menyatakan, target pengeboman itu adalah warga Kristiani yang
sedang merayakan Paskah; tetapi sekitar dua per tiga korban tewas dan luka-luka
adalah kaum Muslim.
Sebelumnya
lagi, tiga hari lebih awal, pengebom bunuh diri meledakkan dua bom di Bandara
Zaventem, Brussels, dan satu bom lagi di Stasiun Metro, Maalbeck, Brussels,
yang menewaskan lebih 30 orang. Para pengebom itu meledakkan bom sambil
meneriakkan kalimat bahasa Arab.
Pelakunya,
dua bersaudara Ibrahim dan Khalid el-Bakroui, warga negara Belgia keturunan
Maroko, dilaporkan berkaitan dengan pengeboman di Paris (13/11/2015) yang
menewaskan lebih 130 orang. ISIS mengklaim bertanggung jawab atas pengeboman di
Brussels dan Paris.
Para
aktor ketiga peristiwa menyedihkan ini adalah --memakai eufimisme bahasa
Indonesia-oknum-oknum, baik individu maupun kelompok Muslim. Apakah secara
eksplisit atau implisit, para oknum dan kelompok yang bertanggung jawab atas
peristiwa memilukan itu menyatakan tindakan mereka atas nama Islam untuk
kepentingan perjuangan Islam dan kaum Muslimin.
Ketiga
peristiwa yang tidak berperikemanusiaan atas nama Islam itu hanya rentetan
pendek dari berbagai peristiwa kekerasan dengan oknum-oknum beragama Islam yang
terjadi sejak awal milenium baru. Rentetan peristiwa itu bisa dimulai dengan
peristiwa nine-eleven, 9/11 atau 11 September 2001 di New York, Washington DC,
dan Philadelpia, AS. Penyerbuan AS dan sekutu ke Afghanistan sebagai tindakan
balasan terhadap Taliban dan Usamah bin Ladin yang dianggap bertanggung jawab,
memercepat radikalisasi di kalangan kaum Muslim.
Setelah
itu bisa dilihat rentetan pengeboman bunuh diri yang dilakukan oknum-oknum
Muslim di Bali (12/10/2002), Marriott, Jakarta (5 Agustus 2003), Madrid
(11/3/2004), London (7/7/2005), Bali II (1/10/2005), dan seterusnya. Daftar
aksi terosisme yang mereka lakukan sangat panjang.
Menurut
catatan berbagai sumber, sejak September 2001 sampai Maret 2016, para oknum dan
kelompok Muslim telah melakukan 28.056 serangan yang dikategorikan sebagai aksi
terorisme dengan korban tewas lebih dari 100 ribu jiwa.
Sekali
lagi, aksi kekerasan atau terorisme yang dilakukan individu dan kelompok oknum
sebagian besar boleh jadi genuine, murni mereka lakukan. Kelompok ini karena
didorong semangat sektarianisme aliran keagamaan, politik, kabilah, budaya,
sosial, dan ekonomi bernyala-nyala melampiaskan ideologi kemarahan mereka
terhadap berbagai pihak --boleh jadi komunitas Muslim lain yang berbeda paham
dengan mereka atau pemerintah negara mereka atau pihak asing, seperti AS dan
atau negara-negara Barat lain.
Individu
dan kelompok oknum Muslim kategori kedua adalah mereka yang menjadi agen dan
kaki tangan pihak tertentu --bisa di negara mereka sendiri atau kalangan
internasional. Sudah banyak diungkapkan, misalnya, Usamah bin Ladin semula
dibantu CIA dalam perjuangannya melawan pendudukan Uni Soviet atas Afghanistan
sejak 1985. CIA kemudian ibarat membesarkan “anak harimau” --Bin Ladin melawan
pihak yang membesarkannya.
Namun,
juga ada di kalangan kelompok kedua ini yang tetap setia pada aktor intelektual
tersembunyi. Kalangan Muslim awam bersemangat yang tidak memahami kerumitan
konspirasi ini kemudian menjadi korban --terjerumus ke dalam berbagai bentuk
aksi kekerasan.
Terlepas
dari apakah aksi kekerasan bersifat genuine atau konspirasi, dampaknya
terhadap Islam dan kaum Muslimin sangat buruk. Rentetan kekerasan seolah tanpa
ujung yang dilakukan individu dan/atau kelompok oknum Muslim telah membuat
citra Islam dan kaum Muslim secara keseluruh terbenam ke dalam abyss, lubuk
kelam tanpa dasar.
Aksi-aksi
kekerasan itu juga membuat kehidupan kaum Muslim mayoritas absolut yang cinta
damai menjadi kian sulit. Tidak mudah bagi mereka mendapat visa untuk melakukan
perjalanan memasuki banyak negara. Nama-nama yang khas Muslim masuk ke dalam
watch list yang memerlukan klarifikasi panjang sebelum dapat diproses
pihak kedutaan banyak negara.
Maka,
aksi kekerasan bukan membuat Islam dan kaum Muslim kian meningkat marwah dan
martabatnya. Marwah Islam dan kaum Muslimin jelas tidak bisa ditegakkan dengan
cara kekerasan tidak berketuhanan dan tidak berperikemanusiaan. Marwah dan
martabat Islam dan kaum Muslimin hanya bisa diwujudkan dengan jalan damai,
sesuai harkat kemanusiaan dan tuntunan ajaran Islam rahmatan lil
'alamin yang damai. []
REPUBLIKA,
07 April 2016
Azyumardi Azra | Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;
Penerima MIPI Award 2014 dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar