Kamis, 07 April 2016

Zuhairi: Cinta pada Semua Tanpa Kebencian pada Siapapun



Cinta pada Semua Tanpa Kebencian pada Siapapun
Oleh: Zuhairi Misrawi

Dalam sebulan terakhir, aksi bom bunuh diri mengguncang Turki dan Belgia. Yang paling mutakhir, bom bunuh diri menewaskan lebih dari 65 orang di Lahore, Pakistan justru saat warga merayakan liburan Paskah di sebuah taman tempat anak-anak bermain. 

Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dan Taliban mengakui sebagai aktor utama di balik bom yang menewaskan warga sipil tak berdosa. 

Pertanyaan yang muncul ke permukaan: kenapa ISIS dengan gagah mengakui aksi bom bunuh diri? Tidakkah sedikit pun mereka menyesali perbuatan tersebut sebagai kejahatan? Bukankah aksi mereka telah mencoreng ajaran Islam yang penuh kasih-sayang dan toleransi? 

Memang, tidak mudah menalar seseorang nekat melakukan aksi bom bunuh diri yang menewaskan warga sipil. Apalagi ia mengklaim bahwa tindakannya mendapatkan justifikasi dari agama yang diyakininya.

Jelas sekali, Islam melarang aksi bom bunuh diri. Perbuatan tersebut melanggar salah satu prinsip utama dalam Islam, yaitu melindungi jiwa (hifdz al-nafs). Di dalam al-Quran disebutkan, barangsiapa membunuh satu jiwa sesungguhnya ia telah membunuh seluruh umat manusia (QS al-Maidah [5]: 32). 

Namun sekali lagi, kaum ekstremis kerap bersikukuh bahwa aksinya mendapatkan mandat dari agama yang diyakininya. Bahkan, mereka meyakini telah ditunggu oleh bidadari di surga nanti. Membunuh, bagi kaum ekstremis adalah tiket eksekutif menuju surga. Sungguh keyakinan yang sangat absurd. Pembunuhan yang jelas-jelas sebagai tindakan kejahatan dianggap sebagai tiket ke surga! 

Pada titik ini, dekonstruksi terhadap teologi kaum ekstremis menjadi keniscayaan. Teologi yang menghalalkan pembunuhan dan kekerasan ini tidak bisa lagi dibiarkan bergentayangan di dunia. Jika dibiarkan akan ada dua kerugian besar yang akan ditanggung peradaban.

Pertama, Islam sebagai agama yang menekankan pentingnya kasih-sayang akan dibajak kaum ekstremis sebagai justifikasi atau stempel untuk membenarkan pembunuhan. Kita melihat kelompok yang menghalalkan pembunuhan, kekerasan, dan kejahatan lambat laun mulai bermunculan di media sosial.  

Belajar dari pengalaman Eropa, mereka yang mudah terhipnotis pemahaman tersebut dikarenakan kondisi obyektif mereka yang terpinggirkan secara ekonomi dan politik. Ketika muncul kelompok ekstremis yang menawarkan ideologi “surgawi”, mereka dengan mudah bergabung dengan kelompok-kelompok ekstremis, seperti ISIS, al-Qaeda, dan lain-lain. 

Di media sosial, kaum ekstremis merekrut kaum muda yang baru mengenal agama dan mempunyai kegairan keagamaan. Kaum muda merupakan komunitas yang paling rentan direkruit kelompok ekstremis, karena mereka mempunyai gairah eksistensial yang tinggi. 

Apapun, akibat aksi kelompok ekstremis yang menghalalkan aksi terorisme pada intinya telah membajak agama sebagai yang menekankan pentingnya cinta-kasih dan mengubahnya menjadi agama yang menyeramkan. Ini sungguh kerugian besar.

Kedua, aksi kelompok teroris pada akhirnya akan menebarkan kebencian, ketakutan, bahkan hilangnya nyawa yang tidak berdosa. Bayangkan, berapa jumlah manusia yang sudah tewas akibat aksi keji kaum teroris?  

Jumlahnya sangat besar, melampaui ratusan ribu. Sebab terorisme sudah menjadi fenomena global. Tidak ada satu negara yang benar-benar aman dari target kelompok teroris.  

Maka dari itu, diperlukan rekonstruksi teologi yang dapat membangkitkan harapan baru bagi kemanusiaan. Dalam hal ini, teologi cinta pada semua, tanpa kebencian pada siapapun perlu dijadikan pijakan. 

Teologi ini disampaikan pertama kali oleh Hazrat Mirza Nasir Ahmad pada 8 Oktober 1980 saat meresmikan Masjid Perobad, Spanyol. Nasir Ahmad menegaskan, Islam mengajak kita agar hidup saling mencintai, penuh kasih-sayang, dan kerendahhatian. Tidak ada perbedaan antara Muslim dan Non-Muslim. Ia menegaskan, “pesan saya kepada semua umat Islam untuk cinta pada semua orang dan tanpa kebencian pada siapapun”. 

Di tengah semakin gencarnya aksi terorisme yang mengatasnamakan Islam, saya memandang teologi cinta pada semua tanpa kebencian pada siapapun menjadi relevan dan penting. Kita membutuhkan cinta dan tanpa kebencian kepada siapapun sebagai nilai yang harus selalu hidup bagi kaum agamawan, khususnya umat Muslim. 

Saya kira kita juga harus menebarkan cinta kepada kaum teroris. Kita ajak mereka untuk mereformasi pemahamannya terhadap Islam. Mereka selama ini telah membajak ajaran Islam yang penuh cinta dan kasih-sayang.  

Jujur, strategi Barat dalam memerangi kelompok teroris semakin mengkhawatirkan, karena balasan dari kaum teroris jauh lebih menakutkan. Apalagi ISIS mengancam akan melakukan aksi besar-besaran di Eropa.

Saatnya cinta pada semua tanpa kebencian pada siapapun menjadi jalan baru untuk mengatasi masalah terorisme. []

KOMPAS, 29 Maret 2016
Zuhairi Misrawi | Intelektual Muda Nahdlatul Ulama dan Ketua Moderate Muslim Society. Pernah mondok selama 6 tahun di Pondok Pesantren al-Amien, Prenduan. Menyelesaikan kuliah di Jurusan Akidah-Filsafat Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir. Menerbitkan sejumlah buku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar