Di
Seberang Makam
Oleh :
Ahmad Syafii Maarif
Jika
tidak salah ingat, istilah puitis “di seberang makam” pertama kali terbaca
dalam tulisan sastrawan Bahrum Rangkuti (1919-1977) abad yang lalu. Maksudnya
alam baka, alam akhirat sebagai kelanjutan dari alam dunia.
Misterinya,
tak seorang pun yang sudah wafat pernah kembali ke alam dunia untuk
menceritakan bagaimana suasana di sana. Menurut ajaran Islam, sebelum datangnya
kiamat, umat manusia berada di alam barzah, masa penantian, entah untuk berapa
miliar tahun, sampai tiba hari perhitungan yang langsung ditangani oleh Yang
Maha Pencipta hidup dan mati.
Kita
tidak tahu bagaimana caranya menangani nasib miliaran manusia itu untuk
diputuskan: masuk surga atau masuk neraka. Alangkah dahsyatnya hari yang
dijanjikan itu. Ini adalah masalah eskatologis yang sangat rumit, ngeri, dan
sarat tanda tanya. Alquran menggunakan ungkapan “beriman kepada yang ghaib”,
sesuatu yang berada di luar jangkauan nalar manusia.
Sejak
beberapa tahun terakhir ini dengan meluncurnya batang usia ke atas angka 80,
saya tidak jarang dihadapkan pada teka-teki misterius ini: bagaimana memahami
kekekalan surga dan kekekalan neraka itu. Jika dua alam itu memang serba abadi,
lalu apa bedanya dengan keabadian Tuhan.
Jika
seorang pendosa, katakan sampai berumur 100 tahun, selama 80 tahun 24 jam
sehari semalam, kerjanya hanya berbuat maksiat dengan penuh kebanggaan. Mungkin
saja konsep surga dan neraka pernah didengarnya, tetapi tidak singgah di
hatinya.
Pertanyaannya:
apakah orang ini nanti di seberang makam harus diazab melebihi 80 tahun, lalu
di mana letak keadilan Tuhan dalam kaitan ini? Bagaimana pula nasib umat lain?
Tuan dan Puan dapat menambahkan sederetan pertanyaan yang lebih menghebohkan
lagi.
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bertalian dengan nasib manusia itu, Penerbit
Mizan telah menerbitkan karya Mohammad Hassan Khalil dengan judul asli, Islam
and the Fate of Others: The Salvation Question (Oxfortd: Oxford University
Press, 2012).
Judulnya
dalam bahasa Indonesia: Islam dan Keselamatan Pemeluk Agama Lain (Bandung:
Mizan 2016) melalui alih bahasa Chandra Utama dengan kalimat-kalimat yang
mengalir dan lancar. Kebetulan saya telah pula membaca karya aslinya yang
berasal dari disertasi penulisnya.
Untuk
lebih mengundang para pembaca agar menelaah karya ini, saya turunkan di sini
dua kesaksian, dari KH Husein Muhammad dan saya sendiri. Husein Muhammad di
sampul belakang menulis:
"Inilah
karya ilmiah kontemporer paling cerdas yang membahas problem teologis klasik
paling rumit, sekaligus paling sensitif dan 'berbahaya'. Melalui karya
intelektual luar biasa, Mohammad Hassan Khalil berusaha membongkar habis
pikiran empat tokoh pujaan berjuta Muslim sepanjang masa: al-Ghazali, Ibn
'Arabi, Ibn Taimiyah, dan Rasyid Ridha, untuk pada puncaknya ia mengambil
kesimpulan yang sangat berani bahwa ujung-ujungnya hanya minoritas kecil
non-Muslim yang menghuni neraka selama-lamanya karena kasih-sayang Tuhan
mendominasi kemarahan-Nya. Inilah 'lompatan' hermeneutik kasih sayang."
Adapun
kesaksian saya yang terbaca pada sampul depan bawah bersifat lebih sederhana
dan singkat: “Dengan membaca temuan penulisnya --yang mendasarkan analisisnya
dari ramuan khazanah Islam klasik dan modern-- kita akan bersikap lebih rendah
hati dalam menilai iman orang lain, sahabat kita sesama manusia.”
Kesaksian
Husein Muhammad sekaligus mewakili kegelisahan intelektual sebagian kita,
termasuk saya, dalam berupaya memahami firman Allah mengenai situasi “di
seberang makam” yang memang tidak selalu mudah ditangkap oleh kemampuan daya
nalar kita yang serbaterbatas.
“Resonansi”
ini sengaja tidak akan memasuki lebih mendalam isi buku ini dengan harapan agar
dibaca oleh kalangan publik yang lebih luas dan beragam. Dengan mengikuti
pendapat para pemikir Muslim di atas, suasana toleransi di antara kita yang
berbeda iman akan semakin mantap diwujudkan di Indonesia karena argumen
teologisnya tidak mengada-ada.
Akhirnya,
pandangan ekstrem Ibn 'Arabi tidak perlu mengejutkan kita karena selama ratusan
tahun umat Islam terbelah dua menyikapi sufi besar ini: yang pro menyebutnya
sebagai al-Syaikh al-Akbar (Guru Sufi Terbesar), yang anti menggelarinya
sebagai al-Syaikh al-Akfar (Guru Sufi Yang Paling Kafir). Kita tidak perlu
kehilangan keseimbangan dalam menyikapi perbedaan ekstrem ini. Nalar manusia
tidak jarang menerawang melintasi batas. []
REPUBLIKA,
26 April 2016
Ahmad Syafii Maarif | Mantan Ketua
Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar