Mengajar
Keluarga Adam Malik
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Suatu
hari di tahun 1979, Prof Harun Nasution, masih Rektor IAIN Syarif Hidayatullah
saat itu, memanggil saya untuk memberi pelajaran Islam bagi keluarga Wakil
Presiden Adam Malik, terutama anak-anaknya.
Pak Adam
Malik minta didatangkan guru agama ke rumahnya di Jalan Diponegoro, lalu Pak
Harun mempercayakan tugas itu kepada saya. Mereka memerlukan guru agama dengan
pendekatan rasional. Mereka lama tinggal di luar negeri. Orang-orangnya senang
berdiskusi. “Tipikal orang Batak,” kata Pak Harun, “kamu yang cocok mengajari
mereka.” Pengalaman bekerja sebagai wartawan dan pernah aktif di HMI (Himpunan
Mahasiswa Islam) membuat saya cukup percaya diri menerima permintaan ini.
Sesuai
jadwal, saya pun datang ke kediaman Adam Malik, Jalan Diponegoro 29. Karena ini
tempat kediaman wakil presiden, ketika masuk mesti melewati pemeriksaan,
ditanya KTP dan tujuannya apa. Penjagaan ketat, standar rumah pejabat tinggi
negara. Saya menghadap Bu Endang, sekretaris Wapres, kemudian diantar ke ruang
belajar. Keluarga sudah berkumpul di ruang terbuka dekat taman belakang. Sangat
nyaman untuk ruang pertemuan keluarga.
Acara ini
saya lakukan setiap hari Jumat, dimulai pukul 9 pagi. Saya mengajar untuk
mereka sekitar empat tahun, mengajar layaknya memberi kuliah kepada mahasiswa.
Saya buat silabus dan saya bagi buku rujukan pokok. Salah satunya buku
Pengantar Studi Islam karya Miftah Farid yang berisikan tema-tema pokok ajaran
Islam yang dia persiapkan untuk mahasiswa ITB (Institut Teknologi Bandung).
Peserta
intinya adalah putra Pak Adam Malik, yaitu Otto, Budi, Ilham, Rini, dan
beberapa keluarga dekat serta staf sekretariat, sehingga rata-rata 10 orang
setiap pertemuan. Karena mereka pernah belajar dan tinggal di luar negeri,
wawasannya terlihat luas dan terbiasa berdiskusi secara bebas.
Setiap
datang ke rumah Wapres, penjaganya selalu berganti-ganti.
Mungkin
mereka heran ketika saya lapor mau mengajar agama, mengingat penampilan saya
bukan tipikal ustaz. Kesan saya, keluarga itu begitu kompak dan rukun. Senang
berkumpul dan pergi bareng-bareng, termasuk juga salat Jumat pindah-pindah
masjid di wilayah Jakarta.
Sosok Pak
Adam Malik dan Bu Nelly bagaikan rumah tempat anak cucu berkumpul dan berteduh
dalam suasana yang selalu hangat. Meski anak-anaknya sudah dewasa dan tinggal
di rumah masing-masing, tetap saja rumah di Jalan Diponegoro seakan jadi rumah
utama mereka. Jika muncul problem keluarga, orang tua ikut menyelesaikan. Saya
sendiri ikut merasakan keakraban keluarga ini.
Sehabis
salat Jumat lalu makan bareng sambil ngobrol ke sana kemari. Gosip-gosip
politik dan anekdot yang lucu tak pernah lepas dari obrolan.
Pak Adam
pernah bercanda, suatu saat temannya kehilangan jam di NewYork. Lalu Pak Adam
Malik memberi respons, ”Wah, wah, rupanya ada juga orang Batak yang kerja di
sini,” candanya. Saya surprised ketika Pak Adam Malik memberi buku tentang
filsafat tasawuf yang rupanya pernah dibacanya. Antara lain tentang tokoh sufi
Idries Shah dan buku yang membahas wahdatul wujud, konsep menyatunya sang hamba
dan Tuhannya. Manunggaling kawula Gusti.
Lima
tahun saya bergaul dekat dengan keluarga Pak Adam Malik. Pernah suatu hari dia
menyatakan kekecewaan kepada Pak Harto, gara-gara mengetahui posisinya berakhir
sebagai wapres hanya melalui berita surat kabar. Katanya, apa beratnya kalau
Pak Harto memberi tahu langsung secara lisan, toh sama-sama teman seperjuangan,
sebelum keputusan itu disampaikan ke publik. Ini tidak etis dan melukai
persahabatan.
Sebelum
menjabat wakil presiden untuk periode 1978-1983, Adam Malik (1917-1984) pernah
menjabat duta besar RI (1959), juga pernah menjabat menteri luar negeri pada
1966-1978. Untuk mengenang jasa-jasanya, pada 5 September 1985 Ibu Tien
Soeharto meresmikan rumah kediaman di Jalan Diponegoro 29 itu menjadi Museum
Adam Malik. Semasa hidup Adam Malik, rumah di Jalan Diponegoro itu berfungsi
lebih dari sekadar rumah tempat tinggal, melainkan juga museum pribadi yang
menarik minat para pengunjung.
Banyak
benda-benda antik seperti batu permata dan guci buatan China yang usianya cukup
tua. Koleksi yang paling khas dan tak ada duanya adalah berbagai ragam bentuk
dan merek kamera atau tustel yang dipakai sejak Pak Adam Malik meniti karier
sebagai wartawan pada zaman prakemerdekaan. Lalu koleksi suvenir yang diterima
selama berkarier sebagai diplomat.
Begitu
banyak kenangan saya yang bersifat humanis dengan keluarga Adam Malik. Mereka
kaya dengan cerita humor dan anekdot politik maupun kehidupan sehari-hari. Saya
sendiri sejak itu merasa akrab dengan Istana Wapres dan sosok wapres penerus
Adam Malik karena sering diminta memberi khotbah Jumat dan ceramah pada
hari-hari besar keagamaan.
Pada 1985
saya meninggalkan Jakarta, meneruskan kuliah tingkat master dan doktor di
Turki, sebuah pergulatan baru menjadi mahasiswa miskin dimulai lagi. Beredarnya
berita bahwa museum Adam Malik mengalami kebangkrutan dan banyak koleksinya
hilang membuat hati saya ikut teriris sedih. []
KORAN
SINDO, 01 April 2016
Komaruddin
Hidayat ; Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar