Jumat, 08 April 2016

Kang Komar: Mengajar Keluarga Adam Malik



Mengajar Keluarga Adam Malik
Oleh: Komaruddin Hidayat

Suatu hari di tahun 1979, Prof Harun Nasution, masih Rektor IAIN Syarif Hidayatullah saat itu, memanggil saya untuk memberi pelajaran Islam bagi keluarga Wakil Presiden Adam Malik, terutama anak-anaknya.

Pak Adam Malik minta didatangkan guru agama ke rumahnya di Jalan Diponegoro, lalu Pak Harun mempercayakan tugas itu kepada saya. Mereka memerlukan guru agama dengan pendekatan rasional. Mereka lama tinggal di luar negeri. Orang-orangnya senang berdiskusi. “Tipikal orang Batak,” kata Pak Harun, “kamu yang cocok mengajari mereka.” Pengalaman bekerja sebagai wartawan dan pernah aktif di HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) membuat saya cukup percaya diri menerima permintaan ini.

Sesuai jadwal, saya pun datang ke kediaman Adam Malik, Jalan Diponegoro 29. Karena ini tempat kediaman wakil presiden, ketika masuk mesti melewati pemeriksaan, ditanya KTP dan tujuannya apa. Penjagaan ketat, standar rumah pejabat tinggi negara. Saya menghadap Bu Endang, sekretaris Wapres, kemudian diantar ke ruang belajar. Keluarga sudah berkumpul di ruang terbuka dekat taman belakang. Sangat nyaman untuk ruang pertemuan keluarga.

Acara ini saya lakukan setiap hari Jumat, dimulai pukul 9 pagi. Saya mengajar untuk mereka sekitar empat tahun, mengajar layaknya memberi kuliah kepada mahasiswa. Saya buat silabus dan saya bagi buku rujukan pokok. Salah satunya buku Pengantar Studi Islam karya Miftah Farid yang berisikan tema-tema pokok ajaran Islam yang dia persiapkan untuk mahasiswa ITB (Institut Teknologi Bandung).

Peserta intinya adalah putra Pak Adam Malik, yaitu Otto, Budi, Ilham, Rini, dan beberapa keluarga dekat serta staf sekretariat, sehingga rata-rata 10 orang setiap pertemuan. Karena mereka pernah belajar dan tinggal di luar negeri, wawasannya terlihat luas dan terbiasa berdiskusi secara bebas.

Setiap datang ke rumah Wapres, penjaganya selalu berganti-ganti.
Mungkin mereka heran ketika saya lapor mau mengajar agama, mengingat penampilan saya bukan tipikal ustaz. Kesan saya, keluarga itu begitu kompak dan rukun. Senang berkumpul dan pergi bareng-bareng, termasuk juga salat Jumat pindah-pindah masjid di wilayah Jakarta.

Sosok Pak Adam Malik dan Bu Nelly bagaikan rumah tempat anak cucu berkumpul dan berteduh dalam suasana yang selalu hangat. Meski anak-anaknya sudah dewasa dan tinggal di rumah masing-masing, tetap saja rumah di Jalan Diponegoro seakan jadi rumah utama mereka. Jika muncul problem keluarga, orang tua ikut menyelesaikan. Saya sendiri ikut merasakan keakraban keluarga ini.

Sehabis salat Jumat lalu makan bareng sambil ngobrol ke sana kemari. Gosip-gosip politik dan anekdot yang lucu tak pernah lepas dari obrolan.
Pak Adam pernah bercanda, suatu saat temannya kehilangan jam di NewYork. Lalu Pak Adam Malik memberi respons, ”Wah, wah, rupanya ada juga orang Batak yang kerja di sini,” candanya. Saya surprised ketika Pak Adam Malik memberi buku tentang filsafat tasawuf yang rupanya pernah dibacanya. Antara lain tentang tokoh sufi Idries Shah dan buku yang membahas wahdatul wujud, konsep menyatunya sang hamba dan Tuhannya. Manunggaling kawula Gusti.

Lima tahun saya bergaul dekat dengan keluarga Pak Adam Malik. Pernah suatu hari dia menyatakan kekecewaan kepada Pak Harto, gara-gara mengetahui posisinya berakhir sebagai wapres hanya melalui berita surat kabar. Katanya, apa beratnya kalau Pak Harto memberi tahu langsung secara lisan, toh sama-sama teman seperjuangan, sebelum keputusan itu disampaikan ke publik. Ini tidak etis dan melukai persahabatan.

Sebelum menjabat wakil presiden untuk periode 1978-1983, Adam Malik (1917-1984) pernah menjabat duta besar RI (1959), juga pernah menjabat menteri luar negeri pada 1966-1978. Untuk mengenang jasa-jasanya, pada 5 September 1985 Ibu Tien Soeharto meresmikan rumah kediaman di Jalan Diponegoro 29 itu menjadi Museum Adam Malik. Semasa hidup Adam Malik, rumah di Jalan Diponegoro itu berfungsi lebih dari sekadar rumah tempat tinggal, melainkan juga museum pribadi yang menarik minat para pengunjung.

Banyak benda-benda antik seperti batu permata dan guci buatan China yang usianya cukup tua. Koleksi yang paling khas dan tak ada duanya adalah berbagai ragam bentuk dan merek kamera atau tustel yang dipakai sejak Pak Adam Malik meniti karier sebagai wartawan pada zaman prakemerdekaan. Lalu koleksi suvenir yang diterima selama berkarier sebagai diplomat.

Begitu banyak kenangan saya yang bersifat humanis dengan keluarga Adam Malik. Mereka kaya dengan cerita humor dan anekdot politik maupun kehidupan sehari-hari. Saya sendiri sejak itu merasa akrab dengan Istana Wapres dan sosok wapres penerus Adam Malik karena sering diminta memberi khotbah Jumat dan ceramah pada hari-hari besar keagamaan.

Pada 1985 saya meninggalkan Jakarta, meneruskan kuliah tingkat master dan doktor di Turki, sebuah pergulatan baru menjadi mahasiswa miskin dimulai lagi. Beredarnya berita bahwa museum Adam Malik mengalami kebangkrutan dan banyak koleksinya hilang membuat hati saya ikut teriris sedih. []

KORAN SINDO, 01 April 2016
Komaruddin Hidayat ;   Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar