Cinta
pada Semua Tanpa Kebencian pada Siapapun
Oleh:
Zuhairi Misrawi
Dalam
sebulan terakhir, aksi bom bunuh diri mengguncang Turki dan Belgia. Yang
paling mutakhir, bom bunuh diri menewaskan lebih dari 65 orang di Lahore,
Pakistan justru saat warga merayakan liburan Paskah di sebuah taman
tempat anak-anak bermain.
Islamic
State of Iraq and Syria (ISIS) dan Taliban mengakui sebagai
aktor utama di balik bom yang menewaskan warga sipil tak berdosa.
Pertanyaan
yang muncul ke permukaan: kenapa ISIS dengan gagah mengakui aksi bom bunuh
diri? Tidakkah sedikit pun mereka menyesali perbuatan tersebut sebagai
kejahatan? Bukankah aksi mereka telah mencoreng ajaran Islam yang penuh
kasih-sayang dan toleransi?
Memang,
tidak mudah menalar seseorang nekat melakukan aksi bom bunuh diri
yang menewaskan warga sipil. Apalagi ia mengklaim bahwa tindakannya
mendapatkan justifikasi dari agama yang diyakininya.
Jelas
sekali, Islam melarang aksi bom bunuh diri. Perbuatan tersebut melanggar salah
satu prinsip utama dalam Islam, yaitu melindungi jiwa (hifdz al-nafs). Di dalam
al-Quran disebutkan, barangsiapa membunuh satu jiwa sesungguhnya ia telah
membunuh seluruh umat manusia (QS al-Maidah [5]: 32).
Namun
sekali lagi, kaum ekstremis kerap bersikukuh bahwa aksinya mendapatkan
mandat dari agama yang diyakininya. Bahkan, mereka meyakini telah ditunggu oleh
bidadari di surga nanti. Membunuh, bagi kaum ekstremis adalah tiket eksekutif
menuju surga. Sungguh keyakinan yang sangat absurd. Pembunuhan yang jelas-jelas
sebagai tindakan kejahatan dianggap sebagai tiket ke surga!
Pada
titik ini, dekonstruksi terhadap teologi kaum ekstremis menjadi keniscayaan.
Teologi yang menghalalkan pembunuhan dan kekerasan ini tidak bisa lagi
dibiarkan bergentayangan di dunia. Jika dibiarkan akan ada dua kerugian besar
yang akan ditanggung peradaban.
Pertama,
Islam sebagai agama yang menekankan pentingnya kasih-sayang akan dibajak kaum
ekstremis sebagai justifikasi atau stempel untuk membenarkan pembunuhan. Kita
melihat kelompok yang menghalalkan pembunuhan, kekerasan, dan kejahatan lambat
laun mulai bermunculan di media sosial.
Belajar
dari pengalaman Eropa, mereka yang mudah terhipnotis pemahaman tersebut
dikarenakan kondisi obyektif mereka yang terpinggirkan secara ekonomi dan
politik. Ketika muncul kelompok ekstremis yang menawarkan ideologi “surgawi”,
mereka dengan mudah bergabung dengan kelompok-kelompok ekstremis, seperti ISIS,
al-Qaeda, dan lain-lain.
Di media
sosial, kaum ekstremis merekrut kaum muda yang baru mengenal agama dan
mempunyai kegairan keagamaan. Kaum muda merupakan komunitas yang
paling rentan direkruit kelompok ekstremis, karena mereka mempunyai gairah eksistensial
yang tinggi.
Apapun,
akibat aksi kelompok ekstremis yang menghalalkan aksi terorisme pada intinya
telah membajak agama sebagai yang menekankan pentingnya cinta-kasih dan
mengubahnya menjadi agama yang menyeramkan. Ini sungguh kerugian besar.
Kedua,
aksi kelompok teroris pada akhirnya akan menebarkan kebencian, ketakutan,
bahkan hilangnya nyawa yang tidak berdosa. Bayangkan, berapa jumlah
manusia yang sudah tewas akibat aksi keji kaum teroris?
Jumlahnya
sangat besar, melampaui ratusan ribu. Sebab terorisme sudah menjadi fenomena
global. Tidak ada satu negara yang benar-benar aman dari target kelompok
teroris.
Maka dari
itu, diperlukan rekonstruksi teologi yang dapat membangkitkan harapan
baru bagi kemanusiaan. Dalam hal ini, teologi cinta pada semua, tanpa
kebencian pada siapapun perlu dijadikan pijakan.
Teologi
ini disampaikan pertama kali oleh Hazrat Mirza Nasir Ahmad pada 8 Oktober 1980
saat meresmikan Masjid Perobad, Spanyol. Nasir Ahmad menegaskan, Islam mengajak
kita agar hidup saling mencintai, penuh kasih-sayang, dan kerendahhatian. Tidak
ada perbedaan antara Muslim dan Non-Muslim. Ia menegaskan, “pesan saya kepada
semua umat Islam untuk cinta pada semua orang dan tanpa kebencian pada
siapapun”.
Di tengah
semakin gencarnya aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam, saya
memandang teologi cinta pada semua tanpa kebencian pada
siapapun menjadi relevan dan penting. Kita membutuhkan cinta dan tanpa
kebencian kepada siapapun sebagai nilai yang harus selalu hidup bagi kaum
agamawan, khususnya umat Muslim.
Saya kira
kita juga harus menebarkan cinta kepada kaum teroris. Kita ajak mereka untuk
mereformasi pemahamannya terhadap Islam. Mereka selama ini telah membajak
ajaran Islam yang penuh cinta dan kasih-sayang.
Jujur,
strategi Barat dalam memerangi kelompok teroris semakin mengkhawatirkan, karena
balasan dari kaum teroris jauh lebih menakutkan. Apalagi ISIS mengancam akan
melakukan aksi besar-besaran di Eropa.
Saatnya cinta
pada semua tanpa kebencian pada siapapun menjadi jalan baru untuk
mengatasi masalah terorisme. []
KOMPAS,
29 Maret 2016
Zuhairi Misrawi | Intelektual
Muda Nahdlatul Ulama dan Ketua Moderate Muslim Society. Pernah mondok
selama 6 tahun di Pondok Pesantren al-Amien, Prenduan. Menyelesaikan kuliah di
Jurusan Akidah-Filsafat Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir.
Menerbitkan sejumlah buku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar