Perombakan
Kabinet
Oleh:
Yudi Latif
Salah
satu isu politik terhangat yang menyedot perhatian publik dalam beberapa pekan
terakhir adalah rencana perombakan kabinet pemerintahan Joko Widodo-Jusuf
Kalla. Dimensi perombakan kabinet kali ini mengandung bobot konfliktual yang
menegangkan, menyusul perselisihan internal dalam kabinet.
Saling
serang antarmenteri, bahkan antara menteri dan ”atasannya”, membuka watak dasar
kabinet koalisi pemerintahan ini, yakni koalisi kepentingan tanpa kesamaan visi
ideologis.
Kendati
pada titik keberangkatannya, pasangan ini menjanjikan koalisi ramping tanpa
syarat dengan konsepsi ideologis yang kental dalam sesanti Trisakti dan
Nawacita, dalam perjalanannya telah tercegat di berbagai tikungan. Pemerintahan
ini seperti menanggung beban utang politik yang besar untuk segera dilunasi
kepada para ”investornya” dengan mengakomodasi kaki-tangannya di kabinet.
Akibatnya,
yang muncul adalah kabinet gado-gado yang dipersatukan oleh kepentingan
pragmatis. Sejak itu, konsepsi ideologi Nawacita tidak menemukan basis
institusional dan agen sosialnya dan lekas menjelma menjadi slogan kosong. Menteri-menteri
berhaluan liberal yang ramah kepentingan asing dan korporatokrasi lokal
bersanding dengan menteri-menteri berhaluan kedaulatan nasional/rakyat. Dalam
era kebebasan berpendapat dan kebebasan informasi, konflik laten dalam kabinet
ini meledak keluar memanifestasikan konflik terbuka yang membingungkan nalar
publik.
Dimensi
lain yang menambah potensi konflik dalam kabinet ini adalah kehausan
menteri-menterinya untuk berlomba mengembangkan politik pencitraan. Obsesi
besar untuk merekayasa pencitraan ini merupakan overkompensasi atas mediokritas
rerata kualitas menteri, yang bersejalan/paralel dengan kelangkaan ”nama-nama
besar” di panggung politik.
Ketika
banyak orang mulai kehilangan kekaguman pada ”nama-nama besar”, secara naluriah
mereka mengalihkan kekagumannya kepada diri sendiri. Banyak menteri yang
mematut-matut dirinya sebagai pemimpin besar. Masalahnya, gejala pemujaan
terhadap diri sendiri itu tidaklah didukung oleh kerangka sosialitas yang dapat
mengembangkan otonomi dan karakter individu. Dalam lemahnya kepastian hukum dan
ekosistem kreativitas, ruang otonomi individu dipersempit oleh keharusan
keguyuban. Kebanyakan individu tumbuh dengan mentalitas konformis, bukan subyek
berdaulat yang bisa mengambil jarak dari tradisi buruk.
Kumpulan
individu-individu guyub tak dapat melahirkan masyarakat kreatif. Kreativitas
sosial memerlukan tumbuhnya eksentrisitas. ”The amount of eccentricity in a
society,” ujar John Stuart Mill, ”has generally been proportional to the amount
of genius, mental vigor and moral courage it contained.”
Bahwa
saat ini, Indonesia mengalami defisit orang-orang eksentrik berkarakter yang
memiliki kekuatan mental, kebernasan gagasan dan keberanian moral untuk
mengambil pilihan sendiri di luar kelatahan dan tekanan luar, merupakan
pertanda kegagalan sistem kaderisasi dan desain institusi demokrasi yang
mengandalkan kekuatan uang dan popularitas.
Dalam
lemahnya kekuatan karakter, imajinasi dan orisinalitas, obsesi politik sebagai
ekspresi pemujaan diri lebih menguatkan semangat komodifikasi yang reseptif dan
konsumtif, ketimbang sebagai ekspresi subyek kreatif dan produktif. Dunia
politik dan kabinet disesaki onggokan politikus plastik, kehebohan aksi
selebritas, dan jorjoran pencitraan, tetapi miskin isi, miskin visi, hampa
darma.
Perilaku
elite politik dan menteri tersebut sangat menggelisahkan. Berdasarkan
pengalaman sejumlah negara, yang paling bertanggung jawab atas keruntuhan suatu
demokrasi bukanlah orang-orang biasa, melainkan perilaku elite politik (Bermeo,
2003). Sumber utama krisis politik di negeri ini tidaklah terletak pada ”sisi
permintaan” (rakyat di akar rumput). Sebaliknya, sumber krisis politik itu
berasal dari kelemahan ”sisi penawaran”; dari ketidakmampuan aktor politik
untuk membangkitkan kepercayaan rakyat. Dengan meminjam ungkapan Bung Karno,
para pemimpin kita gagal membangkitkan spirit, kehendak, dan perbuatan rakyat.
Politik
dan pemerintahan tanpa visi ideologis tak menyediakan basis nilai dan harapan.
Tanpa kejelasan visi, politik kehilangan peta jalan ke arah mana masyarakat
akan diarahkan, prioritas nasional apa yang akan dipilih, fokus pembangunan apa
yang akan disasar, dan akhirnya pengorbanan apa yang dituntut dari rakyat.
Politik tanpa visi sekadar kemeriahan pesta pora yang menyesatkan; memberi
harapan semu dengan biaya mahal, tanpa arah ke depan, tanpa perenungan
mendalam, dan tanpa komitmen pada penyelesaian masalah-masalah mendasar.
Reaksi
balik kejenuhan banyak orang terhadap politik permukaan mulai terlihat dari
bangkitnya kesadaran publik terhadap segi-segi substantif. Salah satu indikasi
dari kesadaran ini adalah mencuatnya kehendak publik untuk memulihkan Garis-garis
Besar Haluan Negara yang ditetapkan oleh seluruh kekuatan rakyat melalui
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Gelombang kesadaran publik pada segi-segi
substatif ini pada gilirannya akan mengempaskan pemerintahan pencitraan ke
tepian.
Jika
pemerintahan Jokowi masih ingin menyelamatkan kewibawaannya dan kepercayaan
publik, maka komitmen pemerintah pada visi Trisakti dan Nawacita harus
dipulihkan dengan mengganti menteri-menteri yang tidak sejalan dengan visi
ideologis tersebut. Jika perombakan kabinet hanya sekadar untuk mempertahankan
kekuasaan, pemerintah yang naik dengan tingginya harapan publik akan turun
dengan tingginya frustrasi sosial. []
KOMPAS,
12 April 2016
Yudi Latif | Steering Committee, Konvensi Nasional tentang Haluan
Negara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar