Peran
Sosial Agama
Oleh:
Komaruddin Hidayat
Dalam
pandangan Marxian, kritik dan solusi yang ditawarkan agama untuk mengatasi
problem sosial tidak pernah tepat sasaran karena salah asumsi dan metode.
Ketika
merebak kemiskinan dan kesengsaraan, misalnya, solusinya mesti melalui analisis
dan aksi sosial secara empiris dan terukur, bukan dengan lari kepada Tuhan yang
akan memberikan penyembuhan psikologis sesaat, tetapi masalah utamanya tidak
terselesaikan. Formula kebenaran agama berdasarkan kepercayaan yang bersifat
subyektif sulit diukur dan dikuantitatifkan, sementara masalah sosial ekonomi
sangat empiris. Tidak tepat diselesaikan dengan cara pandang
normatif-metafisis. Tulisan ini akan mengulas secara singkat perbedaan metode
kerja ilmu alam, ilmu sosial, dan ilmu agama dalam kontribusinya dalam
menyelesaikan masalah sosial.
Ilmu alam
Obyek
kajian ilmu alam dan kinerjanya lebih jelas dan konsisten dibandingkan dengan
ilmu sosial dan humaniora. Variabelnya relatif homogen dan statis sehingga
keberhasilannya mudah diukur dan diramal (predictable). Dalam kajian ilmu alam,
antara subyek yang meneliti dan obyek yang diteliti terdapat jarak dan
perbedaan karakter yang jelas sehingga ilmu alam sering disebut sebagai hard
science atau exact science. Kalaupun terjadi deviasi dan kesalahan dalam
membuat kesimpulan mudah dievaluasi dan diverifikasi secara faktual-empiris
sehingga dengan demikian para saintis pun mudah untuk sepakat ketika dihadapkan
pada bukti empiris.
Pada
tataran teknis-aplikatif, jasa ilmu alam yang paling nyata adalah dalam jasa
kedokteran yang tidak membedakan ras, suku, dan agama. Jasa lainnya yang juga
mencolok adalah dalam layanan teknologi transportasi dan informasi. Siapa pun
orangnya, apa pun agamamya, mereka bukannya menolak jasa sains, sebaliknya
malah rela mengeluarkan dana besar untuk memperolehnya. Dengan demikian,
penyebaran produk sains dan sikap masyarakat dalam menerimanya lebih luas dan
lebih lapang ketimbang penyebaran agama. Masyarakat modern tidak bisa hidup
tanpa jasa sains dan teknologi, sekalipun tanpa agama.
Ilmu
sosial
Adapun
ilmu sosial dan humaniora antara subyek yang meneliti dan obyek yang diteliti
batasnya kabur karena sama-sama manusia yang memiliki kehendak dan emosi yang
selalu berubah-ubah. Variabelnya begitu banyak dan heterogen ketika kita hendak
mempelajari dunia manusia. Tidak mudah membuat formula idealstate of society
yang diterima dan disepakati oleh para ilmuwan sosial, bahkan juga oleh masyarakat
pada umumnya. Meskipun begitu cara kerja serta hasil yang ditawarkan ilmu
sosial masih mudah dievaluasi dan diverifikasi mengingat data dan pengalaman
yang ditampilkan bersifat empiris-historis, sekalipun asumsi dan variabelnya
begitu banyak. Setiap komunitas dan bangsa memiliki mimpi, ingatan kolektif,
mitos, keinginan, dan agenda hidup yang tidak sama, yang selalu berkembang
dinamis dari zaman ke zaman.
Dengan
memanfaatkan jasa ilmu alam dan teknologi, ilmu sosial berusaha melakukan
rekayasa sosial untuk membantu memenuhi kebutuhan dasar manusia, terutama dalam
aspek kesejahteraan sandang, papan, pangan, dan kesehatan sebagaimana yang
diperjuangkan oleh ideologi sosialisme dan kapitalisme. Akan tetapi,
kenyataannya, warga dunia yang miskin, kurang gizi, dan tunawisma masih
ditemukan di mana-mana, sementara mereka yang hidup mewah juga semakin banyak.
Untuk
mengatasi ini, maka ilmu sosial selalu berusaha keras agar bisa menghasilkan
berbagai resep dan formula politik yang bertujuan membantu penyelenggaraan
pemerintahan sebuah negara agar warganya terpenuhi dan terlindungi hak- haknya.
Akan tetapi, lagi-lagi, peperangan dan berbagai bentuk penindasan manusia
terhadap yang lain juga terjadi di mana- mana. Demokrasi yang oleh sebagian
orang dianggap mantra suci dan sakti masih juga menyisakan problem sosial yang
tidak bisa diselesaikan.
Jika ilmu
alam berusaha menginterogasi obyek alam lewat laboratorium agar alam
mengenalkan diri akan sifat-sifatnya sehingga terhimpun laws of nature, ilmu
sosial pun berbuat serupa, yaitu melakukan penelitian mengenai apa yang menjadi
sifat dasar manusia serta apa saja yang didambakan sepanjang sejarahnya
sehingga terhimpun berbagai asumsi dan hasil penelitian empiris yang kemudian
dikuantitatifkan. Namun, ternyata sistem nilai dan perilaku manusia
berbeda-beda antara masyarakat yang satu dari yang lain dikarenakan faktor yang
juga berbeda-beda. Karena itu, tidak ada satu grand theory dan paradigma ilmu
sosial yang bersifat universal. Kalaupun ada, paradigma ilmu sosial pun tidak
sesolid kaidah-kaidah ilmu alam.
Di
Indonesia, pakar-pakar ilmu sosial, terutama dalam bidang ekonomi dan politik,
mesti jujur dan rendah hati untuk mengakui kesalahan-kesalahan asumsi dan
formula yang disodorkan kepada pemerintah yang ternyata tidak berhasil
menyejahterakan rakyat. Resep dan formulanya pasti ada yang keliru. Saat ini,
misalnya, kita sepertinya lagi heboh dan mabuk demokrasi, tetapi korupsi selalu
saja terjadi, kualitas kehidupan kita menurun. Berbagai perangkat negara sudah
komplet, tetapi bangsa ini seperti berjalan di tempat, padahal pengeluaran
anggaran belanja negara semakin membengkak.
Ilmu
agama
Asumsi,
premis, dan cita ideal yang ditawarkan ilmu agama berbeda lagi. Ciri dan
kekuatan pokok agama adalah kepercayaan atau iman kepada Tuhan dan kepada
hal-hal metafisik. Agama hadir dengan himpunan norma-norma atau nilai kehidupan
agar seseorang selamat di dunia dan kehidupan setelah mati. Setiap agama
mengajarkan doktrin eskatologis (kehidupan setelah mati) dan keselamatan
(salvation) yang kemudian disertasi konsep surga-neraka. Masuk surga adalah
target dan tujuan akhir misi kehidupan, sekalipun ada yang mau membayarnya
dengan menjalani hidup miskin dan meledakkan bom bunuh diri agar meraih surga.
Tak mudah
merumuskan idealstate of society menurut ilmu agama karena yang selalu
ditawarkan adalah himpunan nilai baik dan buruk yang bersumber dari wahyu
(revelation). Menurut ajaran Islam, misalnya, tidak ada preferensi absolut
apakah sebuah pemerintahan mau menerapkan model demokrasi, kerajaan,
kapitalisme, sosialisme, ataupun yang lain. Yang penting butir-butir norma
agama dilaksanakan. Begitu pun gambaran hidup setelah mati kita tidak mempunyai
data empiris. Yang ada adalah sederet ancaman siksa neraka jika menabrak norma agama
dan insentif kenikmatan surgawi sebagai ganjaran dari ketaatan melaksanakan
tuntunan agama ketika hidup di dunia. Ketika berbicara surga-neraka, kitab suci
pun menggunakan ungkapan metaporis karena sesungguhnya otak dan perasaan hanya
akan mengetahui dan mengenal apa yang pernah dialami sebelumnya.
Salah
satu kekuatan agama yang membuatnya selalu eksis sepanjang zaman adalah agama
memberikan makna dan harapan ketika seseorang dihadapkan derita dan misteri
hidup yang sulit diterima nalar, sementara ilmu tidak mampu menjawabnya. Dalam
ungkapan lain, agama memberikan sense of meaning and purpose of life
berdasarkan iman. Di sinilah salah satu kekuatan agama, yang oleh pengkritiknya
di sini pula kelemahan agama yang dinilai memanipulasi derita dan misteri hidup
dengan jawaban yang sangat metafisis-spekulatif.
Dalam
relasi sosial, agama memiliki peran integratif bagi umatnya yang seiman, yang
sekaligus juga peran disintegratif terhadap yang berbeda keyakinan imannya.
Makanya, setiap agama cenderung eksklusif (to exclude), bukannya inklusif (to
include) terhadap kelompok luar. Namun, sikap eksklusif ini bukan monopoli
agama mengingat spirit sukuisme dan nasionalisme-chauvinisme juga memiliki
kecenderungan serupa. Konflik antar- bangsa, suku, dan kelas akan semakin
mengeras jika memperoleh amunisi dari spirit keagamaan sehingga semangat
membela agama dan suku tidak bisa lagi dipisahkan.
Kohesivitas
dan solidaritas iman berlangsung lintas negara dan bangsa, dan bisa mengalahkan
loyalitas seseorang kepada bangsa dan negaranya. Makanya, kita melihat sepak
terjang kelompok teroris yang mengaku memperjuangkan agama kiprahnya melintasi
batas negara. Mereka telah mengalahkan rasa takut mati karena justru dengan
kematian semakin dekat kepada cita-cita ideal tertinggi untuk masuk surga.
Betulkah mereka masuk surga setelah membunuh dan mencelakakan banyak orang
tidak bersalah, keyakinan dan klaim kebenaran itu tidak bisa diverifikasi
sebagaimana yang berlaku dalam ilmu alam-ilmu sosial yang bersifat empiris.
Meskipun
agama merupakan himpunan normatif dan sebagian lagi askriptif, banyak data dan
fakta bahwa agama juga telah melahirkan pribadi-pribadi pejuang moral pencerah
zaman. Akan tetapi, dalam konteks rekayasa sosial, di zaman modern ini koalisi
hasil kerja ilmu alam dan ilmu sosial-humaniora jauh lebih memperlihatkan
hasilnya ketimbang ilmu agama. Bahkan, untuk melaksanakan pesan dan tuntutan
nilai agama, jasa ilmu sosial dan sains amat sangat diperlukan. Misalnya, pesan
agama untuk hidup sehat, tanpa dukungan kinerja ilmu kedokteran sulit
dilaksanakan. Begitu pun untuk memberantas kejahatan, agama sangat memerlukan
institusi negara yang dirancang oleh ilmu sosial yang dipersenjatai oleh hasil
kinerja ilmu alam.
Jadi,
dengan esai singkat ini saya hanya ingin mengajak pembaca melihat ulang peran
sosial agama yang kadang klaimnya begitu luas, agama dapat menyelesaikan semua
persoalan hidup. Dunia akan beres dengan agama. Religion is a solution.
Sementara yang mengemuka, ekspresi dan peran sosial agama di sejumlah wilayah
justru destruktif, menjadi sumber keresahan dan keributan. Kita sepakat bahwa
agama menawarkan nilai-nilai kebajikan hidup dan menjanjikan keselamatan
akhirat. Namun, mengapa untuk meraih surga di akhirat ada yang mesti
membayarnya dengan menciptakan kegaduhan dan ketakutan warga dunia? Lalu, peran
sosial apa yang hendak ditawarkan? Jika yakin bahwa agama yang dianutnya datang
dari Tuhan Yang Maha Mencintai dan Mengasihi penduduk Bumi, mestinya ekspresi
keberagamaan seseorang akan jadi instrumen penyebar cinta kasih Tuhan terhadap
sesamanya dalam rangka membangun kehidupan yang berkeadaban.
Pengalaman
Indonesia
Dalam hal
kehidupan sosial keagamaan, Indonesia sangat kaya dan unik. Agama telah
mendorong lahirnya organisasi sosial keagamaan, bahkan juga partai politik,
yang membantu peran negara dalam mendidik dan mencerdaskan warga negara. Negara
sangat berterima kasih kepada agama sehingga dengan APBN negara memberikan
dukungan finansial dan politik kepada berbagai institusi sosial keagamaan.
Tokoh dan institusi sosial keagamaan juga memberikan dukungan dan masukan moral
kepada pemerintah dan negara. Yang perlu dijaga adalah jangan sampai ruang
publik dan institusi negara dijadikan obyek kontestasi hegemoni agama karena
sifat pemeluk agama yang cenderung eksklusif dan sulit menerima kritik. Yang
muncul adalah relasi kalah-menang, padahal di antara mereka baru pemula dalam
mempelajari agama. []
KOMPAS,
22 April 2016
Komaruddin HidayatGuru Besar Fakultas Psikologi UIN Syarif
Hidayatullah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar