Rabu, 27 April 2016

Buya Syafii: Di Seberang Makam



Di Seberang Makam
Oleh : Ahmad Syafii Maarif

Jika tidak salah ingat, istilah puitis “di seberang makam” pertama kali terbaca dalam tulisan sastrawan Bahrum Rangkuti (1919-1977) abad yang lalu. Maksudnya alam baka, alam akhirat sebagai kelanjutan dari alam dunia.

Misterinya, tak seorang pun yang sudah wafat pernah kembali ke alam dunia untuk menceritakan bagaimana suasana di sana. Menurut ajaran Islam, sebelum datangnya kiamat, umat manusia berada di alam barzah, masa penantian, entah untuk berapa miliar tahun, sampai tiba hari perhitungan yang langsung ditangani oleh Yang Maha Pencipta hidup dan mati.

Kita tidak tahu bagaimana caranya menangani nasib miliaran manusia itu untuk diputuskan: masuk surga atau masuk neraka. Alangkah dahsyatnya hari yang dijanjikan itu. Ini adalah masalah eskatologis yang sangat rumit, ngeri, dan sarat tanda tanya. Alquran menggunakan ungkapan “beriman kepada yang ghaib”, sesuatu yang berada di luar jangkauan nalar manusia.

Sejak beberapa tahun terakhir ini dengan meluncurnya batang usia ke atas angka 80, saya tidak jarang dihadapkan pada teka-teki misterius ini: bagaimana memahami kekekalan surga dan kekekalan neraka itu. Jika dua alam itu memang serba abadi, lalu apa bedanya dengan keabadian Tuhan.

Jika seorang pendosa, katakan sampai berumur 100 tahun, selama 80 tahun 24 jam sehari semalam, kerjanya hanya berbuat maksiat dengan penuh kebanggaan. Mungkin saja konsep surga dan neraka pernah didengarnya, tetapi tidak singgah di hatinya.

Pertanyaannya: apakah orang ini nanti di seberang makam harus diazab melebihi 80 tahun, lalu di mana letak keadilan Tuhan dalam kaitan ini? Bagaimana pula nasib umat lain? Tuan dan Puan dapat menambahkan sederetan pertanyaan yang lebih menghebohkan lagi.

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bertalian dengan nasib manusia itu, Penerbit Mizan telah menerbitkan karya Mohammad Hassan Khalil dengan judul asli, Islam and the Fate of Others: The Salvation Question (Oxfortd: Oxford University Press, 2012).

Judulnya dalam bahasa Indonesia: Islam dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain (Bandung: Mizan 2016) melalui alih bahasa Chandra Utama dengan kalimat-kalimat yang mengalir dan lancar. Kebetulan saya telah pula membaca karya aslinya yang berasal dari disertasi penulisnya.

Untuk lebih mengundang para pembaca agar menelaah karya ini, saya turunkan di sini dua kesaksian, dari KH Husein Muhammad dan saya sendiri. Husein Muhammad di sampul belakang menulis:

"Inilah karya ilmiah kontemporer paling cerdas yang membahas problem teologis klasik paling rumit, sekaligus paling sensitif dan 'berbahaya'. Melalui karya intelektual luar biasa, Mohammad Hassan Khalil berusaha membongkar habis pikiran empat tokoh pujaan berjuta Muslim sepanjang masa: al-Ghazali, Ibn 'Arabi, Ibn Taimiyah, dan Rasyid Ridha, untuk pada puncaknya ia mengambil kesimpulan yang sangat berani bahwa ujung-ujungnya hanya minoritas kecil non-Muslim yang menghuni neraka selama-lamanya karena kasih-sayang Tuhan mendominasi kemarahan-Nya. Inilah 'lompatan' hermeneutik kasih sayang."

Adapun kesaksian saya yang terbaca pada sampul depan bawah bersifat lebih sederhana dan singkat: “Dengan membaca temuan penulisnya --yang mendasarkan analisisnya dari ramuan khazanah Islam klasik dan modern-- kita akan bersikap lebih rendah hati dalam menilai iman orang lain, sahabat kita sesama manusia.”

Kesaksian Husein Muhammad sekaligus mewakili kegelisahan intelektual sebagian kita, termasuk saya, dalam berupaya memahami firman Allah mengenai situasi “di seberang makam” yang memang tidak selalu mudah ditangkap oleh kemampuan daya nalar kita yang serbaterbatas.

“Resonansi” ini sengaja tidak akan memasuki lebih mendalam isi buku ini dengan harapan agar dibaca oleh kalangan publik yang lebih luas dan beragam. Dengan mengikuti pendapat para pemikir Muslim di atas, suasana toleransi di antara kita yang berbeda iman akan semakin mantap diwujudkan di Indonesia karena argumen teologisnya tidak mengada-ada.

Akhirnya, pandangan ekstrem Ibn 'Arabi tidak perlu mengejutkan kita karena selama ratusan tahun umat Islam terbelah dua menyikapi sufi besar ini: yang pro menyebutnya sebagai al-Syaikh al-Akbar (Guru Sufi Terbesar), yang anti menggelarinya sebagai al-Syaikh al-Akfar (Guru Sufi Yang Paling Kafir). Kita tidak perlu kehilangan keseimbangan dalam menyikapi perbedaan ekstrem ini. Nalar manusia tidak jarang menerawang melintasi batas. []

REPUBLIKA, 26 April 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar