Pondok Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-sunnah Ciputat – Tangerang
Ingin Luruskan Pemahaman Hadis
Ada beberapa alasan kuat, mengapa Pesantren Luhur Ilmu Hadis
Darus-Sunnah didirikan. Menurut pendiri dan pengasuhnya, Prof KH Ali Mustafa
Ya'qub MA, alasan yang kuat mengapa pesantren yang beralamat di Jalan SD Inpres
no 11 Pisangan Barat Ciputat itu didirikan karena masih adanya umat Islam yang
tidak tahu persis tentang hadis, apakah hadis itu shahih, dhaif, atau
bahkan palsu.
Alasan kedua, sambung imam besar Masjid Istiqlal Jakarta ini, juga masih
banyak sekali ulama kalau ditanya tentang sebuah hadis, ia kemudian tidak bisa
memberikan jawaban yang memuaskan. ''Ini pemicu yang paling utama sekali
mengapa pesantren Luhur Ilmu Hadits Darussunah itu didirikan," ujarnya.
Tahun 1997, berdirilah pesantren yang setingkat perguruan tinggi ini.
Seluruh santri Darus-Sunah adalah mahasiswa. Mereka selain nyantri
juga kuliah di berbagai perguruan tinggi di Jakarta. Seleksi masuk ke pesantren
ini sangat ketat. Bahasa Arab menjadi bahasa pengantar perkuliahan.
Ia tak mematok jumlah santri banyak-banyak. Saat ini, hanya ada 60 orang
santri yang digembleng khusus sebagai penjaga kemurnian hadis itu. Pakar hadis
Asia Tenggara ini turun tangan sendiri mengajar para santri.
Menurut Prof Ali, dengan belajar ilmu hadis itu, pemahaman yang
salah bisa diluruskan. Misalnya tentang hadis yang menyebut perempuan
diciptakan dari tulang rusuk kaum Adam. Pemahaman itu keliru, kata dia, karena
yang benar, wanita itu diciptakan seperti sifatnya tulang rusuk lelaki.
"Jadi sifatnya saja. Sifat dari tulang rusuk itu bengkok, gampang patah.
Kenapa bisa terjadi demikian? Karena orang memandang hadis itu dari satu versi
saja."
Contoh lainnya adalah tentang ibadah umrah selama bulan Ramadhan. Nabi
SAW sendiri, kata dia, tidak pernah melakukan ibadah umrah pada bulan Ramadhan.
Begitu juga orang yang berulang kali pergi berhaji. "Nabi sendiri haji
hanya sekali padahal punya kesempatan tiga kali. Nabi hanya umrah tiga kali
padahal punya kesempatan ratusan kali. Itu harusnya menjadi ukuran kita."
Menurut dia, seandainya umrah pada bulan Ramadhan lebih unggul dari ibadah
lain, tentu nabi sudah mengerjakan ribuan kali.
***
Tak mudah membesarkan perantren yang spesifik seperti ini. Awal berdiri,
Darus-Sunah hanya memiliki tiga santri. Mereka belajar di rumah Ali Mustafa di
kawasan Ciputat, Tangerang. Sebelumnya, Ali Mustafa memberi pengajian rutin
tentang hadis-hadis Bukhari dan Muslim di rumahnya.
Suatu saat, kata dia, Jakarta diguyur hujan sejak dini hari sampai pagi.
Prof Ali menduga para santrinya tak bakal datang untuk belajar ilmu hadis,
karena mereka tinggal tersebar di Jakarta. Dugaannya meleset. Berbasah-basah,
satu persatu santrinya berdatangan.
Ia pun berpikir untuk membuat asrama. Tanah kosong di belakang rumahnya
disulap menjadi asrama dua tingkat dengan enam kamar ukuran 3 X 3 meter dan
empat kamar mandi. Saat asrama berdiri, jumlah santrinya sudah bertambah
menjadi 40 orang.
Karena tak mungkin menampung semua, seleksi ulang dilakukan. Hanya 20
santri yang bisa ditampung di asramanya.
Kendati pesantrennya kini luasnya mencapai 1.000 meter persegi, setiap
tahun pihaknya hanya menerima 20 santri, dari ratusan peminat yang mendaftar
tiap awal semester ganjil. Seperti layaknya mahasiswa yang belajar untuk meraih
gelar strata satu, lama belajar di pesantren ini juga empat tahun. Setelah
lulus, alumninya akan menguasai tiga komponen ilmu hadis, yaitu muthalaah
hadits, takridz hadits, dan ketiga, dia bisa memahami hadis itu.
Sampai saat ini, Darus-Sunah sudah meluluskan 67 sarjana ilmu hadis di
Indonesia.Para alumni menguasai hadis setelah selesai mengkaji semua
kitab-kitab karya Bukhari, Muslim, Abu Daud,
At-Tirmidzi, dan An-Nisai.
At-Tirmidzi, dan An-Nisai.
Namun belakangan ia diprotes banyak kiai. Bukan karena
"proyek" pelurusan hadisnya, tapi karena pesantrennya hanya menerima
20 orang santri. "Mereka gratis, nggak ada SPP, nggak ada
uang asrama, cuma mereka makan sendiri. Mbok terima santrinya yang
banyak, sehingga keaslian hadis bisa dijaga lebih banyak orang," ia
menirukan protes itu.
Itu sebabnya, ia kini meluaskan pesantrennya. Tanah kosong di dekat
lokasi lama sudah dibeli dan akan segera dibangun asrama khusus untuk santri
pria. Jadi nantinya jumlah santri adalah 60 santriwati dan 120 santriwan.
"Untuk biaya operasional saya menyiapkan suatu dana sabilillah yang
mudah-mudahan mendapat bantuan dari umat Islam Indonesia,'' ujarnya
Format dan Masa Pendidikan
Metode pendidikan di Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah merupakan
kombinasi antara sistem pesantren dan perguruan tinggi. Antara dzikir dan
fikir. Antara penghayatan pengamalan ilmu dan penalaran kritis intelektual.
Masa pendidikan adalah delapan semester atau empat tahun, dengan waktu
belajar pukul 05.00 - 06.30 WIB dan pukul 19.15-21.30 WIB. Sistem pengajian
pada masing-masing waktu tersebut tidaklah sama. Pada pukul 19.15-21.30 WIB,
metode yang digunakan adalah diskusi mahasantri yang dibagi ke dalam beberapa
kelompok (usrah), guna memahami dan mendiskusikan materi yang telah
ditentukan dalam silaby yang akan dikaji keesokan harinya bersama kiai atau
ustadz pengajar. Sementara pengajian pagi hari menggunakan metode sorogan,
yaitu mahasantri membaca materi dan menjelaskan apa yang telah dibacanya. Dan
jika dianggap perlu, Kiai atau pengajar dapat memberikan pertanyaan kepada
santri untuk mengetahui seberapa besar pemahaman mahasantri terhadap materi
yang sedang dibahas. Kiai atau pengajar memilih mahasantri yang membaca secara
acak (randomn)
Metode sorogan digunakan pada materi Kutub Sittah (Shahih
al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa`i,
dan Sunan ibn Majah), Ilmu Hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, dan Akidah. Sementara
mata kuliah lain disampaikan dengan metode taken for granted, di mana
pengajar menjelaskan materi lalu diikuti sesi tanya jawab dan diskusi kelas.
Dalam kegiatan belajar-mengajar, dan kegiatan-kegiatan resmi lainnya
digunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar.
Kualifikasi Mahasantri
Mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah dikategorikan menjadi
dua kelompok, yaitu muntazhim dan muntasib. Mahasantri muntazhim
adalah mahasantri yang berhak tinggal di asrama, sementara mahasantri muntasib
adalah mereka yang tinggal di luar asrama. Penentuan kategori muntazhim atau
muntasib ini dilakukan dengan mekanisme ujian seleksi masuk Pesantren.Namun
demikian, baik mahasantri muntazhim maupun muntasib, keduanya
memperoleh pelajaran dan hak-hak yang sama.
Pengkategorian ini dilakukan karena terbatasnya lokal asrama, sehingga
tidak semua mahasantri yang telah memenuhi kualifikasi dapat tinggal di asrama.
Hal ini juga dilakukan karena metode sorogan yang dilakukan pada pengajian pagi
tidak memungkinkan dilakukan bersama mahasantri yang jumlahnya banyak.
Pembatasan jumlah mahasantri muntazhim juga dimaksudkan agar pembinaan dan
pengawasan mahasantri dapat dilakukan dengan optimal.
Hingga saat ini jumlah mahasantri yang mengenyam studi di pesantren
Darus-sunnah mencapai 105 orang, dan 47 orang diantaranya telah mengikuti
wisuda yang diselenggarakan setiap satu tahun sekali.
Selama 4 tahun mengaji di Darus-sunnah, mahasantri telah membaca seluruh
kutub sittah (sekitar 20 jilid), mengkaji Fiqh dan Ushul Fiqh serta Fiqh
Muqarin (perbandingan), mempelajari Akidah, Ilmu Hadis, Bahasa dan Sastra Arab.
Dan bagi mahasantri muntazhim yang tamat dari Pesantren Luhur Ilmu Hadis
Darus-Sunnah serta menyerahkan tugas akhir berupa takhrij hadis yang ditugaskan
oleh khadim ma’had (pengasuh pesantren) akan diberikan Ijazah Licence
(Lc).
Tipologi Mahasantri
Mahasantri Darus-Sunnah berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan
prosentasi 75 % berasal dari pulau Jawa, baik dari Jawa Barat (Jakarta,
Tangerang, Bekasi, Karawang, Subang, Bogor, Tasik, Cirebon, Banten, Bandung,
Sumedang, dan lain sebagainya), Jawa Tengah (Batang, Tegal, Pati, Solo, dan
Kudus), dan Jawa Timur (Madura, Lirboyo, Jombang, Tuban, dan Kediri), dan 24 %
berasal dari Sumatera Barat (Payakumbuh, Batu Sangkar, Pariaman, Sawah Lunto),
Riau, Jambi dan Lampung. Sementara selebihnya (1%) adalah utusan dari luar Jawa
dan Sumatera (Maluku, Lombok. Kalimantan, dan Bali). Hampir seluruhnya (100%)
memiliki latar belakang pesantren, dalam artian sudah pernah mengenyam
pendidikan pesantren sebelumnya.
Darus-sunnah adalah Pesantren mahasiswa, sebagian besar di antaranya
adalah mahasiswa universitas Syarif Hidayatullah Jakarta, meskipun dengan
fakultas dan jurusan yang berbeda-beda. Jurusan dan konsentrasi yang diambil
bervariasi, dari Fakultas Tarbiyah, dan Dirasat Islamiyah hingga
Sains-Teknologi, dan Kedokteran. Namun demikian, sebagian besar (96%) merupakan
mahasiswa jurusan keagamaan.
Beberapa mahasantri bahkan mengambil dua kuliah sekaligus di universitas
yang berbeda. Dan kebanyakan mahasantri Darus-sunnah adalah aktivis kampus,
beberapa di antaranya pernah menjadi ketua senat mahasiswa (Badan Eksekutif
Mahasiswa) dan telah memiliki pekerjaan. Hal ini dimungkinkan karena waktu
pembelajaran pesantren dilakukan pada malam dan pagi hari. Dan nampaknya
pembelajaran yang dilakukan di pesantren mendukung dan selaras dengan aktivitas
perkuliahan di luar Darus-sunnah, melihat setiap tahunnya selalu ada mahasantri
Darus-sunnah yang menjadi wisudawan terbaik di masing-masing universitas.
Biaya Pendidikan
Kegiatan belajar-mengajar di pesantren Darus-sunnah tidak dipungut biaya
sama sekali alias gratis. Sebagai gantinya, setiap Mahasantri wajib memiliki
sendiri kitab-kitab yang dikaji. Pesantren juga menyediakan perpustakaan,
khususnya untuk literatur Hadis.
Dan untuk penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar, setiap santri
membayar iuran (infaq) yang besarnya ditentukan musyawarah mahasantri. Iuran
ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan pesantren, seperti biaya listrik,
telepon, berlangganan majalah dan surat kabar, dan subsidi bagi organ-organ
ekstrakulikuler Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah. Sementara biaya
pembangunan pesantren dan insentif pengajar, ditanggung oleh pengasuh pesantren
(Ali Mustafa Yaqub).
Beberapa Kegiatan Ekstra
Di pesantren ini, selain kegiatan belajar mengajar, pesantren juga
memiliki organisasi intra-pesantren, antara lain:
1. ISDAR (Ikatan Mahasantri Darus-Sunnah)
ISDAR merupakan organisasi induk yang mengkoordinir segala kegiatan
pesantren, baik administrasi maupun aktivitas pesantren. Organisasi yang
memiliki 2 lembaga otonom (Nabawi dan Rasionalika) ini melakukan suksesi
tahunan, dan memiliki kepengurusan yang terpisah antara mahasantri putera dan
puteri.
ISDAR memiliki beberapa divisi, yaitu: Divisi Keilmuan yang
mengkoordinir kegiatan belajar-mengajar di pesantren serta bertanggung jawab
atas perpustakaan Darus-Sunnah. Divisi Humas yang bertanggung jawab
terhadap hubungan pesantren dengan masyarakat. Divisi Bahasa yang memiliki
kewajiban meningkatkan kemampuan mahasantri dalam menggunakan bahasa Arab dan
Inggris. Divisi Olah Raga yang bertugas memfasilitasi kegiatan olah raga
sekaligus mengadakan turnamen olah raga. Divisi Kebersihan dan Keamanan yang
mengemban amanat menjaga kebersihan, ketertiban dan keamanan pesantren.
Selama ini ISDAR Putera telah dipimpin oleh ..., Erta Mahyuddin (2001),
Fauzan Adzim (2002), Saiful Hadi (2003), Syamsul Fuad (2004), Miftahul Faroji
(2005), Muhammad Romli (2006), Nasrudin Romli (2007). Sementara ISDAR Puteri
telah dipimpin oleh Iin Suryaningsih (2002), Layli Alwiyah (2003), Rohayati
(2004), Neni Puteri Warti (2005), Nur Azizah (2006), Izzatushalihah
(2007).
2. Buletin Dakwah Umat (BDU) NABAWI
Organisasi ini mengemban tugas jurnalistik pesantren dan bertujuan untuk
mengembangkan kemahiran mahasantri dalam hal jurnalisme dan menyebarluaskan
ilmu Agama. Buletin ini terbit sebulan sekali.
Saat ini buletin NABAWI sudah mencetak hingga 63 edisi dengan rubrik
yang bervariatif, misalnya: Opini, Renungan, Fiqh Hadis, Tokoh, Konsultasi
Agama, dan Mutiara Hadis. Muatan Buletn hampir sepenuhnya karya mahasantri.
Seringkali pengasuh pesantren (Ali Mustafa Yaqub) berpesan kepada mahasantri
untuk menulis, “wa la tamutunna illa wa antum katibun”. Dan hasilnya, tulisan
mayoritas mahasantri pernah dimuat di media massa nasional. Beberapa di antara
alumni telah menulis buku.
Buletin ini dipimpin oleh ..., M. Zen (2001), Zaenal Aripin (2002), Andi
Rahman (2003), Fajar Kurnianto (2004), Juman Rofarif (2005), Luthfi Arif
(2006), Samsul Bahri (2007).
3. Forum Diskusi Lintas Persepektif (FDLP) Rasionalika
Organisasi ini bertujuan untuk mengembangkan wawasan para Mahasantri
agar bersikap kritis terhadap berbagai persoalan yang banyak terjadi di
masyarakat.
Kegiatan rutinnya adalah penyelenggaraan diskusi dwi mingguan yang
diadakan pada hari Jumat. Materi-materi yang dibahas adalah sekitar
permasalahan keislaman yang masih relevan dan banyak diperbincangkan oleh
berbagai kalangan terutama para intelektual dan para cendekiawan muslim.
Secara berurutan, forum ini telah diketuai oleh ..., Buya Abdul Aziz
Arubone (2002), Andi Rahman (2002), Yusni Amru Ghazali (2003), Abdullah Syafi`i
Damanhuri (Hernawan) (2004), Zuhdi Rifa'i (2005), dan Asep Sulhadi (2006),
Kamal Fuadi (2007).
4. Lembaga Tahfidz al-Quran (LTQ) Al-Itqan
Lembaga ini merupakan wadah bagi mahasantri yang ingin menghafal
al-Quran. Kegiatan rutin organisasi ini adalah mengadakan tasmi’an, mengatur
jadwal setoran hafalan, dan lain sebagainya.
Lembaga ini berdiri pada tahun 2003 yang dipelopori oleh Bayi Mahdi,
selang enam bulan kepengurusan ini berpindah kepada Abd. Aziz, Farid Wajdi,
Rizki Dasawir dan periode 2007 organisasi ini berada di bawah kendali Zainal
Muttaqin.
5. Ikatan Alumni Darus-sunnah (IAD`s)
Forum yang merupakan wadah silaturahim alumni pesantren Darus-sunnah,
diketuai oleh Andi Rahman (2005) kemudian Abdullah Syafi'i Damanhuri (Hernawan
Nur Abadi). Forum ini berfungsi sebagai wadah silaturahim antar alumni.
Sementara ini, kegiatan rutinnya adalah pertemuan berkala alumni, pembuatan
MILIS Pesantren, dan website pesantren.
Pengelolaan Pesantren
Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah berada di bawah binaan Yayasan
Wakaf Darus-Sunnah dengan Akte Notaris Ny. Lanny Soebroto No. 1/1999. Sementara
pengajar terdiri dari lulusan dalam dan luar negeri. Antara lain, Prof. KH. Ali
Mustafa Yaqub MA. (Master Tafsir-Hadis Universitas King Saud, Riyadh, Guru
Besar Ilmu Hadis IIQ, Jakarta), Dr. Ahmad Abdul Malik, MA (lulusan Al-Azhar,
Cairo dan UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta), H. Badruddin Abdurrahman,
Lc., (Universitas King Saud, Riyadh), Mahfud Hidayat, S.Si, Lc (UIN,
Jakarta), Nurul Huda Ma’arif, S.Th.I, Lc. (UIN Jakarta), Andi Rahman S.S.I., Lc
(UIN Jakarta), Firdaus Wajdi S.th.I, Lc., Erta Mahyuddin Firdaus S.Pd.I,
SS.,Lc. (UIN Jakarta dan UNJ Jakarta), M. Sofin S.S.I. []
Sumber: http://darus-sunnah.webs.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar